"Bagaimana, apa ada kabar lebih lanjut mengenai Hamzah?" Tanya Alif.
"Belum ada. Aku sudah menghubungi Ayssa tadi. Katanya masih dalam proses pencarian."
"Oh ya Allah. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja."
"Aamiin," runutku, "kasus ini begitu rumit ya. Belum juga tahu siapa dibalik pencurian itu, Hamzah dinyatakan hilang. Padahal kalau saja kita tahu saat itu bahwa ketiga orang itu bukanlah polisi, semuanya mungkin sudah terselesaikan."
"Benar, Rein. Tapi kita serahkan saja semuanya pada yang Kuasa. Semoga kita segera menemukan pelakunya."
Aku turut mengaminkannya lagi.
"Apa kamu sudah sarapan?" Tanyaku kemudian.
"Belum. Rasanya aku tak berselera untuk melakukan apa pun."
"Lho, kenapa?"
"Aku tak tenang kalau Hamzah belum ditemukan. Rasanya ada saja sesuatu yang mengganjal dalam hati."
Aku terdiam sejenak. "Bukankah kamu belum pernah mengobrol dengannya?"
"Memangnya kenapa?"
"Ya aneh saja. Biasanya orang yang tak pernah kenal dengan seseorang, tak akan sepeduli itu. Sama seperti kamu yang terlihat begitu peduli pada Hamzah. Padahal kamu tidak mengenalnya."
"Apa masalahnya Reine? Kan kita masih saudara seiman. Sudah sepatutnya saling peduli dan menjaga satu sama lain."
Seperti ada tamparan keras ketika Alif mengatakan itu. Benar sekali katanya. Peduli kepada seseorang itu tak hanya melingkup saudara, kerabat, keluarga atau teman saja. Karena kita semua itu adalah saudara. Jadi, tak usah memilih kepada siapa saja kita harus peduli.
"Benar juga." Jawabku.
"Kamu masih kesal ya sama Hamzah?" Celetuknya.
Suaraku rasanya tercekat. Bingung harus menjawab apa.
"Tak tahu." Jawabku sekenanya, "kan beberapa hari yang lalu aku pernah menjelaskannya."
"Tapi aku masih melihat seakan ada kekesalan ketika kamu melihat atau mendengar nama Hamzah Rein."
"Tapi aku tak merasa."
"Terlihat sekali. Coba tanyakan hal ini pula ke Ayssa. Jawabannya pasti sama sepertiku."
"Nanti saja. Kalau semuanya sudah kembali normal." Ucapku sembari memainkan bolpoin yang kutemukan di atas meja.
"Apa kamu tahu?" Katanya lagi.
"Tidak. Memang apa?"
"Sikap seseorang itu tak selamanya menentukan sikap dirinya yang sebenarnya. Kadang ada beberapa alasan mengapa orang itu melakukan sebuah perubahan pada sikapnya sendiri. Tapi yang perlu kamu tahu, semua perubahan itu tak akan mereka lakukan kalau bukan karena dorongan dari dirinya sendiri atau keterpaksaan karena pengaruh lingkungan sekitar."
Aku menolehya sekilas.
"Kita bahkan tak bisa menebak kapan seseorang itu akan berubah, kemudian menjelma menjadi diri sendirinya lagi. Mereka terlalu sibuk ingin menjadi orang lain sehingga lupa bahwa menjadi diri sendiri itu lebih baik. Terkadang, salah satu faktor mengapa dia melakukan semua itu adalah karena dorongan dari orang sekitar yang memaksanya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Sehingga rasa tertekan itulah yang membuat mereka tak percaya kembali menjadi dirinya sendiri. Dalihnya terlalu takut, atau berpikir tak bisa diterima lagi kehadirannya oleh orang lain."
"Itu yang sedang aku pikirkan saat ini, Alif. Aku merasa Hamzah itu pria yang aneh. Ketika di depan Ayssa dia peduli, di depan bibi dia baik, tapi ketika bersamaku dia pria yang menyebalkan."
"Dia bukan menyebalkan, Reine. Justru kamu sendiri yang menilai orang terlalu lebih sehingga sekecil apa pun kekurangan dia, kamu dapat mengetahuinya. Sedangkan kebaikan yang selama ini telah dia berikan kepadamu, tak pernah kamu anggap sama sekali. Karena kamu berpikir dia pria yang menyebalkan, menyebalkan dan menyebalkan, titik."
"Jadi, selama ini aku telah membuat kesalahan dengan mencapnya sebagai pria yang tak baik?"
"Bukan seperti itu. Kamu hanya perlu belajar lebih jauh lagi tentang menilai seseorang. Ketika kamu rasa Hamzah itu bersikap baik pada bibi, paman dan Ayssa sementara kepada kamu tidak. Kamu jangan langsung menilainya sebagai pria yang aneh. Justru di situlah kamu harus menilai diri. Apakah selama ini perlakuanmu itu memang sudah baik kepadanya, sama seperti perlakuan bibi, paman dan Ayssa kepada Hamzah?"
Aku menggeleng pelan. Rasanya aku wanita paling bodoh yang baru mengakui kesalahan sendiri karena nasihat dari orang lain, bukan dari kesadaran hati nurani.
"Aku bukan maksud memarahi atau menganggap diri paling suci. Aku hanya ingin meluruskan. Maaf kalau ada kata yang membuatmu tersinggung."
"Tidak, Alif. Aku tak merasa bahwa kamu sedang memarahiku. Justru dengan ucapanmu tadi, aku banyak berterima kasih padamu. Setidaknya aku sadar dengan kesalahan ku sendiri."
"Baiklah kalau begitu," dia merubah tempat duduknya,"dan satu. Menurutku, hamzah itu sebenarnya pria yang baik. Ketika aku pertama kali melihatnya saat itu, entah kenapa hatiku langsung terketuk. Dia pria yang bertanggung jawab. Hanya saja mungkin kamu belum merasakannya, Rein."
"Aku pernah berpikir seperti itu, Alif. Bahkan dulu dia suka menolongku ketika aku sedang kesusahan. Dia juga suka menghiburku. Tapi entah kenapa, hatiku merasa tak nyaman kalau bersamanya. Apalagi ketika Ayssa berusaha mencomblangkan aku dengannya, aku sangat muak sekali."
"Hatimu merasa tak nyaman karena kamu tak pernah membuka pintu hatimu sendiri untuk orang lain," kali ini dia berbicara sambil memandangku. Sementara aku hanya menunduk sambil terus memainkan bolpoin, "kamu jangan pernah berpikir ketika kamu sudah menemukan seorang pria, maka kamu akan menutup pintu hatimu dengan pria lain. Maksudmu melakukan itu aku paham, tapi cara kamu mengaplikasikannya itu yang salah. Sebenarnya kamu masih tetap boleh membuka hati pria lain untuk merasakan kebaikkannya, ketulusannya, bukan malah langsung menutup hati dan menganggap semua kebaikan pria itu tak ada gunanya bagi hidupmu. Itu yang perlu kamu perbaiki."
"Alif..., jadi aku perlu bagaimana untuk menebus semua kesalahanku?" Baru kali ini aku menyadari bahwa semua yang aku lakukan kepadanya itu salah.
"Kamu hanya perlu merubah sikap dan minta maaflah padanya nanti."
"Sungguh Alif. Aku merasa tertampar dengan semua ucapanmu. Terima kasih karena kamu sudah menyadarkanku akan hal ini. Kalau kamu tak mengatakan itu, mungkin aku akan terus melakukan kesalahan yang sama kepadanya."
"Tak apa Rein. Kita menjalin hubungan bukan hanya sekedar saling mencintai dan menjaga kelanggengan cinta itu. Karena bagiku, hubungan itu tentang bagaimana cara melengkapi, meluruskan apa yang salah dan saling menerima apa yang dimiliki masing-masing. Meluruskan apa yang salah di sini bukan maksud merubah sikap. Karena dalam hubungan tak ada tujuan atau ajang untuk saling mengubah perilaku yang sudah tertanam dalam diri agar terlihat sempurna di mata dunia. Tapi..., meluruskan di sini ialah saling mengingatkan bahwa perilaku itu harus diperbaiki. Urusan mau merubahnya atau tidak, itu hanya kesadaran hatimu yang menentukan."
"Benar, Alif. Setiap hari aku selalu bersyukur pada Allah karena telah dipertemukan dengan orang sepertimu. Kamu telah memberiku banyak pelajaran tentang kehidupan. Kamu yang selalu meyakinkanku tentang semua itu. Kamu juga selalu ada di setiap kondisi. Kamu bukanlah suatu kebutuhan bagiku yang nanti kalau sudah tak dibutuhkan lalu dibuang. Tapi kamu adalah salah satu kewajibanku dalam segala hal. Khususnya, kewajiban untuk terus mencari pembelajaran baru dalam hidupmu."
Alif menyunggingkan senyum. "Kamu juga sudah banyak memberiku pelajaran Reine. Salah satunya, kamu telah mengajarkanku arti cinta yang sebenarnya," lalu dia menunduk, "termasuk cinta pada keluarga, cinta pada diri sendiri, cinta pada lingkungan, cinta pada teman dan tentunya..., cinta padamu."
Seketika aku tertawa. "Baru kali ini aku mendengar mu mengatakan itu."
Dia juga ikut tertawa. "Reine, aku itu bukan pria kaku yang tak pernah mengungkapkan perasaannya. Aku masih sama seperti pria di luaran sana."
"Tapi kamu berbeda dari segala hal." Tukasku.
...
Aku dan Alif pergi menemui Ayssa di rumahnya. Saat itu, hanya ada Ayssa dan para pembantunya saja. Ayahnya sedang sibuk mencari tahu keberadaan Hamzah bersama polisi.
Di sana, kami banyak sekali disuguhi makanan oleh Ayssa. Dia sangat royal dan tak pernah hitungan dalam urusan apa pun. Ya mungkin semua itu ajaran dan didikan dari orang tuanya juga.
"Bagaimana? Apa ada kabar?" Kataku.
"Belum ada tapi benar, Rein. Tiga orang yang menyamar menjadi polisi itu adalah buronan para polisi." Aku melihat kedua mata Ayssa yang begitu sembab, sepertinya semalaman ia terus menangisi kakak satu-satunya itu, "dan apa kamu tahu?"
Aku menggeleng.
"Tiga orang itu juga yang ternyata telah mencuri uang di perusahaan papa."
Seketika aku dan Alif saling memandang sebentar, "apa?" Tanya kami bersamaan.
"Iya." Aku mendengar suara Ayssa yang gemetar. Matanya tak mau menatapku atau Alif. Kalau tak menunduk, ia palingkan wajahnya ke setiap penjuru ruangan.
"Lalu kenapa Hamzah yang mengakui itu?"
"Aku tak tahu, Rein." Dia mengusap air matanya, "polisi masih menyelidiki kasus ini. Aku tak tahu kenapa kak Hamzah harus berbohong seperti itu. Aku yakin dia pasti memiliki masalah yang tak mau aku tahu."
"Aku juga berpikir seperti itu."
"Ayolah bantu aku mencari kakakku." Dia memohon kepada kami berdua, "aku tak bisa tenang sebelum dia kembali. Aku begitu takut. Aku takut kalau-"
"Suttt." Aku menutup bibirnya menggunakan telunjukku, "aku yakin Hamzah baik-baik saja. Kita berdoa saja, semoga keselamatan selalu menyertainya."
"Aamiin." Sahut Alif, "lebih baik kita tanyakan lagi saja pada orang-orang. Barang kali ada yang tahu."
"Iya, Alif benar." Timpal Ayssa lalu kami segera bersiap dan mengitari jalanan untuk mencari tahu.
Jujur, aku begitu malu pada mereka berdua dan Hamzah. Aku selalu memperlakukannya tak baik. Apalagi setelah aku mendengar kabar bahwa bukan Hamzahlah yang telah mencuri uang itu, rasanya hatiku begitu malu, sangat malu.
Dan bodohnya, kenapa aku tak berpikir sama seperti ayssa, bibi dan Alif kalau dia sama sekali tak mungkin melakukannya?
Aku terlalu ditutupi penyakit hati hingga tak bisa menentukan siapa yang baik dan siapa yang salah.
Aku juga terlalu egois karena tak mau mengakui setiap kesalahanku padanya.
Kali ini aku sadar, dia pria tanpa pamrih yang selalu rela berkorban untuk siapa pun.
Bahkan kalau aku sampai tak mengenal Ayssa dan Alif, aku akan terus mencapnya sebagai lelaki tak tahu diri.
Sungguh! Kalau suatu saat nanti Hamzah telah ditemukan, ingin aku taruh di mana wajahku ketika melihatnya? Dia yang selalu berucap dengan lembut, tapi aku membalasnya dengan suara tinggi. Dia yang selalu menolongku, tapi aku tak pernah menganggapnya.
Ah, Reine. Kenapa kamu bisa melakukan kesalahan sebesar ini?
"Kak Hamzah, kamu di mana?" Rintih Ayssa, "aku merindukanmu kakak. Cepatlah kembali. Aku sangat ingin melihatmu tersenyum lagi, aku ingin merawat luka-luka mu itu." Suaranya begitu menyayat hati.
Tak sadar air mataku mulai menetes. Kulihat Alif pun menunduk. Rasanya seperti percuma kami mencari Hamzah ke segala penjuru tempat. Para penjahat itu begitu cerdas hingga tak meninggalkan jejak apa pun pada kami atau polisi.
"Kita harus kuat. Kita harus bisa menemukan Hamzah dalam kondisi apa pun." Aku berusaha menguatkan diri. Tapi sebenarnya, hatiku terasa begitu sesak.
"Benar, Rein." Dia kembali mengusap air matanya, "tapi semenjak penculikan kak Hamzah malam itu, aku tak bisa berpikir jernih lagi. Kamu masih ingat kan? Bagaimana perlakuan para penjahat itu pada kakak meskipun ada kita? Dan...." suaranya tercekat, "aku tak tahu bagaimana perlakuan mereka kepada Kak Hamzah selanjutnya. Aku tak bisa membayangkan itu Rein. Aku belum siap kehilangannya."
Alif terisak. "Benar, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa."
"Itu selalu aku lakukan di setiap waktu. Bahkan aku heran pada diriku sendiri. Kenapa kak Hamzah yang sikapnya bagiku terasa sempurna itu, takdirnya selalu tak berpihak manis padanya. Mulai dari masa lalunya, hingga perlakuan orang-orang yang tak baik padanya."
Seperti ada petir yang seketika menyambar telingaku. Ucapan Ayssa begitu menusuk hati tapi kenyataannya memang benar. Akulah salah satu orang yang tak pernah memperlakukannya dengan baik.
"Ayssa, maafkan aku," aku memegang tangannya, "aku selalu membuat Hamzah terluka." Aku menangis tanpa mau melihat wajahnya.
Dia kebingungan lalu seperti mengingat apa yang dia ucapkan. "Oh Reine. Maafkan aku, ucapan tadi aku tak berniat menyinggungmu. Aku hanya terlalu larut dalam emosi. Kamu jangan seperti itu." Ayssa memelukku erat, "meskipun kamu pernah menyakiti kakak, tapi dia tak pernah menganggap semua itu serius. Dia tahu sifatmu. Maka dari itu dia hanya diam."
Aku terus menggerutu dalam hati, mengutuki sifatku yang sangat buruk ini. Andai saja aku bisa menemuinya saat ini, aku akan meminta maaf dan melakukan apa pun agar dia bisa memaafkanku.
"Yang lalu biarlah berlalu," ujar Alif menenangkan. "Yang perlu kita hadapi saat ini, adalah bagaimana caranya membawa Hamzah kemari."
"Benar," Ayssa melepas pelukannya, "jadi kamu jangan menganggap dirimu bersalah lagi, ya." Katanya sambil mengusap air mataku.
Dari sini aku mulai bersyukur, bahwa aku telah hidup dengan dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mengerti dan menyayangiku tanpa batas.
...