Malam ini, aku dan Ayssa kembali ke hutan tanpa bersama Amzar. Aku masih penasaran ingin mencari tahu lebih dalam karena aku yakin kalau malam para penjahat itu pasti ada di sana.
Kepergian kami ke sini, tak diketahui oleh paman ataupun bibi. Kami hanya meminta izin dengan alasan untuk tidur di rumah Ayssa. Karena kalau jujur, mereka pasti tak mengizinkan.
Diam-diam, aku juga membawa tongkat kayu dan pisau lipat untuk penjagaan kami nanti. Aku dan Ayssa pergi menggunakan mobilnya dan dikendarai juga olehnya.
Tak berselang lama, kami sampai di tempat tujuan dan segera menemui gubuk itu dengan mengendap. Tak lupa kami juga membawa senter yang cahayanya tak terlalu terang. Karena kalau terang, bisa jadi kami diciduk oleh para penjahat itu nanti.
Aku memasuki rumah kosong itu bersama Ayssa. Kucari dengan jeli dan berhati-hati barang kali mereka ada di sini.
Ruangan ini cukup luas, jadi kami mencarinya butuh waktu yang lumayan lama.
Barang-barang yang tadi aku obrak-abrik, ternyata sudah tersusun dengan rapi lagi. Aku semakin yakin mereka tadi kemari dan membereskan semua benda yang sudah aku hambur acak.
Tak ada hal yang aku temukan lagi. Ketika Ayssa menemuiku pun, dia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Aku berdecak kesal mengapa pencarian ini begitu sulit. Mereka terlalu cerdas hingga aku tak menemukan seberkas bukti untuk mengetahui keberadaan mereka.
Tak berselang lama, samar-samar aku mendengar adanya suara keributan. Aku dan Ayssa segera mencari tempat persembunyian. Rasa takut dan gemetar seketika menjalar ke seluruh tubuh tatkala suara itu semakin mendekat ke rumah kosong ini.
Aku dan Ayssa berusaha diam dan merekam pembicaraan itu. Terkadang kami saling memandang sesaat menandakan apa saja yang telah mereka bicarakan.
Keringat mulai membanjiri pelipis. Hawa panas juga menjalar dari punggung hingga tengkuk. Aku memejam mata tatkala suara itu tertawa dengan keras dan menakutkan. Aku bisa mengira ada tiga pria di sini.
"Sangat menyenangkan. Melihat mereka tersiksa membuatku semakin senang. Hahaha." Tawanya begitu menggelegar.
"Benar," sahut salah satunya lagi, "Saya juga tak menyangka mereka bisa seambruk itu."
Aku dan Ayssa seketika saling bertatapan.
"Hamzah dan Alif sudah berusaha kita lenyapkan padahal. Tapi mengapa nyawa mereka begitu kuat hingga siksaan apa pun tak membuat mereka mati."
Dadaku semakin bergejolak mendengar semua itu. Tanganku mengepal dan satunya lagi membawa pisau lipat. Seperti sudah siap untuk membunuh ketiga orang itu.
Aku akan berdiri tapi Ayssa menarik tanganku, "kamu jangan bertindak gegabah seperti ini, Rein. Kita di sini hanya berdua dan tak ada lelaki. Sementara mereka ada tiga orang pria yang mungkin juga di luar sana ada teman-temannya yang lain." ujarnya berbisik.
"Tapi aku tak bisa mendengar semua ini, Ayssa."
"Sabarlah, kita dengar lagi apa yang akan mereka bicarakan."
"Benar, bos. Saya yakin keluarga mereka sudah pasti sangat khawatir. Saya juga takak sabar nunggu lima hari ke depan dan melihat mereka mati di tangan kita."
"Hahaha." Tawanya kembali mengisi ruangan itu yang memecah keheningan malam, "ayolah. Saya jadi ingin ketemu mereka."
Tak berselang lama, suara itu kembali menghilang dan akhirnya tak terdengar lagi.
Setelah memastikan mereka sudah tak ada di ruangan ini, aku dan Ayssa keluar dari persembunyian dan segera memperhatikan kemana mereka akan pergi.
Ternyata, mereka menuju gubuk tua itu. Aku dan Ayssa lekas keluar lalu mengendap di belakang mereka.
Bugg!! Buggg!!!
Suara pukulan keras terdengar sampai sini. Aku dan Ayssa bersembunyi dibalik pohon besar yang letaknya kurang lebih dua meter dari gubuk itu. Suara tawa yang menggelegar ditambah rintihan seseorang setelah pukulan itu membuat hatiku teriris.
Aku dan Ayssa memutuskan mendekati gubuk itu yang pintunya tertutup. Aku juga sudah bersiap siaga dengan menenteng pisau lipat sementara Ayssa memegangi tongkat kayu.
Suara rintihan dan teriakan kecil dari seseorang di dalam sana begitu keras ketika aku sudah ada dibalik pintu dan bersiap mendobraknya.
Tak luput dari itu juga, semakin seseorang itu merintih, para penjahat itu rasanya semakin senang dan memukulinya tanpa ampun. Mereka terus tertawa seperti apa yang sedang mereka lakukan saat ini adalah hal yang baik dan patut dibanggakan.
Aku dan Ayssa saling memberi isyarat untuk mendobrak pintu itu bersama-sama. Kami bahkan tak pernah berpikir sebelumnya, bagaimana jadinya kondisi kami nanti setelah mereka tahu ada dua wanita di sini.
Aku sudah berserah diri pada Allah dan selalu meminta perlindungan dari-Nya. Semua yang terjadi nanti, mungkin memang sudah jalannya seperti itu.
Brakk!!!
Kubuka pintu dengan keras hingga membuat seseorang yang di dalam itu terkejut bukan kepalang.
Mata ku langsung tertuju pada dua pria yang kedua tangan dan kakinya diikat lalu pelipisnya penuh darah. Tak hanya itu, kaos dalam berwarna putih yang keduanya kenakan penuh sekali dengan darah. Mereka menatap aku dan Ayssa penuh harap. Matanya menyiratkan penuh penderitaan.
"Alif," aku melihat dia begitu terluka. Hidungnya mengeluarkan darah dan ujung bibirnya juga sedikit pecah. Pipinya lebam dan dahinya banyak sekali luka lecet.
Aku tak bisa melihat dia seperti itu. Hatiku menangis, merintih kesakitan melihat tubuhnya yang nampak tak berdaya.
Tak hanya itu, aku juga melihat Hamzah yang keadaannya tak jauh beda dari Alif. Hanya saja, aku melihat kebrutalan mereka terhadap Hamzah lebih kejam dari pada Alif. Kakinya lebam seperti habis kena pukulan benda keras. Belum kedua pelipis yang mengeluarkan darah segar. Kedua pipi dan dagunya lebam, ujung bibir pecah dan di kedua pundaknya berdarah. Aku tak tahu, luka seperti apa yang bisa membuat pundaknya itu berdarah.
Ternyata benar, darah pada jas hitam di bagian pundaknya itu benar-benar darah milik Hamzah.
Kedua tatapan mereka menyiratkan harapan besar pada aku dan Ayssa. Mereka tak mengucapkan apa pun, tapi aku mengerti mereka berdua ini benar-benar membutuhkan pertolongan.
Ketiga pria yang sedang berdiri itu menatap kami tajam seperti akan menerkam mangsanya dengan habis. Salah satunya menyeringai seram dan tertawa terbahak-bahak.
Dia, yang aku rasa adalah bosnya, pelan-pelan menghampiri ku dan Ayssa. Tangannya begitu kekar, otot-ototnya sangat besar. Aku yakin, sekali pukul dari pria ini pasti membuat korbannya seketika jatuh tersungkur.
"Hahaha," tawanya sangat menyeramkan, "siapa kalian?"
Seakan tak ada lagi rasa takut, aku balik tatap pria itu dengan tatapan yang tajam juga. Tanganku gemetar sambil mengepal dan segera ingin menghujani wajahnya dengan ribuan pukulan yang aku miliki.
Emosiku juga bergejolak apalagi ketika melihat kondisi Alif dan Hamzah tak berdaya seperti itu karena mereka.
"Hei, jawab!!!" Matanya merah melotot kepada kami berdua, "siapa kalian yang berani-beraninya masuk ke sini?" Dia terus menghampiri kami dengan pelan. Sementara aku dan Ayssa berjalan mundur untuk menjaga jarak dengannya.
"Lepaskan mereka," ucapku santai tak ingin tersulut emosinya.
Mendengar ucapanku, ketiga pria itu seketika tertawa dan bertepuk tangan ria.
"Apa? Lepaskan? Semudah itu kamu berkata, wahai gadis manis." Aku bisa mendeteksi suaranya kali ini datar dan mulai menggoda. Hatiku semakin panas tatkala pria di hadapanku itu akan mencoba memegang pundak Ayssa.
"Hei!!!" Aku membentaknya keras hingga membuat dia menutup kedua telinganya.
"Saya ke sini dengan baik-baik. Jangan pancing emosi saya. Segera lepaskan mereka atau kalian akan aku lenyapkan sekarang."
Mereka semakin tertawa mendengar ucapanku. "Melenyapkan kami? Bagaimana kamu bisa melakukan itu. Bukankah kamu wanita?"
"Lalu apa masalahnya kalau kami wanita?" Timpal Ayssa.
"Lemah. Wanita itu lemah dan bodoh. Mereka tak mampu melakukan it-"
"Cukup!!!" Aku tak bisa menahannya lagi. Dia telah menghina derajat wanita yang sebenarnya. Segera kurebut tongkat kayu itu dari Ayssa dan memukulnya dengan keras, pas di area kepala.
Badan kekarnya seketika jatuh tersungkur. Tak hanya itu, aku juga memberondonginya dengan banyak pukulan hingga membuat hidungnya berdarah dan pingsan tak sadarkan diri.
Sementara itu, kedua pria yang sedari tadi tak mengucapkan apa pun begitu murka lalu akan memukul kami. Ketika aku telah menumbangkan bos dari ketiga pria itu, ternyata Ayssa sudah terduduk karena tengkuknya kena pukul.
Melihat Ayssa mengerang kesakitan, aku berteriak dengan keras dan akan memukul pria yang telah memukul Ayssa tanpa ampun. Ketika tongkat yang aku pegang sudah melayang di udara dan akan mendarat tepat di kepala penjahat itu, terdengar sebuah teriakan keras yang membuatku seketika menoleh ke sumber suara.
Aku tersentak kaget ketika penjahat yang satunya telah menodongkan pistol tepat di kepala Alif sambil menyeringai seram.
"Pukul lah dia. Pukul hingga mati!" Bentaknya, "kehadiran kamu semua di sini telah membuat ajal kedua lelaki ini semakin mendekat."
Aku segera berlari dan menghampiri Alif.
"Berhenti!" Tepat dua meter jarak aku dan Alif, preman itu menghentikanku, "kalau kamu melangkah satu langkah saja. Terimalah kenyataannya." Pria itu menatap Alif dengan tajam.
Mataku memanas seketika tatkala Alif menatapku sambil menangis.
"Pergi, Reine. Kamu jangan hiraukan kami. Hidupmu sedang dalam bahaya. Segeralah pergi sebelum kedua pria itu sadar." ujarnya lirih.
Aku tak kuasa menahan tangis lagi. Alif dan Hamzah bersikukuh memintaku pergi. Tapi aku enggan, aku tak mau melihat mereka menderita seperti ini.
"Lepaskan mereka. Aku mohon." Pintaku pada pria itu.
"Setelah menghabisi bos, kamu meminta melepaskan mereka? Hahaha," matanya melotot merah, "tak akan aku lepaskan."
Dorrr!!!
"Alifff!!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya hingga aku sadar ada seseorang yang menepuk-nepuk pipiku pelan.
Jantungku berdegup kencang tak karuan. Keringat membanjiri pelipis dan tangan gemetar hebat. Aku melihat persis bagaimana Alif jatuh tersungkur tak sadarkan diri ketika pria itu melepas tembakan persis di kepala Alif.
"Sadar Reine, sadar!" Seseorang masih menepuk pipiku lalu mencipratkan sedikit air di wajahku, "sadarlah. Ini aku Ayssa."
Aku menatap wajahnya yang nampak khawatir. Aku mengamati keadaan sekitar, ternyata posisiku bukan di gubuk tua itu. Aku berada di kamar, berdua dengan Ayssa.
"Apa yang terjadi Reine?" Ayssa berusaha menenangkanku.
Sementara itu, aku baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah mimpi. Seketika aku memeluk Ayssa begitu erat dan menangis histeris. Aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini aku selalu mengalami mimpi buruk.
"Sadar Rein. Aku di sini, kamu jangan takut." Dia mengusap punggung ku dengan pelan.
Dia memegang kedua pipiku dengan lembut, "kamu harus sabar dan tetap istighfar. Mimpi burukmu itu hanyalah mimpi. Kamu harus yakin bahwa kakak dan Alif pasti baik-baik saja."
Aku mengangguk pelan, tersinggung segaris senyuman di bibir Ayssa. Dia kembali memelukku, menenangkan hingga aku kembali tak mengingat apa pun.
...