Aku berdiri termenung di balkon. Menatap langit malam yang seakan memberi kehangatan dan hiburan pada diri. Berusaha bahagia, tapi hati enggan melakukan itu semua.
Sampai saat ini aku terus mencari cara bagaimana menceritakan hal yang begitu berat ini pada Ayssa. Dia begitu terluka. Apalagi ketika kebenaran tentang Hamzah ia tahu semuanya, aku tak bisa membayangkan, betapa sedih dan terpuruknya ia menghadapi kenyataan pahit nantinya.
Sudah beberapa jam aku termenung di sini. Memikirkan hal-hal yang penuh dengan luka dan tanda tanya besar. Rasa sesak masih terus mengganjal pada hati. Bagaimana caraku untuk memohon maaf pada Hamzah?
Mataku tiba-tiba memanas dan meneteskan air. Aku tak paham bahkan tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi pada Hamzah, apa masalah yang sedang ia hadapi hingga harus menerima hukuman sebesar ini padanya.
Aku yakin, ada seseorang dibalik semua ini. Hamzah tak akan melakukan dan tak pernah bisa melakukan hal yang membuat orang lain dendam. Aku percaya itu.
Tak seperti biasanya, kulihat cahaya bulan tampak redup tertutup awan. Bintang pun hampir tak terlihat oleh mataku. Entah mengapa jika aku melihat situasi seperti ini, aku merasakan ada hal yang tak beres dengan keadaan sekitar.
Pikiranku langsung tertuju pada Hamzah. Aku selalu menelungkupkan kedua tanganku untuk meminta perlindungan pada Allah untuk Hamzah. Pipiku terus basah dibanjiri air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Rasa bersalah, kasihan, khawatir, semuanya tercampur aduk menjadi satu.
Jantungku masih berdegup tak karuan. Tangan selalu gemetar jika ingin melakukan sesuatu. Makan pun rasanya tak berselera. Semua yang aku lakukan seperti tak ada apa-apanya.
Percayalah, setelah pulang tadi, aku belum menemui Ayssa. Rasanya aku tak mau menghadap wajahnya dengan penuh kebenaran yang belum bisa aku utarakan padanya.
Aku tak mau menutupi hal ini lama-lama. Karena akan terus membuat Ayssa berharap lebih, sementara kenyataan tak berpihak baik pada kami.
"Rein," seseorang tiba-tiba memegang pundakku pelan. Aku tersentak kaget lalu segera mengusap air mata.
Kubalikan badan, dan kudapati ada Ayssa di depanku sekarang.
Melihat wajahnya saat ini, entah mengapa aku begitu lemah hingga tak mau menatap matanya. Dalam dirinya itu, seakan ada bayangan Hamzah yang selalu menyertainya.
Aku duduk bersimpuh pada Ayssa. Tak mampu lagi menahan tangis karena hal yang telah aku lakukan.
Genggaman tangannya pada lenganku membuatku berdiri lagi. Dia memegang daguku dengan lembut dan mengusap air mata yang membasahi pipi.
"Ada apa, rein." Suaranya itu mampu membuatku tak bisa menghentikan tangis.
Kali ini, bukan kepada Hamzah saja aku telah melakukan kesalahan. Tapi pada Ayssa pun, aku harus berusaha menutupi kebenaran.
Walau aku tahu, suatu saat nanti dia pasti akan mengetahuinya.
"Tenanglah, katakan padaku ada apa?"
Aku memeluknya dengan erat. Saat ini aku hanya ingin menangis meluapkan emosi yang selama ini terpendam. Kulihat ada banyak kekhawatiran di wajah Ayssa,ia terus saja menenangkanku.
"Apa yang kamu pikirkan hingga membuatmu seperti ini?" Matanya berkaca-kaca.
"Maafkan aku, Ayssa. Maafkan aku." Aku harus bisa mengatur emosiku lagi.
"Maaf untuk apa?"
Aku masih bingung harus mengatakannya dari mana.
"Katakan Rein, ada apa?"
Aku terdiam sesaat walau masih sesenggukan, "maafkan aku," aku tak berani menatap matanya, "aku belum bisa membawa Hamzah kepadamu." Dengan terpaksa ku harus tutupi kebenaran ini sementara, untuk memastikan keadaan yang sebenarnya terjadi pada Hamzah.
Maafkan aku Ayssa, baru kali ini aku berbohong padamu.
"Kamu jangan seperti itu. Kak Hamzah pasti baik-baik saja di sana. Lagi pula kepolisian sudah mengusutnya lebih jauh, kan?"
Aku mengangguk pelan.
"Jadi kamu jangan berpikir ini adalah kesalahanmu. Kita harus sama-sama mencari, bukan saling menyalahkan diri sendiri." Ayssa mengangkat daguku, "ya?"
Aku terdiam.
"Sudah sini," dia menarik tubuhku lebih dekat, "aku tahu perasaanmu sedang kalut. Dan aku sadar untuk tak harus menghujanimu banyak pertanyaan. Karena yang kamu butuhkan saat ini hanyalah pelukan."
"Terima kasih, Ayssa."
"Sama-sama." ujarnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
Tak tahu sampai kapan aku harus menyembunyikan ini. Tak tega melihatnya harus mendewasakan diri ketika melihatku seperti ini, padahal dia sendiri juga rapuh.
Ya Allah, semoga ada keajaiban yang datang dariMu untuk Hamzah. Selamatkanlah dia dari segala ancaman dan marabahaya. Karena sesungguhnya, engkau lah sang pelindung dari semua makhluk.
Tak berselang lama, cuaca malam tiba-tiba dingin dan mulai gerimis. Kami segera turun ke bawah dan masuk ke kamar. Mematikan lampu, menarik selimut kemudian saling membisu dalam diamnya masing-masing.
Aku tak bisa tidur. Semakin aku memejamkan mata, semakin teringat kesalahan-kesalahan yang telah aku lakukan pada Ayssa dan Hamzah. Aku tak tahu bagaimana cara meredakan ini semua. Aku hanya ingin luka ini segera sembuh. Baik lukaku, Ayssa, Alif, Hamzah maupun semua keluarga yang terlibat.
...
08.00
Aku dan Ayssa bersiap untuk mencari Hamzah. Pada awalnya aku tak berniat mengajaknya, tapi dia bersikukuh untuk ikut. Terpaksa, aku harus mengikuti apa katanya.
Aku juga harus menerima apa pun yang terjadi ke depannya nanti.
Salah satunya ialah terbongkarnya kebenaran tentang Hamzah.
Aku dan Ayssa sudah meminta izin pada bibi untuk pamit. Tak lupa bibi juga memberikan kunci mobilnya untuk perjalanan kami nanti. Ketika kubuka pintu, angin dingin seketika menyusup ke dalam tulang. Awan tiba-tiba mendung. Padahal masih pukul delapan, tapi rasanya ini masih pukul enam pagi. Aku kembali ke kamar sebentar untuk mengambil payung lipat. Barang kali saja nanti ketika mencari informasi mengenai Hamzah tiba-tiba hujan deras.
Ku hampiri kontrakan Alif yang terlihat sepi. Ku ketuk pintunya dan tak lupa mengirim pesan padanya.
Sudah beberapa menit tapi tak ada jawaban. Baik dari ketukan pintu atau dari pesan WhatsApp.
Ku ketuk lagi pintu dan menunggunya beberapa saat. Tapi masih tak ada jawaban. Ayssa juga mencoba meneleponnya, tapi tak ada yang menjawab.
Aku masih berpikir positif, mungkin saja di dalam sana Alif sedang berada di kamar mandi.
Sementara itu, aku dan Ayssa duduk sambil menunggunya. Tak lama kemudian, mataku menangkap sebuah kertas yang terlipat di celah bawah pintu.
Aku menghampirinya lalu mengambil kertas itu. Sepertinya ini sebuah surat yang dengan niatnya disimpan di sini.
Awalnya aku akan membuang kertas itu, namun pada akhirnya aku membukanya juga karena penasaran ada nama Alif yang tertulis di sana.
'Sudah lengkap semua rencana kami. Hamzah dan Alif akhirnya ada di tangan kami juga. Kalian tak usah mencari di mana mereka. Karena saat ini, mereka sudah di manjakan dengan balok kayu dan tamparan manis setiap harinya. Tak lupa, hadiah terakhir berupa pisau belati akan kami tancapkan juga pada waktunya.
Ingat, waktu kalian tinggal enam hari lagi.
Bukan hanya Hamzah, tapi Alif juga akan turut dihantarkan jasadnya oleh kami.
Kalian hanya duduk saja dan siapkan beberapa hal untuk mengantarkan mereka ke peristirahatannya yang terakhir.'
Tanpa sadar, aku menjerit sekeras-kerasnya lalu duduk bersimpuh hingga membuat Ayssa terkejut lalu menghampiriku.
Tak pernah kubayangkan dari awal mengapa Alif bisa ikut terlibat menjadi korban kekejaman mereka. Rasanya baru kemarin kami sama-sama mencari Hamzah berdua. Dan sekarang, mengapa para penjahat itu harus membawa Alif juga?
Ya Allah. Jagalah mereka berdua. Jangan biarkan mereka terluka. Aku tak bisa membiarkan hal sekecil apa pun yang mampu membuat Alif menderita.
Aku tak bisa berpikir jernih lagi. Hidupku rasanya hancur tak tahu harus memungutinya dari mana lagi. Ayssa masih kelimpungan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga dia merebut kertas itu dariku dan segera membacanya.
Kukira dia akan melakukan hal yang tak aku duga dari sebelumnya. Tapi ternyata, dia hanya diam dan seakan apa yang ia pikirkan selama ini sudah terjadi. Tak ada lagi apa pun yang ia lakukan, kecuali terus menyebut, "kakak..., kakak...."
Dalam fase yang tahu harus bagaimana lagi, kulihat cincin yang terpasang cantik di jari manis tangan kiriku. Seketika aku mengingat saat-saat Alif menyatakan perasaannya dan mengikat ku di hari itu. Benar, cincin ini adalah bukti juga saksi bisu perjalanan cinta kami berdua.
Aku tak boleh menyerah. Aku bangkit dan harus menemukan hidupku. Akan kutorehkan semua usahaku dalam enam hari ini untuk membuat mereka kembali.
Ku tarik tangan Ayssa lalu mengajaknya pergi. Untung saja ada Taksi, aku segera menaikinya tanpa ba-bi-bu lagi.
Sebenarnya kalau di iyakan, aku tak ingin melakukan apa pun kecuali menangis. Meneriaki semua keadaan, mengapa ini bisa terjadi pada kami? Apa salah aku? Apa salah Alif? Kenapa dia harus juga menerima hukumannya?
Aku harus kuat. Sama seperti apa yang pernah Alif katakan. Semua kehancuran ini harus segera aku perbaiki. Aku harus tegar, dan menemukan kembali hidupku untuk menyempurnakan cerita cinta kami berdua.
Aku dan Alif.
Tampak dari kejauhan, kulihat ada seorang pria yang sedang duduk di dekat apotek. Aku yakin itu Amzar, aku segera menghentikan mobilnya dan menemuinya.
Ketika melihatku, dia langsung berdiri.
"Mbak?" Rautnya tampak bertanya-tanya.
"Sekarang ikut aku." Aku menarik lengan bajunya ke mobil.
"Kita mau ke mana, Mbak?"
"Ke tempat kemarin."
"Memangnya kamu kemarin ke mana? Dan dia siapa?" Ayssa kebingungan ketika melihatku membawa seorang pria.
Seakan sudah tahu kondisinya, Amzar menceritakan dengan detail siapa dirinya, lalu saat ia melihat Hamzah dibawa oleh polisi, hingga kemarin kami bertiga pergi ke hutan.
Aku bisa melihat raut Ayssa yang nampak terkejut.
"Kenapa kamu tak memberi tahuku?" Ayssa terus memberondongi ku dengan pertanyaan yang sama.
"Reine!" Dia nampak kesal lalu menghadapkan wajah ku ke hadapannya, "hal apa saja yang telah kamu sembunyikan dariku? Kenapa kamu tak memberi tahuku?"
Aku hanya diam dan menutup mata.
"Reine, tatap mataku!" Suara Ayssa meninggi, "kenapa kamu harus menanggung ini sendirian? Kenapa kamu tak memberi tahuku?"
Aku terus saja menangis lalu memeluknya erat. "Maafkan aku, Ayssa. Aku takut jika harus mengatakan hal ini padamu. Aku takut kondisimu kian memburuk."
"Lalu kamu akan membiarkan kondisimu semakin memburuk karena terus memendamnya sendiri?"
"Aku takut Ayssa. Aku takut ada sesuatu yang terjadi pada Alif. Kenapa dia juga harus mendapat hukuman itu, kenapa Ayssa kenapa?"
Dia kembali memelukku, "kita sedang diuji Ayssa. Sabarlah, Allah selalu menyertai kita dan mereka berdua. Kita tak boleh menyerah. Kita harus menemukan mereka. Kita tak boleh takut."
Aku melepas pelukannya," sampai titik perjuangan kita, Ayssa. Kita harus melakukannya."