Jarak dari rumah kosong sampai ke gubuk tua itu memang tak terlalu jauh, tapi perjalanan kami ini lama sekali karena tempo langkahnya diperlambat.
Semua perasaan teraduk campur menjadi satu. Apalagi ketika tawa menyeramkan itu mulai terdengar lagi, aku dan Ayssa saling menggenggam tangan dengan erat satu sama lain. Kita harus terus maju dengan apa pun kondisinya, kita juga harus bisa menemukan mereka dengan menerima seluruh resiko yang akan aku dan Ayssa hadapi nantinya.
Suasana malam di hutan ini begitu mencekam dan udaranya lumayan dingin. Untung saja sedari awal kita memakai jaket dan celana serba hitam. Tak lupa masker dan kupluk jaketnya juga kita kenakan. Setidaknya kostum yang aku dan Ayssa kenakan ini, tak terlalu kelihatan jika mereka melihat kami di tempat gelap.
"Reine?" Ucapnya berbisik.
"Iya?"
"Apa kamu yakin kakak dan Alif ada di sana?"
"Aku tak tahu, tapi aku juga penasaran, ay. Barangkali saja kita menemukan suatu hal di sana. Ya harap-harap ada Alif dan Hamzah juga di gubuk tua itu. Bukankah lebih baik kita memastikan dulu biar tak penasaran?"
"Benar juga katamu."
Suara tawa itu semakin sini semakin terdengar. Bahkan aku dan Ayssa juga mendengar ada suara pukulan yang teriring sebelum tawa itu meledak. Aku dan Ayssa semakin yakin, ada seseorang di sana yang tengah mereka permainkan.
Kini jarakku dengan gubuk tua itu tak terlalu jauh. Mungkin kurang lebih lima meter. Aku dan Ayssa terus memerhatikan apa yang tengah mereka bicarakan di balik pohon besar ini.
"Reine?" Tiba-tiba Ayssa membuka suara dengan suara sedikit keras.
Aku terkejut lalu seketika menutup mulutnya, "pelan-pelan Ayssa. Bagaimana kalau mereka tahu?"
"Aduh, maafkan aku," ujarnya berbisik, "apa kamu tahu?"
"Memangnya apa?"
"Coba lihat itu," dia menunjuk suatu benda yang jaraknya tak terlalu jauh dari aku berdiri.
Ku perhatikan dengan saksama, "itu hanya kain kecil." Kataku tak terlalu menghiraukan.
"Tapi Rein, apa kamu tak penasaran dengan kain itu?"
"Penasaran? Untuk apa?"
"Karena aku merasa seperti pernah melihat kain itu. Coba kamu ambil dan pastikan."
Atas permintaannya, kuambil kain itu yang ternyata adalah sapu tangan berwarna putih tapi sudah sedikit kotor.
Ketika kubalikan, betapa terkejutnya aku tatkala di sapu tangan yang aku pegang ini bertuliskan huruf H. Aku segera memberikannya pada Ayssa, dia juga sama-sama terkejut sambil terus memperhatikan sapu tangan itu.
"Benar kan apa kataku. Ternyata sapu tangan ini milik kakak." Suaranya terdengar parau.
"Itu artinya Hamzah memang pernah dibawa ke sini. Dan apa jangan-jangan...." Aku menatap Ayssa, "orang yang sedang dipukuli para penjahat itu adalah Hamzah?"
"Ya Allah. Sepertinya katamu benar!" Ayssa menarik tanganku untuk menuju gubuk itu, tapi setelahnya dia segera kembali menarik tanganku untuk bersembunyi belakang di pohon, "tundukkan kepalamu, reine!"
"Ada apa?" Tanyaku keheranan.
"Shuuttt!!!" Dia menutup mulutku, "mereka keluar."
Aku sedikit mengintip dari semak-semak yang tingginya sejajar dengan tinggiku. Mereka bingung seperti mencari seseorang di luar.
"Apa kamu tadi mendengar suara?" Tiba-tiba salah satunya mengatakan hal itu.
"Iya. Seperti suara wanita kan?"
Pria itu mengangguk. "Tapi tak ada ya. Apa mereka sembunyi?"
"Hush. Mana mungkin sih. Ini kan hutan. Mana mungkin juga ada wanita yang ke sini malam-malam."
"Benar juga katamu."
"Sudahlah kita masuk. Buang-buang waktu saja."
Temannya itu mengajaknya lagi ke gubuk tua. Aku dan Ayssa seketika mengelus dada.
"Alhamdulillah, untung saja mereka tak curiga. Kita harus lebih hati-hati lagi." Kataku.
"Iya, Rein."
Aku masih diam di tempat memerhatikan gubuk tua itu.
"Bagaimana Rein? Kita tetap mau ke sana?"
"Iya, ayo." Aku menarik tangan Ayssa dan berjalan dengan pelan sekali agar gesekan antar semak tak terdengar oleh mereka.
Hatiku semakin waswas ketika sampai di tempat tujuan. Di gubuk tua ini, terdapat celah-celah kecil yang membuatku bisa sedikit mengintip apa saja yang tengah mereka lakukan.
Aku bisa melihat ketiga pria itu. Tapi aku tak bisa melihat siapa sosok yang mereka pukuli di baliknya. Karena kepalanya seperti ditutup karung kecil. Jadi aku tak bisa melihatnya dengan jelas siapakah dia.
Aku terheran ketika melihat hanya ada satu pria yang menjadi korban di sana. Aku sempat memberi isyarat pada Ayssa, mungkin saja itu bukanlah Alif atau Hamzah.
Ayssa juga berpikir hal yang sama. Karena mana mungkin juga para penjahat itu membeda-bedakan dalam menyimpan korbannya.
Waktu sudah menunjukan pukul satu pagi. Keheningan malam terpecahkan oleh suara jangkrik dan kodok yang saling bersahut-sahutan.
Aku bingung ketika berada di posisi ini. Ingin berjalan terus untuk memastikan, tapi sepertinya korban itu bukanlah orang yang aku dan Ayssa cari.
"Rein, bagaimana ini? Keadaan di dalam sudah sepi. Sepertinya mereka sedang tidur." Ucap Ayssa berbisik.
"Aku tak tahu. Kalau pulang juga rasanya percuma Ayssa. Kita sudah terjerat di sini."
"Benar juga ya. Takutnya kalau kita pulang, mereka mendengar suara langkah kita."
"Nah itu masalahnya."
"Jadi?" Tanyanya memperjelas.
"Coba lihat itu," aku mendekatkan Ayssa pada celah dinding bambu, "kamu lihat kan orang itu?"
"Iya, aku lihat. Memangnya kenapa?"
"Apa mungkin kamu tega melihat kondisinya yang sangat tersiksa? Menurutku, kalau kita tak mampu menemukan Alif atau Hamzah. Setidaknya kita harus menolong seseorang yang ada di dalam sana."
"Tapi bagaimana kalau mereka tahu, Rein? Aku sangat takut."
"Kita kan bawa pisau dan tongkat kayu."
"Cobalah kamu mengerti. Mereka itu berotot dan tangannya kekar sekali. Apa sanggup tongkat kayu kita membuat mereka ambruk lalu pingsan? Aku rasa itu tak mungkin."
Kupikir-pikir, benar juga ucapan yang tadi Ayssa katakan. Kalau aku dan Ayssa sampai melakukan hal itu pada mereka, pasti tak akan menimbulkan kesan apa pun.
Aku terus berpikir bagaimana caranya bisa mengeluarkan seseorang itu. Karena apa pun itu, kita sudah tanggung berada di sini. Mana mungkin juga aku bisa membiarkan seseorang menderita hanya karena keegoisan sendiri?
Aku tak mau melakukan hal itu. Aku harus berusaha mengeluarkannya.
Aku mulai bangkit lalu menuju pintu itu. Ketika sudah di depan, aku bingung harus melakukan apa. Sementara pisau ku pegang dan Ayssa memegang tongkat kayunya. Aku ragu kalau harus berhadapan dengan mereka.
Dengan mengucapkan bismillah di dalam hati, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di dalam gubuk hingga aku tersentak lalu menginjak botol bekas air mineral.
"Hei, siapa itu?!" Bentak salah satu pria di dalam gubuk ini. Aku terhenyak lalu berusaha bangkit mencari tempat persembunyian ketika mereka terus bertanya apakah ada seseorang di luar sana.
Aku terus saja memaki diri sendiri yang bertindak ceroboh. Untung saja tak jauh dari tempat kami berdiri, ada tempat gelap yang sangat cocok untuk bersembunyi. Segera aku dan Ayssa berlari ke sana.
Gubrakk!!!
Suara gebrakan pintu terdengar jelas di telinga kami. Sepertinya mereka marah karena suara tadi. Mereka berteriak-teriak memanggil dengan nada yang tak sopan.
"Hei, brengsek! Siapa yang ke sini?!"
"Keluar kamu! Sebelum kami sendiri yang menemukanmu!"
"Benar, kalau saja kamu tertangkap basah oleh kami, tak akan pernah kami membebaskan kamu!!!"
"Keluar cepat!!!"
Mereka memencar untuk mencari keberadaan kami. Aku dan Ayssa saling berpegangan erat dan memejamkan mata. Rasa takut, seram, semuanya tercampur aduk menjadi satu.
"Hei, kita tahu kamu di sini. Cepat keluar atau kami akan membunuh orang yang ada di dalam gubuk itu, malam ini juga."
Aku terperanjat kaget ketika salah satu dari mereka mengatakan hal itu. Aku bingung kali ini harus melakukan apa.
"Reine, bagaimana ini? Aku takut...." Ujarnya sangat pelan.
"Aku juga tak tahu Ayssa. Aku bing-"
"Heiii!!!" Kali ini bentakannya sukses membuat kami terkejut bukan kepalang, "kalau dalam hitungan ketiga tak ada yang keluar, obi!" Perintah bos itu pada anak buahnya, "ambil pistol yang ada di dalam!"
"Reine bagaimana ini? Apa kita harus menyerah saja?"
"Jangan gegabah Ayssa. Mereka tak akan melakukan itu."
"Tapi menurut Amzar, mereka itu penjahat tanpa ampun. Bagaimana kalau sampai pria yang ada di dalam gubuk itu benar-benar ditembak karena kecerobohan kita?"
Pikiranku sangat kalut. Aku tak bisa berpikir jernih, bagaimana caraku untuk terbebas dari semua masalah ini. Aku terus mencari cara sedangkan Ayssa bersikeras untuk menyerah saja.
Aku tak mau menyerah, tapi aku bingung harus melakukan apa.
"Hahaha." Tawanya sungguh sangat mengerikan, "ternyata kamu ingin mempermainkan kami. Baiklah."
Dor!!!
Satu peluru melesat pas di sampingku. Seketika aku mengelus dada karena Allah masih melindungiku.
Dor!!!
"Argh!" Aku berusaha meringis pelan ketika peluru itu kembali melesat di samping kakiku. Tak menembus, tapi hanya saling menggesek satu sama lain. Aku menutup mata dan pasrah kalau pistol itu nanti mengenai sasaran.
"Bos, sudahlah. Tak usah memikirkan itu. Ayo, pria santapan kita itu mencoba kabur dari gubuk."
"Benarkah?"
"Iya."
"Sialan!" Gerutunya, "kamu tetap di sini dan perhatikan kalau ada seseorang. Kalau dia biarlah menjadi urusanku."
"Percuma bos. Di sini tak ada siapapun. Kalaupun ada seseorang, pasti akan langsung menyerah setelah bos menakutinya."
Pria itu nampak berpikir. "Baiklah. Percuma juga mengurusi hal yang tak penting." Setelah itu mereka kembali ke dalam gubuk.
Seketika aku menghela napas dengan tenang. Sementara itu Ayssa nampak khawatir dengan keadaan kakiku.
"Rein, lihat!" Dia memintaku untuk menunduk, "kakimu berdarah."
Aku bisa melihat darah segar mulai menetes dari kaki. Aku terus beristigfar dalam hati dan meminta Ayssa untuk tetap tenang.
Gesekan peluru panas tadi terhadap kakiku, membuat darahnya terus saja menetes tak ada henti. Aku bisa merasakan perih, panas dan rasa denyutan yang tiada tara.
Aku juga tak membawa perlengkapan obat. Dan membiarkan darah ini berhenti menetes dengan sendirinya.
"Reine, kita harus pulang!" rautnya terlihat serius, "kamu sudah terluka dan aku tak bisa membiarkanmu seperti ini. Ayo, ikut aku!" Ayssa menarik tanganku tapi aku kembali menarik tangannya karena melihat ketiga penjahat itu keluar lagi dari gubuknya.
Tapi keadaan lain, bos nya itu seperti tengah berbicara lewat telepon bersama seseorang.
"Baiklah. Kami akan segera ke sana." Tak berselang lama, pria itu menutup lagi teleponnya.
"Bi, kunci gubuk itu dengan rapat. Bos besar menunggu kita saat ini."