Setelah semua selesai dibersihkan, bibi dan paman pulang dari pasar. Mereka terkejut ketika melihat jendela nya bolong dan pecah.
Aku dan Ayssa menjelaskan semua ceritanya dari awal sampai akhir. Ayssa juga mengadukan kakiku yang terluka pada bibi.
Aku bisa melihat reaksi bibi yang langsung menjatuhkan keresek di tangannya dan menghampiriku. Bibi terlihat sangat khawatir. Tapi aku berusaha meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
"Perjuangan kalian begitu besar untuk menemukan Alif dan Hamzah. Bibi salut dengan jeri payah yang kamu dan Ayssa torehkan. Semoga Allah mendengar semua harapan kalian ya." Bibi mencium dahiku dan Ayssa, "doa bibi dan paman akan selalu menyertai kalian."
Aku dan Ayssa memeluk bibi bersamaan. Sosok keibuan pada bibi membuatku selalu nyaman jika berada di sisinya bahkan Ayssa pun merasakan hal yang sama.
Bibi tak pernah pilih kasih dalam menyayangi siapapun. Padahal kalau kasarnya, Ayssa hanyalah orang lain. Tapi rasa perhatiannya pada Ayssa, sama seperti rasa perhatiannya pada ku.
Aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan sosok 'ibu' yang begitu mengertikanku. Sejak datang ke sini, aku tak pernah ragu untuk bercerita apa pun dengan bibi. Beliau selalu siap mendengar cerita dan keluh kesahku. Bibi juga tak pernah lupa meninggalkan nasihat dan kekuatan padaku setelahnya.
Bibi memang terbaik. Aku sangat menyayanginya.
"Sudah, sekarang kalian mau apa?" Bibi mengusap air matanya, "nanti bibi buatkan."
Kulihat sorot matanya yang teduh, penuh kehangatan dan lagi-lagi aku tak bisa menutupi rasa sakitku pada bibi. Aku luluh ketika bibi menatapku, aku luluh ketika bibi berusaha menenangkanku.
"Bibi yakin semua perjuangan kalian akan membuahkan hasil. Bibi tak bisa membantu kalian dengan usaha, tapi di setiap doa, bibi selalu selipkan nama kalian, serta Alif dan Hamzah agar mereka selalu diberi perlindungan oleh Allah."
Ayssa menciumi punggung tangan bibi, "bibi, terima kasih untuk semua yang telah bibi lakukan. Aku baru menemukan seorang bibi yang perhatiannya melebihi bibiku sendiri. Bibi ini seperti ibu kedua bagiku."
Mata bibi berkaca-kaca sambil mengelus kepala kami dengan lembut.
"Bibi juga menyayangi kalian dan sudah menganggap kalian seperti anak bibi sendiri. Jadi kamu Ayssa," bibi membenarkan jilbab Ayssa, "kamu jangan canggung lagi dengan bibi ya. Ceritakan saja semua masalahmu pada bibi. Bibi siap mendengarnya."
Ayssa mengangguk pelan lalu memeluk bibi lagi.
"Baiklah, hentikan semua keharuan ini," aku mengusap air mata bibi, "bibi jangan menangis lagi. Kita pasti kuat menghadapi semuanya."
"Benar. Jangan nangis-nangis lagi. Masih pagi." Bibi terkekeh.
Aku dan Ayssa saling memandang sesaat lalu tersenyum.
"Baik, kalian belum menjawab pertanyaan bibi."
"Pertanyaan? Pertanyaan yang mana?" Aku mengerutkan alis.
"Coba ingat-ingat lagi." Wajah bibi kembali berseri seperti bibi yang selalu aku lihat di setiap pagi, siang, sore ataupun malam.
Aku dan Ayssa berpikir. Berusaha mengingat kembali apa yang bibi katakan. Tapi pada akhirnya, kami menyerah juga. Kami tak ingat apa yang telah bibi katakan.
Bibi mendelikkan matanya, "jadi, bibi tadi nanya. Kalian mau apa? Biar bibi buatkan."
"Ohh...." Aku dan Ayssa tertawa bersamaan, "maafkan kami bi." Ujarku sambil memegang kedua telinga.
"Tak apa," bibi melepaskannya, "sudah. Kita ke dapur. Bibi akan buatkan suatu hal yang spesial untuk kalian."
"Oh ya? Apa itu bi?" Aku penasaran.
"Salad buah. Apa kalian suka?"
Aku dan Ayssa saling menatap bahagia, "suka sekali bi." Jawab kami bersamaan.
"Baiklah, ayo." Bibi merangkul pundak kami berdua sambil terus berceloteh tentang hal yang bisa membuat kita tertawa. Terima kasih bibi. Setidaknya, bibi telah membuat Ayssa tertawa lepas lagi.
...
Aku, Ayssa dan Amzar menyusuri kota Bogor dengan berjalan kaki. Aku juga menceritakan tentang peneroran yang terjadi di rumah kami tadi. Aku bisa melihat raut Amzar yang terkejut sambil mengelus dadanya sendiri. Ia berpikir penjahat itu sangat biadab sekali.
Aku juga tak tahu kemana kami akan pergi. Rasanya ke gubuk itu pun percuma. Tak ada yang bisa kami temukan lagi selain hal-hal yang mereka berikan dengan tujuan agar kami takut.
Setelah beberapa lama, Amzar mengajakku menepi bersama Ayssa di bawah pohon. Kami banyak bercerita tentang suatu hal di sini. Dari yang serius sampai yang aneh sekalipun. Dia pria yang humoris. Mampu membawa suasana menjadi teduh dan menyenangkan.
Tapi usut punya usut, ternyata dia tinggal di sini sendiri. Tak ada kerabat ataupun keluarga. Aku tak tahu permasalahan dari awalnya bagaimana. Dia hanya berharap bisa bertemu kedua orangtuanya lagi. Karena dulu, saat usianya menginjak lima tahun, orang tuanya menitipkan Amzar kepada seorang pria karena ada suatu hal dan berjanji padanya untuk segera kembali. Tapi sampai saat ini, janji orang tuanya belum sama sekali terpenuhi. Ia ditinggal sendiri bersama pria itu yang akhirnya mengasuh Amzar hingga dewasa. Janji orang tuanya masih ia ingat dan tak akan pernah dilupakan. Amzar juga sangat berharap, orang tuanya kembali dan membawanya pulang.
"Apa..., kamu akan memaafkan kesalahan orangtuamu nanti jika mereka datang membawamu?" Dengan ragu, kutanyakan hal seperti itu.
"Insya Allah akan saya maafkan. Lagi pula, seburuk-buruknya sikap mereka kepada saya, mereka masih tetap kedua orang tua saya."
"Apa kamu tak merasa sakit hati dengan perilaku mereka? Secara kedua orang tuamu sudah meninggalkan mu dari kecil."
"Rasa sakit pasti ada mbak. Sesak sekali jika membayangkan takdir hidup saya yang sepedih ini. Terkadang hati saya menangis, apalagi ketika melihat ada orang tua yang memanjakan anaknya dengan bermain atau sekadar nongkrong di taman. Saya jadi ingat, masa kanak-kanak mereka jauh lebih bahagia dari pada saya."
"Memangnya seperti apa?"
"Awalnya masa kanak-kanak saya bahagia mbak. Tapi sayangnya, semua itu hanyalah sekejap. Apalagi setelah saya ditinggal pergi orang tua, Saya harus banting tulang bantu akang berjualan kerupuk, berjalan jauh dan kadang pulang hanya membawa beberapa peser uanh." Jelasnya sambil sesekali mengusap air matanya.
"Amzar, maafkan aku. Kalau pertanyaan ku tadi telah membuat masa lalumu kembali terbuka. Aku tak berniat."
Dia tersenyum. "Tak apa mbak, saya sudah ikhlas menerima semua itu. Mungkin jalan hidup saya memang seperti ini."
"Lalu, akang itu siapa?" Sahut Ayssa.
"Dia yang telah merawat saya mbak. Dia juga pria yang telah diberi amanah oleh orang tua saya dulu untuk menjaga saya sebentar."
"Apa sampai sekarang kamu belum pernah bertemu lagi dengan orang tuamu?"
"Waktu itu pernah. Ketika usia saya masih belasan tahun. Saya melihat orang tua saya mengendarai mobil."
"Lalu apa mereka masih mengingatmu?" Aku semakin penasaran dengan ceritanya.
"Sepertinya begitu. Tapi..., ketika saya berlari sambil teriak mengejar mereka, laju mobilnya semakin cepat hingga membuat saya tak bisa lagi mengejar mobil itu." Sejak awal bercerita tadi, kepalanya terus menunduk. Aku tahu, sesak rasanya berada di posisi Amzar saat ini. Apalagi aku tak pernah bisa membayangkan, bagaimana dia hidup dulu saat orang tuanya meninggalkannya bersama orang lain.
"Saya tak tahu alasan mereka meninggalkan saya. Bahkan saya sempat putus asa kala itu. Namun lagi-lagi, akang telah menyadarkan saya dan berusaha membuat saya bisa lapang dada dengan semua yang telah terjadi."
"Saya tak tahu harus berbuat apa, Amzar. Saya hanya bisa berdoa agar kamu bisa bertemu lagi dengan kedua orang tuamu."
"Terima kasih banyak, mbak." Dia mengusap air matanya lagi, "lho kok jadi sedih gini ya. Maaf mbak, saya terlalu emosional tadi." Dia terkekeh kecil.
"Tak perlu minta maaf," kini Ayssa membuka suara, "semua orang berhak bercerita dan mengeluarkan semua uneg-unegnya. Justru kami yang harus berterima kasih, karena bisa dipertemukan dengan orang kuat dan tabah seperti kamu."
Amzar tersenyum lalu membuka tas kecil yang sedari tadi ia bawa.
"Ini buat mbak," dia memberikan sebungkus roti padaku satu, "dan ini untuk mbak," dia juga memberikan sebungkus roti yang satunya lagi untuk Ayssa.
"Eh apa ini?" Jujur, aku merasa malu. Aku yang selalu meminta tolong padanya, tapi dia sendiri yang memberiku makanan.
"Tak apa mbak. Itu dari saya."
"Tak usah. Saya merasa direpotkan." Sahutku.
"Benar. Ini buat kamu saja," Ayssa menyodorkan roti itu pada Amzar, "atau tidak lebih baik simpan buat cemilan nanti malam."
"Tak apa mbak. Saya ikhlas. Terima ya," Amzar kembali menyerahkan roti itu pada Ayssa.
"Tapi roti untukmu ada?"
Dia mengambil sesuatu lagi dari tasnya, "ada mbak. Jangan khawatir." Dia tersenyum.
"Baiklah terima kasih ya. Kamu begitu baik pada kami."
Amzar mengangguk lalu meminta kami memakannya.
Kubuka bungkus roti pemberian Amzar, dan seketika aroma rotinya menusuk hidung.
"Em, ini...."
"Ada apa mbak? Mbak kurang suka rotinya? Biar saya belikan rasa yang lain."
"Bukan," aku mencegahnya, "bukan seperti itu. Justru ini roti spesial yang paling saya suka."
"Memangnya roti apa?" Tanya Ayssa.
"Roti biasa."
"Terus spesialnya apa?"
"Isinya. Isi roti ini keju. Aku paling suka roti selai keju."
"Oh iya," dia menepuk dahi, "kamu kan suka roti selai keju ya. Sama seperti kakak."
Aku tersenyum sambil menyuap roti ini. Rasanya enak sekali. Sudah lama pula aku tak memakannya. Dulu biasanya aku sering memakan roti ini bersama Alif. Nanti kalau dia sudah kembali, akanku belikan juga roti selai keju. Tak hanya untuknya, Hamzah dan Ayssa pun akan aku belikan.
"Rein?" Aku rasa Ayssa menikmati santapan rotinya, "setelah ini kita mau ke mana?"
"Aku juga bingung. Mungkin pulang saja. Nanti besok kita cari lagi."
"Apa, mbak nya tak khawatir dengan kondisi mas Alif dan, aduh siapa yang satu lagi itu?"
"Hamzah." Timpalku.
"Oh iya itu. Apa tak khawatir?"
Ayssa terdiam lalu memandangku. Aku menghela napas berat dan menghentikan kunyahanku, "kalau khawatir pasti ada. Tapi rasa itu tak luput membuat kami terpuruk dan menangisinya lebih dalam."
"Betul," sahut Ayssa, "lagi pula kalau kita melakukan hal itu, tak lantas membuat kakak dan Alif kembali. Karena kita sudah mencari pun, mereka tak ketemu. Bagaimana kalau hanya diam?"
Amzar manggut-manggut, "benar. Saya setuju itu. Saya juga salut sama mbaknya yang kuat dan tabah."
"Kita sama-sama saling menguatkan dan selalu berpikir positif bahwa Alif dan Hamzah di sana baik-baik saja. Kuncinya, jangan tinggalkan salat dan terus berdoa. Karena dengan itu, hati menjadi tenteram."
"Terima kasih, saya banyak belajar dari mbak. Saya juga sangat beruntung karena bisa dipertemukan dengan mbak. Karena setiap ucapan yang mbak lontarkan, begitu berarti bagi saya sendiri."