Aku, Ayssa dan Amzar segera menuju hutan untuk kembali ke rumah kosong itu. Dengan sigap, Amzar berjalan di depan sembari menghalau semak-semak yang menghalangi jalan kami. Dan tak lama kemudian, kami sampai di tempat tujuan.
Segera kubuka pintu itu dengan keras. Aku bahkan tak pernah berpikir kalau-kalau di dalamnya banyak penjahat. Aku tak takut. Aku akan melawan mereka.
Apalagi jika melihat Alif terluka, setidaknya aku harus merasakan rasa sakitnya itu.
Hawa dingin masih mencekam di ruangan ini. Ayssa terus saja mencari sambil meneriaki nama kakaknya. Sementara aku mencari di setiap penjuru apakah ada Alif, atau mungkin hal-hal yang masih ada sangkut pautnya dengan dia.
Kuhampiri ruangan kemarin yang di mana kutemukan tongkat kayu, tali tambang dan lakban hitam di sana. Emosi sekaligus sedih seakan meluap-luap pada dada.
Kalau saja aku bisa menemui para penjahat itu dan mereka telah membuat Alif terluka, akan aku pukul mereka tanpa ampun.
Ku acak-acak setiap benda yang berjejer rapi di sini. Aku tak peduli jika mereka nanti datang dan marah melihat keadaan rumah yang berantakan. Karena sikap mereka sudah keterlaluan dan tak patut dimaafkan.
Napasku tak teratur. Seperti ada hawa panas yang mengompori hati agar terus membabi buta. Untung saja aku masih beristigfar dan mulai menetralkan emosiku.
Bugg!
Ku tonjokkan tanganku pada tembok tatkala tak kutemukan hal apa pun di sini. Tanganku gemetar sambil terus mengepal. Lutut terasa lemas ketika mengingat isi surat tadi.
Tak mungkin! Tak mungkin aku berdiam diri meratapi kondisi Alif dan Hamzah yang aku tak tahu bagaimana keadaannya sekarang.
Aku terus memasuki setiap ruangan dan mengobrak-abrik apa pun hal-hal yang ada di dalamnya. Ini sungguh kelewatan. Para penjahat itu harus diberi hukuman yang setimpal.
"Hei! Siapa pun yang ada di sini, kemarilah!" Aku berteriak lantang dengan nada menantang, "aku tak takut dengan kalian. Kemari dan bawalah Alif juga Hamzah. Aku tak akan pernah memaafkan kalian jika mereka berdua terluka. Ayo, sini, lawan aku!!!"
Ayssa menghampiriku sambil terus berusaha menenangkan, "sabar, Rein. Kita jangan gegabah."
"Kamu tahu? Kondisi Alif saat ini sedang genting. Begitu pula dengan Hamzah. Kita sebagai wanita yang sama-sama menyayangi mereka, jangan diam saja. Setidaknya kita harus menjelma dulu untuk melawan mereka menjadi wanita yang kuat. Kita harus bisa Ayssa. Kita pasti bisa."
"Tapi bagaimana? Di mana kita bisa menemukannya?"
Ujung mataku menangkap sebuah bangunan tua yang tampak kotor dan menyeramkan. Aku jadi ingat kemarin, aku Alif dan Amzar akan menemui gubuk tua itu tapi tak jadi.
Segera ku panggilkan Amzar untuk bersama-sama menuju ke sana. Entah kenapa terbesit di dalam hati, bahwa ada sesuatu yang tak beres di sini.
Ketika sampai sana, pintu gubuk tiba-tiba tertutup rapat. Padahal aku masih ingat kemarin pintunya terbuka. Ku ketuk pintu dengan keras, tapi tak ada jawaban sama sekali.
Tanpa ba-bi-bu lagi, ku dobrak pintu itu dengan menendang badan pintunya.
Tak ku sangka, pintu itu langsung terbuka dalam kondisi yang rusak karena tendangan ku tadi.
Aku, Ayssa dan Amzar langsung masuk dan meneriaki nama Alif juga Hamzah. Seketika bau anyir masuk ke dalam rongga hidung. Aku rasa ada korban baru yang mereka simpan di sini. Tanpa adanya komando, kami saling memencar dan mencari tahu sendiri-sendiri.
Aku masuk ke dalam kamar, berharap ada informasi lebih jauh mengenai keberadaan mereka. Tapi lagi-lagi aku tak menemukannya.
Aku segera pindah menghampiri kamar yang lain. Ku gali lagi di setiap benda yang terlihat mencurigakan, karena barang kali ada beberapa bukti yang tersimpan di sini.
Pada akhirnya, sudah tiga kamar yang aku datangi namun tak ada titik cerah yang aku dapat. Tapi aku tak boleh menyerah. Di sana tinggal satu tempat lagi yang belum aku singgahi, yaitu dapur. Aku harus memeriksanya.
Ku langkahkan kaki ke sana. Mengobrak-abrik lagi barang hingga aku merasa tengah menginjak sesuatu.
Ini bukan lantai tanah yang biasa dipijak. Tapi ini, seakan ada kain lebar yang tergulung acak.
Ku tundukkan kepala untuk memastikan. Kulihat, sebuah kaos putih lusuh yang membuatku penasaran untuk mengambilnya.
Seakan mimpi, lututku tiba-tiba lemas ketika di ujung bawah kanan kaos itu bertuliskan nama Alif. Yang kutahu, baju dia hampir semua bertuliskan namanya sendiri seperti ini.
Tak disangka juga, punggung kaos itu robek dan ada bercak-bercak darah. Aku terus terpaku melihat kenyataan ini. Sama seperti Hamzah, penjahat itu meninggalkan benda yang terakhir kali korbannya pakai. Mereka seakan menantangku untuk lekas menemuinya.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Kupeluk kaos itu dengan erat seakan sosok Alif nyata ada di depanku. Hatiku begitu teriris, sangat terluka, seperti sama-sama merasakan luka yang sedang diderita masing-masing.
"Alif, kamu di mana?" Pertanyaan itu yang selalu keluar dari mulutku sendiri. Melihat keadaan kaos miliknya ini, seakan ada beban berat yang membuatku tak memiliki kekuatan apa pun lagi.
Aku tak mau menyerah. Tapi bagaimana caraku menemukan mereka?
Kulihat Ayssa menghampiriku dan kita sama-sama menangis. Seakan tak ada harapan lagi dengan apa yang telah kita perjuangkan. Tak ada titik cerah, yang ada hanyalah bukti-bukti kejahatan sadis, yang dengan tega mereka simpan agar membuat kita semua pasrah, lalu menyerah.
Tak pernah kusangka dari awal, hidup Alif akan menjadi taruhan juga. Aku terus menelungkupkan tanganku pada Allah diiringi tangis sendu yang tak bisa aku tahan lagi.
Dunia itu jahat. Benar kata Alif saat itu. Saat kita masih belum mengenal satu sama lain, dia selalu mengatakan hal yang sama padaku.
"Rein." Ayssa mengusap air mataku, "kita tak boleh menyerah dengan semua hal seperti ini. Kita harus tetap mencarinya. Kita harus bisa saling menguatkan." dia juga tengah menangis.
"Aku tak bisa melihat Alif terluka, Ayssa. Seperti ada hantaman peluru ketika melihat semua ini yang membuatku seolah-olah tak bisa berbuat apa-apa lagi."
"Kamu jangan seperti itu. Kita harus saling menguatkan, bukankah aku juga belajar semua hal ini darimu?"
"Dengar Rein," dia mendongakkan wajahku ke hadapannya, "aku juga tengah kehilangan kakak tercintaku dari beberapa hari kemarin. Kamu yang selalu menguatkanku untuk terus bersabar. Kita harus menjadi sosok yang kuat. Jangan menyerah, ya?"
Seakan ada kekuatan baru mendengar ujaran Ayssa seperti itu. Seketika aku membuat janji pada diri untuk terus menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Karena saat ini, Alif dan Hamzah sedang diperlakukan tidak adil. Maka dari itu aku harus mencegahnya dengan segera.
Kalaupun pada akhirnya nanti mereka dikembalikan tanpa nyawa, setidaknya aku dan Ayssa sudah berjuang sejak awal. Meski misalnya takdir tak berpihak pada kami, setidaknya nanti kami akan mati bersama-sama.
Hidup membuatku mengerti untuk terus mencari mereka lebih jauh. Kaos Alif masih ku dekap dan berharap dia di sana merasakan kehangatannya juga.
Aku menelusuri hutan ini, yang tak tahu sampai kapan juga aku mengakhirinya. Aku hanya ingin kembali ke rumah, membawa sebuah berita baik. Bukan hanya tangan kosong yang terus menghantui pikiran, kemanakah sebenarnya mereka ada.
"Mbak?" Setelah sekian lama kami membisu, akhirnya Amzar membuka suara.
"Kalau boleh tahu, apa mbak pernah melihat sikap aneh yang telah mas Alif lakukan?"
"Aku rasa tidak. Setelah pulang kemarin, dia juga pulang ke rumah. Dan aku melihat pakaian terakhir Alif itu sama seperti pakaian yang aku pegang sekarang ini."
Dia memperhatikan kaos itu, "ya Allah, tega sekali para pelaku itu membuat mas Alif seperti ini. Meskipun saya baru mengenalnya sebentar, tapi saya bisa menilainya bahwa dia pria yang baik."
"Ujian orang-orang yang baik justru terkadang lebih berat dari orang yang sering membuat kesalahan." Jawabku.
"Benar," sahut Ayssa, "dan apa kamu juga tahu, mungkin ada beberapa tempat selain di sini untuk mencari keberadaan Alif dan kakak?" Tanya Ayssa pada Amzar.
Dia sejenak berpikir, "saya tak tahu. Saya hanya tahu daerah sini saja mbak. Mungkin kalau Mbak mau tanyakan pada warga silakan, tapi saya tak bisa membantu."
"Kenapa?" Tanya kami bersamaan.
"Saya juga harus kerja mbak. Lagi pula saya tak bisa membantu apa-apa di sini juga. Bahkan karena saya, mbak semakin terluka."
"Justru saya banyak berterima kasih. Kalau saya tak bertemu dengan kamu, mungkin saya tak tahu bagaimana kabar mengenai Alif dan Hamzah."
Dia menunduk, "tak masalah mbak."
"Lalu sekarang mau bagaimana?" Timpal Ayssa, "kita tak bisa tinggal diam seperti ini."
"Aku juga bingung harus mencarinya ke mana lagi. Hutan ini kecil, dan kita sudah mengelilinginya dari tadi. Tak ada lagi bukti yang bisa kita cari. Hanya ini." Aku menunjukkan kaos Alif pada mereka.
Bisa kulihat raut Amzar yang sama-sama nampak sedih. Dia pria yang baik sekali. Meskipun baru pertama kali bertemu, tapi dia sudah banyak membantu kami.
Kami hanya duduk terdiam di bawah pohon. Sebenarnya niatku bukan itu saja. Aku ingin melihat dan menghadapi para penjahat itu yang mungkin saja mereka akan kemari. Tapi niatku ini tak sama sekali aku utarakan pada Ayssa dan Amzar. Aku yakin respon mereka pasti akan berbeda. Aku juga tak mau mengambil resiko lebih pada Amzar. Karena sejatinya dia orang lain yang rela masuk untuk membantu mencampuri permasalahan kami.
"Mbak, coba ke sini." Amzar melambaikan tangannya pada kami berdua. Aku dan Ayssa segera menghampiri nya.
"Ada apa?" Tanya Ayssa.
"Lihat ini," dia menunjuk sebuah palu kecil yang tergeletak tak jauh dari tempat kami duduk tadi.
Aku mengambilnya, "ini palu siapa? Kenapa aku baru melihatnya?"
"Sama mbak. Rasanya kemarin saya juga tak melihat ada palu di sini."
"Ini pasti ulah mereka," aku mengepalkan tangan, kesal sekaligus marah melihat tingkah mereka yang seperti mempermainkan kami, "kalau sampai benda ini yang telah membuat Alif dan Hamzah terluka, aku tak akan pernah mengampuni mereka!!!"
Aku bergegas keluar dari hutan dengan emosi yang terus berkecamuk di dalam dada, disusul Ayssa dan Amzar dari belakang. Untungnya taksi tadi masih setia menunggu kami sampai kembali.
Aku segera meminta pak supir untuk ke kepolisian dahulu dan menyerahkan barang bukti berupa palu ini. Aku yakin mereka dengan sengaja menyimpan hal-hal seperti ini untuk membuat kita semua khawatir.
Mereka sungguh manusia biadab yang sama sekali tak punya adab.