Aku memompres luka lebam pada pipi Alif yang menghijau. Dia tak banyak bicara dan hanya sedikit merintih.
Setelah makan malam dan salat tadi, Alif terus saja terdiam tak mengucapkan apa pun. Mungkin dia masih trauma dengan kejadian yang baru menimpanya kemarin malam.
Aku mengerti, tak usah terlalu banyak mengajaknya bicara untuk saat ini.
"Tidurlah. Kamu harus banyak istirahat." Kataku setelah selesai memompres dan menyelimutinya dengan selimut.
"Bagaimana dengan lukamu?" Setelah sekian lama dia membuka suara juga.
"Alhamdulillah. Sudah lebih baik."
"Apa lukanya sudah mengering?"
"Belum. Tapi kamu jangan khawatir. Aku baik-baik saja."
"Jangan lupa obati lagi agar lukanya lekas mengering."
"Iya. Sekarang kamu istirahat, ya."
Dia mengangguk. "Terima kasih untuk semuanya."
Aku tersenyum lalu meninggalkannya di kamar dan menutup pintunya.
Ini masih pukul delapan malam. Semua orang nampaknya sudah tertidur pulas di kamarnya masing-masing termasuk Ayssa.
Aku pergi ruang tamu dan menyalakan televisi. Melihat stasiun-stasiunnya yang nampak membosankan, aku membuka ponsel dan seketika pikiran untuk mencari tahu seluk beluk gubuk itu berseliweran di kepala.
Aku segera mencari beberapa informasinya. Dan benar, ternyata usut punya usut, tempat itu memang dulunya sebagai tempat pembantaian yang sudah cukup terkenal pada masanya.
Aku bisa melihat rentetan peristiwa yang terjadi di sana melalui foto. Mulai dari rumah kosong dan gubuk tua juga ada di dalam foto itu.
Rata-rata korbannya wanita. Entah apa masalah dibalik semua itu hingga para korbannya harus meregang nyawa dengan tragis di sana. Cukup miris memang melihat kondisi manusia jaman-jaman sekarang. Mereka menganggap pisau dan peluru adalah hal yang wajar.
Ketika seseorang melakukan kesalahan, mereka tusuk atau tembak mati. Semua kekesalannya selesai. Begitu seterusnya hingga banyak sekali orang yang tak ingin terlalu banyak mencari perkara dengan orang lain karena takut merasakan hal yang sama.
Sekeji itukah sikap manusia? Apakah mereka tak memiliki sedikit saja rasa kasihan ketika sedang menyiksa para korbannya? Memangnya harus menyelesaikan sebuah perkara itu hanya dengan pembunuhan? Tak adakah cara yang lain?
Kurasa itu adalah cara terburuk dari segala cara yang paling buruk.
Terlalu miris memang hidup di jaman yang mana adab tak lagi dijunjung tinggi, etika tak lagi dijaga, kekejaman merajalela dan sikap saling memaafkan tak lagi di nomor satukan.
Aku juga membaca beberapa artikel tentang seluk beluk tempat itu. Dulu para polisi memang sudah menutup area sana menggunakan police line. Namun semakin sini, orang-orang nampak keras kepala dan membuka kembali garis itu. Menggunakan dan memanfaatkan tempatnya dengan cara yang sama seperti dulu.
Setelah membaca semuanya. Aku duduk termenung memikirkan segala hal. Pikiranku terus menceracau seperti mencari titik terang bagaimana cara menemukan Hamzah.
Aku yakin dia ada di sana. Sama seperti Alif. Hanya saja mungkin aku tidak datang di waktu yang tepat.
Mau tidak mau, aku harus kembali menemui tempat itu. Memastikan dan membawa Hamzah kembali. Karena bagaimanapun, hatiku masih belum tenang sebelum kedua pria ini baik-baik saja.
Aku juga tak mau duka ini berkepanjangan. Aku ingin melihat Ayssa bahagia, ayah ibunya pulang ke rumah, dan para pekerja itu kembali bekerja di rumah Hamzah seperti biasanya.
Aku ingin kebahagiaan itu kembali. Tapi aku juga harus lebih berhati-hati jika ingin ke sana.
Apalagi Alif sudah hilang dari gubuk itu, mereka pasti murka dan akan mengawasi Hamzah dengan ketat.
Aku harus mencari cara untuk bisa membebaskannya. Lagi-lagi, aku harus menanggung semua resiko ini.
Aku menghampiri kamar Alif dan memeriksanya. Aku tak tahu dia sedang tidur atau tidak. Matanya memejam, tapi entah dia mendengar kehadiranku atau tidak.
"Alif," aku jongkok agar bisa saling berhadapan dengannya, "kamu tahu ketika aku membalikkan badanmu yang telungkup saat itu dan baru menyadari itu adalah kamu? Aku tak bisa melakukan apa pun lagi. Seakan angin yang memberiku keteduhan tiba-tiba panas. Semua kepedihan seakan tercampur aduk menjadi satu. Tapi di sisi lain, aku berterima kasih atas semua cinta dan kasih sayang yang telah kamu beri. Setidaknya aku telah menolongmu dari kekejaman mereka. Walau aku belum berhasil menemukan Hamzah." Lirihku pelan sekali.
"Aku berjanji padamu Alif, aku akan membawa Hamzah kembali dalam kondisi apa pun. Aku akan melakukan janji yang telah aku rencanakan untuknya saat itu. Aku akan meminta maaf dan memperbaiki semua kesalahan yang telah aku lakukan. Ini janjiku Alif."
Tubuhnya tak memberi reaksi apa pun. Sepertinya dia memang sudah tertidur pulas.
"Aku sangat bersyukur, Allah masih tetap menjagamu dan membawamu kembali. Tak ada kata yang bisa aku ucapkan selain berharap kamu sembuh seperti sedia kala. Cepat sembuh Alif. Bukankah beberapa bulan nanti kita akan saling mengikat cinta suci di pernikahan?"
Tak sengaja, aku melihat seekor semut yang ada di dahinya. Semut itu berjalan-jalan seakan sedang mencari tempat yang pas untuk ia sengat. Aku bingung sekaligus takut jika semut ini menyengat lukanya. Aku ingin mengambilnya, tapi tak mungkin. Yang bisa kulakukan adalah, dengan cara meniupnya pelan.
Untung saja, semut itu seketika hilang tatkala aku sekali meniupnya.
"Oh iya Alif. Maafkan aku jika kemarin malam telah membuat kesalahan padamu. Aku membopongmu karena aku juga bingung harus dengan cara apa aku membawamu ke dalam mobil. Maafkan aku jika lancang. Aku berjanji tak akan melakukan itu lagi. Tidurlah dengan nyenyak ya. Aku mencintaimu."
Aku kembali menyelimutinya dengan selimut yang sudah berada di pahanya. Sejenak kutatap wajahnya yang masih memancarkan aura seri meskipun dia sedang terluka.
Setidaknya aku bersyukur karena Allah telah mengirimkan sosok seperti Alif di kehidupanku.
Setelah aku menutup pintu kamarnya, aku bergegas menuju kamarku sendiri. Dan baru saja sampai di depan, aku sudah mendengar rintihan tangis seseorang.
Kubuka pintu dan melihat Ayssa menangis sambil duduk dengan memeluk lututnya.
Aku segera menghampirinya dengan penuh rasa khawatir, "Ayssa? Apa yang terjadi denganmu?" Aku terus menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Dia mendongakkan wajahnya lalu seketika memeluk tubuhku dengan erat.
"Aku takut rein. Aku takut...." Katanya sambil terisak.
"Takut apa? Aku kamu sedang mengigau?"
Dia menggeleng. "Aku takut..., kakak...."
"Maksudmu? Aku tak mengerti. Tenangkan dulu dirimu, Ayssa." Aku memberinya segelas air putih, "minumlah."
Dia meneguknya sedikit dan masih terisak.
"Ada apa?" Tanyaku setelahnya.
"Aku mengalami mimpi buruk tentang kakak. Aku takut Reine."
"Memangnya bagaimana?"
"Aku tak tahu persis cerita dari awalnya seperti apa. Yang aku tahu, aku tiba-tiba berada di hutan itu sendiri. Aku mencari kakak ke sana kemari Rein. Hingga akhirnya aku bertemu juga dengan kakak di gubuk tua itu." Dia sesenggukan.
Aku masih memberinya kesempatan untuk bercerita.
"Ketika aku bertemu dengannya. Kamu tahu? D-dia terluka di bagian sini," Ayssa menunjuk kedua pelipisnya, "di sini," dia juga menunjuk ke daerah pundak, "dan di sini." Terakhir dia menunjuk ke area wajah.
"Benar kata Alif. Kondisi Hamzah lebih buruk dibanding kakak. Ketika melihatku, dia menangis lalu memberiku beberapa pesan."
"Apa kamu ingat pesannya seperti apa saja?"
Ayssa terdiam sesaat lalu memejamkan matanya, seakan mengingat hal-hal yang telah terjadi di mimpinya itu.
"Kakak berpesan untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya. Dia juga bilang bahwa semua yang ia hadapi saat ini adalah cobaan. Tetap doakan dia agar selalu diberi keselamatan oleh Allah. Kalau takdir, kita akan dipertemukan kembali," Ayssa berusaha mengendalikan emosinya walau masih sesenggukan, "setelah itu dia dibawa pergi oleh tiga penjahat yang sama seperti penjahat yang telah menganiaya Alif."
Aku tak tahu, apakah mimpi Ayssa hanya kebetulan atau sebuah pertanda. Aku hanya terus berharap agar Hamzah selalu diberi kesehatan di manapun ia berada.
"Rein, apa kamu tahu?"
"Apa?"
"Saat kakak akan dibawa pergi, dia mengucapkan namamu."
Aku terhenyak. "Benarkah?"
"Iya. Aku tak tahu maksudnya apa. Tapi dia selalu menyebut namamu sampai aku tak bisa melihatnya lagi."
Aku memegang tangannya sambil tersenyum, "sudahlah, Ayssa. Lebih baik kamu istirahat lagi. Sudah malam. Kita akan bicarakan ini besok pagi."
"Aku tak bisa tidur." Sergahnya.
"Bisa. Baringkan lagi tubuhmu. Jangan pikirkan sesuatu hal yang macam-macam. Istirahat itu penting. Oke?"
Dia mengangguk lalu kembali berbaring dan aku menyelimutinya.
"Rein, kamu mau kemana?" Katanya ketika melihatku akan keluar dari kamar.
"Aku mau ke ruang tamu."
"Kenapa tak tidur?"
"Belum ngantuk. Kamu tidur duluan saja. Nanti aku menyusul."
"Baiklah."
Aku menutup pintu kamar dan kembali ke ruang tamu lalu mematikan televisi.
Aku masih memikirkan apa yang tadi Ayssa ucapkan mengenai mimpinya. Aku merasa itu adalah sebuah pertanda. Apa aku harus mencari lagi Hamzah besok pagi? tapi kalau pagi, pasti sulit. Mereka akan menyembunyikan Hamzah di tempat asing yang tak terjamah oleh siapapun.
Baiklah. Masih ada waktu beberapa hari lagi untuk membawa Hamzah kembali. Aku harus melancarkan aksi pada malam hari bersama Ayssa. Mungkin aku juga harus melibatkan polisi agar semua bisa berjalan dengan baik dan para penjahat itu bisa langsung ditangkap oleh pihak yang lebih berwenang.
Entah kenapa, malam ini aku tak bisa tidur seperti biasanya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rasanya mata tak ingin diajak kompromi untuk tidur.
Aku tiduran di sofa ruang tamu sambil menatap langit-langit. Sekelibat rasa khawatir tiba-tiba muncul untuk Hamzah. Apalagi saat Ayssa tadi mengatakan bahwa kakaknya itu terus menyebut namaku. Entah apa maksud semua itu.
Tapi di sisi lain, hatiku sedikit tenang karena Alif sudah kembali. Aku juga bisa melihat semakin sini kondisinya bisa dikata semakin membaik. Aku terus bersyukur pada Allah karena masih memberikan kesehatan padanya. Karena apa pun alasannya, aku tak mau kehilangan Alif.
Aku juga berharap pada Allah, agar tak ada lagi ujian seperti ini yang menimpa cinta kami berdua. Karena begitu menyakitkan memang. Apalagi kondisiku saat ini yang tengah menanti hari suci pernikahan.
Aku selalu berdoa, agar keselamatan selalu menyertai kehidupan nya.