Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 38 - Kerinduan

Chapter 38 - Kerinduan

22.00

Aku dan Ayssa memutuskan ke kamar untuk tidur dan beristirahat. Bukti-bukti tadi sudah kami kirimkan ke polisi dan mereka akan menyusutnya kurang lebih tiga hari ke depan.

Ayssa terus berusaha membuatku tenang. Aku hanya diam dan mengiyakan ucapannya saja. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ketakutan ini. Karena pada hakikatnya, aku tak pernah bisa tenang jika Alif belum kembali.

Kulihat Ayssa sudah tidur dibalik selimutnya itu. Aku beranjak dari kasur dan membuka jendela kamarnya. Angin di sini seketika membuat mataku memanas. Aku lemah, sangat lemah Alif. Kapan kamu kembali?

Aku berusaha menangisimu tanpa suara. Aku tak ingin mengganggu Ayssa yang tengah tertidur lelap. Dulu aku sering menatap wajahmu dibalik tabir rembulan. Biasanya kamu selalu tersenyum di sana dan seakan memberi pesan hangat kepadaku, tapi mengapa malam ini semua cahaya nampak redup?

Aku mencari bintang yang selalu kita hitung tanpa ada habisnya. Kita juga selalu mencari bulan yang cahayanya selalu memberi kehangatan bagi kita berdua. Dulu kamu sering berpesan, jika aku sedang dirundung masalah dan sedih, tataplah bulan dan bayangkan dia memelukmu dalam kehangatan cinta dan kasih sayang.

Aku selalu melakukannya jika aku merasa sedih, Alif. Hampir setiap malam aku menatap bulan hingga terkadang aku sadar waktu telah larut. Aku selalu mendengar semua keluh kesah, dan ceritamu di setiap saat. Aku juga tak pernah bosan dengan kehadiranmu itu. Aku bahkan selalu menantikan saat-saat indah yang akan kita jalin beberapa langkah lagi.

Mengapa takdir kita begitu rumit? Banyak sekali ujian yang menimpa aku dan kamu setelah kamu kembali dari kepergian lima tahun itu. Apakah cerita kita benar-benar sesulit kisah Laila dan Majnun? Kisah yang sering kamu dengungkan ketika aku mulai merasa sepi dengan sebuah kehidupan.

Malam ini tak cerah, Alif. Sinar rembulan seakan redup karena terhalang awan abu. Aku tahu ini adalah pesan tersirat yang kamu berikan padaku saat ini. Tapi bagaimana bisa aku mencari mu hingga membuatmu kembali bersamaku?

Dari sini aku belajar untuk tetap bertahan menantimu. Seringkali kubayangkan hal aneh yang berharap kamu tiba-tiba hadir di sini dan memberi keteduhan pada hatiku, mengobati setiap lukaku dengan senyummu, dan membuatku kembali bangkit dengan semua igauanmu.

Tapi lagi-lagi, aku seperti diberi tamparan keras oleh semesta. Dia seakan menyadarkanku untuk tak terlalu larut pada khayalan yang nantinya akan semakin membuatku jatuh pada jurang kesesakan. Aku harus bisa mengontrol diri dan menerima semua keadaan, bahwa selama ini kamu memang telah hilang dari hadapanku.

Sampai kapan aku harus terus menanti? Rasanya jika ucapan para penjahat dalam surat itu benar, apa bisa aku menerima kenyataan tatkala para jasad tercinta telah tiba di depan rumah? Apa yang harus aku lakukan? Sementara kita telah mengikat janji untuk bersama. Akankah kamu rela membiarkanku menerpurukinya sendiri?

Cincin ini akan selalu terlingkar di jari manisku Alif. Setidaknya ini adalah saksi bisu dari perjuangan cerita cinta kita yang begitu rumit. Aku tahu kamu di sana merindukanku, aku juga tahu di sana kamu tak takut dengan hal yang akan terjadi padamu nanti. Aku tahu itu. Aku tahu semua sifatmu. Kamu terlalu memikirkan kondisi orang lain hingga lupa bagaimana caranya menjaga diri sendiri.

Bahkan sering kali kamu mengatakan hal tentang kepergian. Jujur sebenarnya aku takut mendengar hal itu. Aku selalu berusaha mencairkan lagi suasana dan mengalihkan pembicaraan dari ujaran yang kamu ucapkan.

Maafkan aku Alif, tapi benar. Aku tak mau kamu membahas tentang hal itu padaku.

Aku menoleh pada Ayssa yang tampaknya tertidur lelap. Ku alihkan lagi pandangan pada langit malam, semoga saja ada setitik cahaya yang membuatku bisa tenang. Tapi lagi-lagi, aku tak bisa menemukan itu.

Aku harus mengambil resiko yang lebih demi bisa bertemu dengan Alif. Aku tak boleh takut dengan semua keadaan yang terjadi. Aku juga tak boleh cengeng. Aku harus menemukan Alif dan Hamzah.

Hanya ada satu tempat yang menjadi titik cerah untuk bisa bertemu dengan mereka berdua.

Ya, rumah kosong dan gubuk tua itu.

Tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa menghiraukan waktu yang sudah larut ini, aku menyiapkan peralatan untuk mencari Alif dan Hamzah.

Aku harus bisa menemukan mereka. Sebelum hari yang para penjahat itu janjikan, aku harus membawa mereka pulang. Bagaimana pun itu caranya.

Segera kuambil tas kecil, sebuah pisau dan tongkat kayu yang memang sebelumnya aku dan Ayssa rencanakan. Sedari awal, aku dan Ayssa sudah berencana untuk mencari Alif dan Hamzah besok pagi.

Tapi entah ada angin dari mana, aku ingin mencarinya sekarang. Aku merasakan ada hal yang berbeda setelah menatap langit malam sekian lama. Aku harus memastikan, setidaknya kalau Ayssa mencariku nanti pagi, aku telah menyelipkannya sebuah surat.

Aku mengendap menuju pintu, kubuka juga engselnya dengan pelan berharap tak menimbulkan suara. Ketika pintu sudah terbuka dan aku keluar,

"Reine?"

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara Ayssa yang sudah ada di belakangku.

"Kamu mau mencari Alif dan kakak, tapi kamu tak mau mengajakku?"

Aku membalik badan dan tak berani menatap matanya, "bukan itu, maksudku...."

"Lalu apa?" Dia melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ini sudah malam Ayssa. Jadi,"

"Oh karena sudah malam jadi kamu tak mau mengajakku? Bagaimana dengan kondisi mu nanti? Apa kamu siap melawan tiga para penjahat yang sikapnya brutal dan dapat melenyapkan siapapun manusia di depannya?"

Aku tak menjawab ucapannya.

"Reine," dia memegang tanganku, "kita harus sama-sama mencari kakak dan Alif. Jangan ada rencana tersembunyi  yang telah disiapkan masing-masing. Kita harus tetap bersama mencari mereka. Kalau kamu bersikeras ingin sekarang, baik," dia melepaskan genggaman tangannya, "tunggu di sini, aku akan bersiap dan aku juga akan menemanimu mencari Alif dan kak Hamzah."

...

Tak berselang lama, aku dan Ayssa telah sampai di tempat tujuan. Entah mengapa, kondisinya kali ini begitu mencekam dibanding hari-hari sebelumnya. Aku dan Ayssa mulai mengendap menuju rumah kosong itu. Dengan bermodalkan cahaya senter yang tak terlalu terang ini, akhirnya kami sampai juga di sini.

Aku dan Ayssa hati-hati ketika masuk ke ruangan itu. Aku takut jika di dalamnya ada para penjahat yang sedang tidur atau mungkin sedang berdiam diri di sana.

Ayssa membuka pintunya pelan-pelan dan aku yang memutuskan pertama kali masuk. Tak lupa aku juga menggenggam pisau untuk berjaga-jaga. Setelah aku mengitari rumah ini, aku bisa memastikan di sini kosong dan tak ada siapapun.

Awalnya aku dan Ayssa saling berbicara mengenai rencana-rencana kita ke depannya. Hingga beberapa menit kemudian, aku dan Ayssa dikejutkan oleh suara gelak tawa pria yang menggelegar dan sepertinya akan menuju ke sini.

Dengan perasaan yang kalut, segera aku mencari tempat persembunyian dengan Ayssa. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, suara pria itu seperti sudah ada di rumah.

Aku bisa mengintip sedikit kegiatan mereka di depan. Sungguh menakutkan sekali. Tangan kekar berotot dan bertatto, kepala botak dan ber anting, pakaian hitam lusuh dengan tatapan wajah yang sangat mengerikan. Ketiga pria di depanku inilah yang telah menyamar menjadi polisi dan telah menculik Hamzah juga saat malam itu.

Ayssa membuka ponsel dan merekam semua pembicaraan mereka. Aku juga mendengarkan dengan seksama apa saja yang sedang mereka bicarakan.

Cukup lama mereka ada di sini. Mungkin kurang lebih tiga puluh menit. Rasanya semua hal mereka obrolkan. Dari pembicaraan yang serius hingga tak berbobot. Kakiku juga sampai pegal karena jongkok dan menunggu mereka pergi.

"Hei, apa tadi kamu sudah melemparkan batu itu ke rumah Hamzah?" Tanya seorang pria itu pada temannya. Benar dugaanku, ini memang ulah mereka.

Temannya itu tertawa. "Sudah, bahkan saya bisa melihat reaksi seorang wanita yang langsung lari mencari saya saat itu. Melihat wajahnya yang begitu ketakutan, saya jadi ingin menertawainya."

"Memangnya kamu di mana?"

"Saya sembunyi, bos. Tapi wanita bodoh itu tak mengetahui keberadaan saya. Hahaha," dia kembali tertawa, "dasar bodoh."

"Benar sekali, wanita itu bodoh ya. Lemah pula." Sahut teman yang satunya lagi.

Aku dan Ayssa seketika saling bertatapan. Ada rasa kesal yang membuncah tatkala mereka mengatakan semua itu dengan santainya. Ingin sekali aku menghajar mereka secara brutal, dan membuat mereka duduk bersimpuh, berlutut meminta maaf kepada semua wanita.

Untung saja Ayssa membuatku sabar untuk tak tergesa-gesa menghampirinya.

"Eh, mereka begitu pasrah dengan keadaan ya. Saya jadi semakin bersemangat untuk menghajar dan menghabisi mereka satu-satu."

"Benar. Saya juga tak sabar ingin segera mengirim jasad keduanya ke rumah Hamzah. Saya juga ingin segera meihat reaksi keluarganya itu akan seperti apa." Dia kembali tertawa lepas, seakan apa yang mereka lakukan saat ini adalah hal yang menyenangkan.

"Pastinya nangis bombay," sahut temannya sambil terkekeh, "sudahlah. Tak baik lama-lama di sini. Bos masih ada keperluan kah di sini?"

"Tidak. Tapi aku merasa ada seseorang  berada di rumah ini."

Seketika aku membulatkan mata dan saling bertatapan dengan Ayssa. Hawa panas menjulur dari tengkuk hingga punggung. Keringat juga membasahi pelipis. Aku dan Ayssa sama-sama memegang tangan dengan erat.

Tapi mendengar bosnya mengucapkan itu, kedua anak buahnya serentak tertawa bersama. "Bos ini kenapa? Bos merasa ada seseorang di sini? Lha terus kita ini siapa? Setan?" Tawa kedua pria itu begitu menggelegar hingga membuat bosnya kesal lalu pergi meninggalkan rumah ini.

"Alhamdulillah." Ucap kami bersamaan setelah memastikan mereka sudah pergi, "untung saja mereka tak curiga ya dengan kehadiran kita." Sahut Ayssa.

"Iya alhamdulilah. Semua ini berkat perlindungan dari Allah."

"Iya. Tapi aku kesal juga mendengar ucapan mereka itu. Sakit rasanya rein kakak dan Alif seperti direndahkan."

"Aku juga merasakan hal yang sama," aku berusaha keluar dari tempat persembunyian lalu menarik tangan Ayssa agar keluar juga, "hati-hati ay."

"Oke. Terima kasih Rein."

"Sama-sama. Ayo," aku mengajaknya keluar dari rumah ini. Mataku terus saja melemparkan pandangan ke kanan dan ke kiri, barang kali saja ada mereka di sekitar sini.

"Lalu kita mau ke mana?" Ucap Ayssa berbisik.

"Aku juga tak tahu. Tapi bagaimana kalau kita ke gubuk tua itu?"

"Sekarang?" Tanyanya.

"Iya. Kapan lagi?"

"Ya sudah, ayo."

Aku dan Ayssa berjalan dengan pelan dan berusaha tak menginjak apa pun yang bisa membuat mereka sadar akan keberadaan kami.

Gubuk tua itu, kami akan segera menghampirinya. Semoga ada hal mengejutkan yang kami temukan di sana. Semoga!