Banyak pilihan yang harus kita tentukan untuk melanjutkan hidup. Ada juga sebuah keterpaksaan yang membuat kita lupa bagaimana cara menjalani hidup yang sebenarnya.
Biasanya, mereka terlalu mengekang diri sendiri, atau keadaannya sudah terlanjur dikekang oleh orang lain.
Kehidupan itu tidak dapat diputarbalikkan. Ketika sudah terjadi, biarkan semuanya terjadi. Karena kita tak mampu menghentikannya dengan dalih tak nyaman dengan apa yang dihadapi saat ini.
Terlalu sulit memang menerima keadaan yang bukan menjadi harapan kita sebelumnya. Tapi setidaknya, kita telah belajar untuk menjadi sosok yang kuat dalam menghadapi situasi genting seperti ini.
Karena tak ayal juga dari mereka yang putus asa lalu memutuskan kehidupannya dengan cara yang salah dan menyalahi takdir.
Menganggap jika mati adalah salah satu pilihan yang membuat kita bebas terhadap suatu masalah. Padahal, puncak permasalahannya itu baru saja ia mulai karena kesalahannya sendiri yang tak bisa lagi diubah oleh apa pun dan siapa pun.
Entahlah. Pikiranku terus saja menceracau memikirkan hal-hal seperti itu. Aku juga tahu bagaimana cara menghentikan perdebatan batin yang selalu bergejolak dengan diri sendiri.
Karena ketika mereka berpikir aku hanyalah melamun saja ketika diam, itu tak sepenuhnya salah. Ada kalanya aku bertengkar dengan diri sendiri, saling menguatkan argumen yang bertolak belakang, hingga terlalu sulit untuk mengungkapkannya pada orang lain.
Karena aku juga berpikir, mungkin diamnya seseorang tak selamanya diam. Bisa saja mereka sedang terluka, namun berusaha menutupi seolah terlihat baik-baik saja.
"Reine?" Aku terperanjat kaget saat ada orang yang memanggilku. Segera kucari sumber suara, dan kudapati ada Alif yang berdiri tepat di belakangku.
"Eh, Alif. Sejak kapan kamu di sini?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Memang apa masalahnya?"
"Bukankah aku selalu ada bersamamu? Lalu kenapa kamu tanyakan itu seolah aku ini suka datang dan pergi dari kehidupanmu."
"Tapi bukankah,-"
"Reine," Alif menghampiriku, "mungkin bagimu ini terasa aneh. Tapi yakinlah. Ketika aku sudah pergi pun, aku akan selalu bersamamu. Aku akan selalu menjagamu dan terus memperhatikan mu."
"Terima kasih Alif. Tapi bagaimana caranya kamu melakukan semua itu sedangkan kamu sedang tak bersamaku?"
"Apa kamu tahu aku akan selalu di mana?"
Aku mengendikkan bahu.
"Di sini," dia menunjuk dadanya, "semua kenangan, cinta, kebersamaan, akan selalu aku simpan dan dekap dalam memori dan hati. Jadi aku berharap kamu tidak mengumbar seluruh kenangan kita nanti. Biarkan hanya kita berdua, dan Allah saja yang tahu."
"Kenapa kamu tak mau memberi tahu kisah kita pada orang lain?"
"Terlalu sulit, Reine. Sampai rambutmu beruban pun kamu tak akan selesai menceritakannya." Dia tertawa geli.
Aku juga tertawa. "Oh jadi kamu menantangku ya?"
"Tidak," dia menghentikan tawanya, "tadi aku hanya bercanda."
"Lalu? Yang seriusnya apa?"
"Seperti ini," dia menatap langit malam, "kamu masih ingat perjalanan kita dari pertama kali bertemu sampai saat ini?"
"Tentu." Jawabku.
"Apa kamu masih ingat juga momen-momen seru yang pernah kita lakukan saat itu?"
"Iya. Aku masih ingat dan akan terus mengingatnya."
"Nah jadi aku mohon. Biarkan saja kisah kita berhenti pada kita berdua. Kita yang mengalami, kita juga yang menutupnya pada orang lain."
"Kenapa?" Tanyaku.
"Agar setelah kamu melupakannya, kamu bisa membuat cerita baru."
Seketika aku terdiam. Mencerna lagi ucapan yang baru saja ia lontarkan.
"Apa? Kamu bisa mengulangnya?" Tanyaku memperjelas.
"Agar setelah kamu melupakannya, kamu bisa membuat cerita bar-"
"Kenapa kamu mengatakan itu?" Tukasku, "apa kamu ingin aku melupakan semua cerita kita lalu aku membuat cerita lagi bersama orang lain. Seperti itu?"
"Iya. Memang salah?"
"Alif!" Suaraku meninggi, "kenapa kamu tak mengerti. Kalau-"
"Reine?"
Aku segera mencari sumber suara.
"Kamu bicara dengan siapa?" Kulihat Ayssa tiba-tiba ada di belakangku.
Aku terkesiap lalu melihat ke segala penjuru. Bukankah tadi Alif sedang bersamaku?
"Kamu lagi mengkhayal, ya." Ayssa menghampiriku, "tak apa. Aku mengerti kok." Dia tersenyum simpul.
Aku harus bisa menahan malu di depannya. Oh ya Allah! Kenapa aku bisa melakukan hal konyol seperti itu tadi?
"Ternyata malam di sini lebih indah, ya." Matanya berbinar menatap langit yang penuh bintang.
"Iya. Maka dari itu hampir setiap malam aku ke sini." Jawabku.
Dia tersenyum sambil terus menengadahkan kepalanya.
"Sejak kapan kamu ke mari?" Tanyaku.
"Baru saja sampai."
"Kenapa kamu tak meneleponku?"
"Sudah, Rein. Aku sudah meneleponmu beberapa kali. Tapi kamu tak menjawabku."
"Benarkah?"
"Lihat saja ponselmu."
Aku langsung memeriksa ponsel. Dan benar, ada tiga panggilan tak terjawab dari Ayssa.
"Ya Allah, Ayssa maafkan aku. Aku tak tahu kalau kamu telah menghubungiku."
"Tak masalah Rein. Aku mengerti kamu saat ini sedang bahagia kan?"
"Kenapa kamu mengatakan itu?"
"Ya aku hanya menebaknya saja. Sepertinya ada kabar yang telah membuatmu bahagia." Kepala Ayssa tiba-tiba menunduk.
"Kata siapa Ayssa? Mana mungkin aku bisa bahagia sementara temanku saat ini sedang terluka. Bagaimana bisa aku melakukannya?"
Aku meraih ke dua pundaknya, "aku tak akan membiarkanmu menanggung semua ini sendirian, Ayssa. Aku dan Alif juga sama-sama berusaha membantu kamu, membawa Hamzah kemari."
Dia terdiam. Aku melihat matanya yang masih sembab seperti tadi pagi.
"Kamu tahu? Meskipun saat ini kita sedang mencari kepastian, tapi kita harus berusaha kuat atau setidaknya berpura-pura kuat."
"Kenapa?" Dia mendongakkan wajahnya.
"Agar setelah Hamzah kembali nanti, dia sangat bangga padamu karena adiknya ini kuat ketika dia pergi."
"Tapi apa kamu yakin kakak baik-baik saja? Sementara para penjahat itu pasti tak memperlakukannya dengan baik."
"Kita berdoa saja, Ayssa. Dan berusaha membuang jauh-jauh pikiran seperti itu yang dapat membuat kita takut dan berprasangka buruk."
Dia mengangguk pelan. "Lalu kenapa kamu di sini?"
Aku melemparkan pandanganku pada titik-titik terang di ujung sana. Sebuah lampu dari banyaknya rumah yang terlihat seperti seberkas cahaya kecil di malam hari.
"Sebenarnya aku sedang dilema."
"Dilema? Karena apa?" Tanyanya penasaran.
"Entahlah, Ayssa. Hatiku begitu ragu dan tak tenang. Aku berusaha mencoba untuk tak memikirkan nya, tapi ternyata semua itu sulit."
"Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan saat ini?"
"Justru itu yang menjadi pertanyaannya. Aku tidak tahu masalahnya apa tetapi jantungku tiba-tiba berdegup tak karuan, hati tiba-tiba resah dan aku tak tahu harus melakukan apa."
Tiba-tiba gelas yang tersimpan di atas meja, jatuh dan serpihannya berantakan.
Aku dan Ayssa tersentak kaget lalu menghampirinya.
"Perasaan tak ada angin kencang, tapi kenapa bisa jatuh?" Tanyanya.
"Aku juga tak tahu. Biar sini aku bersihkan."
"Aku bantu. Hati-hati Rein."
Belum lima detik Ayssa mengatakan itu, jariku tersayat serpihan gelas yang aku pegang.
"Ya Allah, tanganmu berdarah Rein." Dia segera meraih tanganku dan mengobatinya.
"Ayssa? Tumben sekali kamu bawa obat-obatan seperti ini?" Kataku melihatnya yang sedang memberi alkohol pada jariku.
"Entahlah. Benar katamu. Dari rumah tadi, hatiku juga merasa resah dan ketika akan ke mari, entah kenapa aku ingin membawa peralatan ini."
"Aw!" Aku sedikit merintih ketika alkoholnya mulai meresap ke dalam luka.
"Maafkan aku," dia lalu memasangkan perban kecil di jariku, "apa masih perih?"
"Sedikit. Terima kasih ya." Sahutku, "kamu ini sangat baik, sama seperti kakakmu."
"Karena aku juga belajar darinya." Dia tersenyum lalu tatapan matanya kosong.
"Ada apa Ayssa?" Aku berusaha mencari tahu.
"Apa..., hal seperti ini termasuk tanda-tanda tentang kondisi kak Hamzah Rein?" Tiba-tiba dia berkata seperti itu.
"Maksudmu?" Tanyaku memperjelas.
"Aku tak tahu. Ketika siang tadi, foto kak Hamzah yang di pasang di dinding ruang tamu tiba-tiba jatuh dan kacanya hancur berserakan. Lalu sekarang, gelas ini juga tiba-tiba jatuh dan melukaimu," dia menghela napas, "mengapa semua cobaan ini harus terjadi padamu dan kak Hamzah?"
"Mungkin itu semua hanya kebetulan Ayssa. Paku yang dipasang untuk foto kakakmu mungkin sudah longgar, jadi jatuh. Dan untuk ini," aku menunjukkan lukaku, "ini juga kebetulan. Mungkin saja tiba-tiba ada angin lalu menjatuhkannya. Kamu jangan terlalu memikirkan itu, ya." Kataku sambil mengusap-usap pundaknya.
"Iya, Rein. Aku terlalu berpikir macam-macam. Seharusnya aku tak memikirkan hal yang bisa menakut-nakuti diriku sendiri."
"Nah itu," aku berdiri, "lebih baik kita turun dan istirahat. Sepertinya kamu sudah lelah."
Ayssa menahan tanganku, "tidak, Rein. Temani aku di sini sebentar lagi saja. Aku ingin menghirup udara malam dan menikmatinya."
Aku tersenyum. "Silakan saja, Ayssa. Udara seperti ini memang cocok dinikmati untung orang-orang yang sedang resah hatinya. Semoga, ini semua bisa membuatmu merasa lebih tenang."
"Apa, kamu juga selalu melakukan hal yang sama ketika hatimu sedang cemas?"
Aku mengangguk. "Sembari mentadabburi alam. Kadang manusia terlalu lupa mengejar duniawi, hingga lupa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan padanya."
"Benar Rein. Bahkan aku juga pernah seperti itu. Aku terlalu sibuk mencari ketenangan, kebahagiaan, padahal tanpa kita sadari semuanya sudah ada di depan mata. Lihat," dia menunjuk sekian banyak bintang, "semua itu salah satu penyebab ketenangan yang aku dapatkan malam ini."
"Kamu benar sekali."
"Dari mana kamu belajar semua itu?" Katanya lagi.
Seketika wajah Alif berseliweran di dalam pikiran. "Tak perlu menjawab pun, kamu sudah pasti tahu jawabannya." Jawabku.
"Oh aku mengerti," dia terkekeh, "melihat Alif ini, aku merasa kak Hamzah sudah kembali."
"Iya, aku juga pernah berpikir seperti itu," aku menatap langit, "mereka itu dua pria yang berbeda, tapi terkadang perilakunya sama."
"Mungkin saja kebetulan, Rein. Karena kita telah menemukan pria tepat yang nyaris sempurna, hingga kita menganggap bahwa Kak Hamzah dan Alif itu sama."
Kami seketika tertawa.
"Baru kali ini aku melihatmu tertawa lagi, Ayssa. Rasanya aku begitu bahagia sekali melihat temanku yang satu ini kembali tertawa." Aku memandang wajahnya yang berseri-seri.
"Semua ini karena mu, Rein. Kamu yang telah menguatkanku. Kamu juga yang telah menghiburku. Betapa beruntungnya aku bisa menemukan teman yang baik seperti mu."
"Walau hati kita memang sama-sama sedang terluka. Tapi," aku memegang tangannya, "kita harus bisa saling menguatkan satu sama lain."
Ayssa mengangguk cepat. "Terima kasih atas semua yang telah kamu usahakan untuk membuatku menjadi seperti ini lagi."
Aku tersenyum.
Malam masih memberikan kehangatan pada kami. Jiwa-jiwa seakan tak ingin merubah diri pada posisinya. Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku miliki saat ini. Karena semua itu tak akan terjadi kalau bukan karena kehendak-Nya.
Aku harus bisa berpura-pura kuat di depan Ayssa. Walau aku tahu, hati kami memang sama-sama sedang rapuh. Apalagi Ayssa yang sangat menyayangi mu.
Hamzah... kamu di mana? Segeralah kembali. Kami semua sangat merindukanmu...
...