Khusus hari ini dan beberapa hari ke depan, aku diminta Ayssa untuk tinggal di rumahnya. Awalnya aku enggan dengan tawarannya itu, tapi dia bersikukuh dan terus memaksaku untuk mengikuti apa perintahnya. Dia juga telah meminta izin pada bibi agar aku bisa menemaninya di rumah. Kalau bibi tak terlalu mempermasalahkan. Dia menyerahkan semua keputusannya kepadaku.
Karena melihat pintanya yang begitu membuatku tak tega, aku mengiyakan juga permintaannya.
Mendengar responku, dia begitu senang sekali, matanya juga berbinar tatkala melihatku. Karena menurutnya, akulah satu-satunya orang yang telah dia ajak ke rumah. Semenjak sekolah, ia tak pernah membawa teman-temannya itu ke sana. Aku juga tak tahu apa alasannya.
Pagi ini, aku menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan untuk di sana nantinya. Ayssa begitu antusias dan membantuku menyiapkan semua itu.
Aku bersyukur, setidaknya dengan sikapku kali ini, telah membuatnya kembali bahagia.
Tak membutuhkan waktu yang lama, aku dan Ayssa sampai juga di rumahnya.
Ketika Ayssa membuka pintu, hawa sepi seketika aku rasakan di sini. Rumah mewah sebesar ini, sangat sunyi seakan tak ada kehidupan di dalamnya.
Aku juga melihat meja-meja kecil yang tersimpan di samping tembok dekat ruang tamu. Ada banyak debu yang menempel di permukaannya itu. Lantai juga kotor seperti sudah lama tak di sapu. Kamar Ayssa pun berantakan, barang-barang berhamburan seperti kapal pecah.
"Para pekerja di rumah kamu memang pada ke mana, ay?"
"Setelah kakak hilang saat itu, mereka memutuskan pulang sementara ke kampungnya masing-masing."
"Lho, kenapa?"
"Mereka sangat menyayangi kakak. Ketika mereka tahu kakak hilang, mereka selalu menangis dan menyayangkan akan hal itu. Dan alasan mengapa mereka pulang dulu, mereka selalu dibayangi oleh sosok Kak Hamzah. Kebaikannya itu, selalu melekat dalam hati mereka. Maka dari itu mereka memutuskan pulang dulu. Setelah semuanya kembali normal nanti, mereka akan ke sini lagi."
"Lalu ayahmu mana?"
"Ayah sudah jarang pulang ke sini. Dia selalu menanti kabar demi kabar dari polisi mengenai kakak. Dia tak mau pulang sebelum kakak ditemukan. Karena jika pulang ke sini, rasanya sangat sesak sekali. Bagaimana tidak? Rumah ini seakan menjadi saksi bisu atas pertemuan kakak dan keluarga beberapa puluh tahun yang lalu."
"Sepertinya, mereka sangat menyayangi Hamzah ya."
"Betul, Reine. Mama juga pergi ke Singapura untuk melepaskan rasa sakit. Mama dan papa telah berjanji padaku, untuk tak akan pernah pulang kemari kalau kakak belum kembali. Sebab kebahagiaan rumah ini muncul karena hadirnya kakak. Ketika kakak pergi, semua kebahagiaan itu hilang. Dan aku dapat merasakan itu semua."
"Aku turut prihatin dengan semua yang terjadi padamu dan keluargamu. Aku berharap, semua keadaan bisa kembali normal seperti sedia kala."
"Iya, Rein. Aku ingin rumah ini ceria lagi. Dengan igauan dan celoteh khas kakak, membuat suasana rumah menjadi hangat dan nyaman. Kakak juga tak pernah membeda-bedakan siapapun. Para pekerja di sini makan di satu meja makan yang sama, bersama mama dan papa. Tak ada tingkatan kasta di sini. Semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan kita tak berkenan untuk menghalangi hak-haknya itu."
"Masya Allah. Baik sekali kakakmu itu. Lalu apa lagi yang sering kamu dengar dari dia?" Tanyaku sambil merapikan kamar Ayssa.
"Em, banyak. Dia juga sering bilang padaku untuk tetap berpegang teguh pada agama. Harus tahu batasan terhadap lawan jenis, dan yang paling utama, jangan tinggalkan salat dan luangkan waktu untuk membaca Al-quran setiap hari. Walaupun sedikit, asalkan istiqamah, insya Allah berkah."
Aku menghampirinya, "apa yang telah Hamzah ucapkan padamu, itu sangat benar dan perlu kita pelajari lebih dalam lagi. Kamu beruntung sekali bisa mendapatkan kakak yang mampu menuntunmu ke jalan yang lebih baik, Ayssa. Tetap pegang ucapan-ucapan kakakmu itu, karena suatu saat nanti kamu pasti akan merasakan keistimewaan dari apa yang telah Hamzah ajarkan padamu."
"Benar. Aku tak akan pernah melupakannya. Setiap kalimat yang kakak ucap, aku selalu simpan di dalam pikiran. Wajahnya, gerak-geriknya, sorot matanya akan selalu aku kenang saat dia memberiku wejangan."
Dia tersenyum lalu menarik tanganku, "ayo, ikut aku." Katanya.
"Mau ke mana?"
"Nanti kamu tahu sendiri."
Ayssa membawaku naik ke tangga. Melewati setiap lorong yang banyak sekali pintu-pintu terkunci rapat. Aku bahkan tak tahu ini ruangan apa saja. Hingga tak berselang lama, Ayssa menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah pintu.
Dia membuka pintu itu yang ternyata tak terkunci. Tatkala ayssa memintaku masuk, seketika hawa sejuk menyusup ke dalam kulit. Aku juga baru sekali ini merasakan hawa sejuk di sebuah ruangan. Ruangan bercat putih yang indah dan ukurannya lumayan luas.
"Ini ruangan siapa?" Tanyaku.
"Ini kamar kakak," dia duduk di tepi kasur Hamzah, "sejuk kan?" Tebaknya.
Aku mengangguk. "Kenapa bisa sejuk seperti ini?"
"Itu yang masih jadi pertanyaan sampai sekarang, rein. Aku juga tak tahu kenapa kamar kakak bisa senyaman ini dibanding kamar yang lain. Saking sejuknya, sampai-sampai dulu aku pernah merajuk padanya karena ingin tukar kamar. Tapi tak jadi."
"Lho, kenapa?"
"Kalau kakak sih ya terserah saja. Tapi papa yang justru melarangku. Katanya ribet, kamarku di bawah sedangkan kamar kakak di atas. Pindah-pindah barangnya itu yang susah katanya."
"Benar juga sih kata papamu," aku meledeknya, "ya lagi pula tetap saja kalau pindah kamar. Kamu pasti sering datang ke kamar kakakmu ini kan?"
Dia terkekeh. "Oh iya aku ingat. Apa kamu mau tahu ceritanya?"
"Apa?"
"Dulu saking seringnya aku diam di kamar kakak, hingga lupa aku pernah tidur di kasurnya dari malam sampai pagi. Nah ketika subuh aku bangun dan turun ke bawah, ternyata kakak sudah tidur di sofa ruang tamu. Dari situ aku malu dan merasa bersalah. Kukira kakak tak pulang saat itu. Eh ternyata tidur di bawah." Sorot matanya seperti mengenang kejadian itu.
Aku tertawa geli, "lalu respon kakakmu setelah tahu kamu tidur, bagaimana?"
"Dia tak marah. Justru papaku yang marah Reine," aku bisa melihat raut wajahnya yang nampak cemberut, "pagi itu aku sudah diomeli. Katanya kamu itu udah punya kamar sendiri. Kenapa tidur di kamar kakak?" Aku tak bisa menahan tawa tatkala dia menirukan suara dan logat ayahnya ketika memarahinya itu.
"Eh, kenapa ketawa?" Timpalnya.
"Oh, tidak," aku kembali memasang raut datar, "lalu bagaimana lagi?"
"Ya kakak yang membelaku di depan papa. Katanya tak apa, mungkin aku sedang bosan dengan suasana kamarku sendiri. Dan untungnya, papa selalu luluh dengan setiap ucapan kakak."
"Oh, iya. Kan tadi katamu, kamu pernah tidur di kamar kakak, nah kenapa kakakmu tak tidur saja di kamarmu?" Tiba-tiba muncul saja pertanyaan seperti itu.
"Istimewanya kakak terletak di situ, Rein. Dia tak pernah berani masuk ke kamarku. Meski aku paksa juga, dia tak mau. Entah apa alasannya."
"Aku tahu alasannya."
"Oh ya, apa?" Tanyanya begitu antusias.
"Kalau menurutku sih, kakakmu itu ingin menjaga kehormatanmu, Ayssa. Dia tak mau kamarmu itu bebas dimasuki oleh lelaki luar. Apalagi mungkin dia merasa bahwa...."
"Bahwa?"
"Kamu dan dia itu tak ada ikatan darah. Yang itu artinya menurut Islam, kalian masih tetap orang lain meskipun hubungan kalian sudah seperti adik kakak. Bahkan lebih."
"Oh iya. Kenapa aku tak berpikir ke sana ya waktu itu?" Dia terkekeh, "sudahlah. Mari aku tunjukkan sesuatu padamu."
"Ap-"
Prankk!!!
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara benda pecah. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku ada Ayssa berlari turun menuju sumber suara.
Benar dugaanku, sebuah batu telah dilemparkan ke jendela depan rumah hingga membuat kacanya pecah berantakan.
Aku segera mencari hingga ke jalan siapa yang telah melakukan semua itu, tapi lagi-lagi, aku tak bisa menemukan jejaknya sedikitpun.
Aku berdecak kesal lalu kembali ke rumah.
"Awas Rein," suara Ayssa membuyarkan pikiranku, "nanti kakimu menginjak lagi serpihan kacanya."
Aku sadar lalu menundukkan kepala, "oh iya."
"Apa kamu menemukan siapa pelakunya?"
"Tidak Ayssa. Aku tak menemukannya. Entah aku yang tak terlalu gesit berlari, atau entah pelakunya yang pintar bersembunyi."
"Aku semakin takut dengan kondisi kakak, Rein. Para pelaku itu terus saja meneror kita. Lalu bagaimana?"
Suasana kembali dibubuhi rasa takut. Padahal baru saja tadi aku membuat Ayssa tertawa. Tapi gara-gara kejahilan pelaku itu, seketika membuat hati kami kembali kacau.
Aku mengambil sebuah sapu yang letaknya tak terlalu jauh dari kami, ketika aku sedang membersihkan serpihan kaca itu, aku tersentak kaget tatkala Ayssa berteriak memanggil namaku.
"Ayssa, ada apa?" Dia menangis lalu memberikanku sebuah foto yang ternyata ia dapat dari dekat batu yang pelaku tadi lempar.
Aku membalik foto itu. Ketika melihatnya, seketika ku tutup kedua mulutku dan menjatuhkan fotonya. Kakiku lemas, tangan gemetar dan hawa panas langsung menyusup ke punggung.
Kudapati sosok dibalik gambar itu ialah Alif. Fotonya itu, membuat hatiku begitu teriris dan terluka. Bagaimana tidak? Wajahnya penuh lebam dan luka. Kaos dalamnya yang berwarna putih banyak sekali noda-noda darah. Aku tak membayangkan semua ini bisa terjadi padanya.
Mimpi buruk yang aku alami kemarin, dan kondisi Alif saat itu, begitu nyata ketika aku kembali mengamati kondisinya di foto ini.
Aku tak bisa menahan tangis lagi. Matanya memejam, seperti mengisyaratkan kesakitan yang mendalam. Aku tak bisa diam melihat kondisi Alif yang terus seperti ini sementara aku tak tahu di mana posisi dia berada.
Ayssa terus saja mengelus-elus punggungku. Karena dia juga berpikir, kondisi kakaknya saat ini pasti kurang lebih sama seperti kondisi Alif.
Aku menggertak diri sendiri yang terlalu lemah dan belum bisa menemukannya, sementara di sana Alig berjuang keras untuk bertahan hidup.
Aku tak mau menyerah. Tapi aku tak tahu harus mencarinya ke mana lagi. Mengapa mereka begitu tega memperlakukan Alif layaknya seorang binatang? Apa salah Alif? Apa kesalahan yang telah Alif lakukan hingga harus menerima semua penderitaan ini?
Ya Allah. Kumohon, berilah petunjuk kepadaku di mana Alif dan Hamzah berada. Lindungilah mereka, selamatkan hidupnya dari segala kekejaman yang telah para pelaku itu lakukan padanya.
Aku tak tahan dengan segala peneroran ini. Meskipun kami sama-sama saling menguatkan, tapi ada saatnya pula kami jatuh ketika melihat kondisi mereka seperti ini.