"Ayssa?" Aku menghampirinya yang sudah menungguku lebih dulu, "aduh maaf. Apa kamu menunggu kita lama?"
"Tidak kok." Dia tersenyum, "sedari tadi aku begitu penasaran dengan ucapanmu. Maka dari itu aku ingin segera kemari."
"Ohh begitu. Sekarang sudah jam delapan malam kan?"
Ayssa dan Alif mengiyakan.
"Ya sudah. Ayo, kita ke belakang gedung. Kita tak punya waktu yang lama."
Kami bertiga menelusuri tempat yang sepertinya jarang terjamah oleh manusia. Bisa dibilang belakang gedung ini adalah sebuah lahan kosong yang dipenuhi pohon rindang. Aku segera mencari tempat persembunyian bersama Ayssa dan Alif.
Tapi sepertinya cuaca malam ini tak berpihak kepada kami. Hujan tiba-tiba mengguyur kota Bogor. Aku kelimpungan mencari tempat teduh, untung saja tak jauh dari persembunyian kami ada sebuah gubuk kecil. Kami lari dan berteduh di sana.
Untuk mengurangi kejenuhan, kami saling bercengkrama satu sama lain. Tak ada kecanggungan antara Alif dan Ayssa. Mereka mengobrol layaknya dua teman yang sudah mengenal lama.
Sifat mereka memang seperti itu. Apalagi Ayssa. Dia begitu ramah dengan seseorang dan bahkan saat itu pula dia yang pertama kali membuatku nyaman ketika berteman dengannya.
Kalau Alif, mungkin terasa aneh karena saat ini dia telah mudah bergaul, berbeda dengan Alif yang baru pertama kali aku kenal saat itu. Menurut pengakuannya, semua ini dia belajar dariku. Bahwa kita adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri dan tak bisa pula menjalani semua aktivitas sendirian.
Aku mulai menjulurkan tanganku di bawah air hujan yang jatuh dari atap gubuk ini. Aku memang suka melakukan hal ini dari kecil. Entah kenapa air yang ada di rumah dengan air hujan memiliki chemistry yang berbeda.
Ketika air hujan menetes ke tanganku, hati yang sedari tadi kalut perlahan mulai reda. Seperti ada sebuah kekuatan yang membuatku merasa lebih tenang dari sebelumnya. Percayalah, dengan mensyukuri nikmat yang Allah berikan, kita pasti akan mendapat hikmah dari semua itu.
"Reine. Awas nanti kamu sakit lagi." Celetuk Ayssa.
Aku menoleh sedikit ke arahnya sambil menyunggingkan senyum.
"Biarkan. Sejak kecil dia memang seperti itu." Jawab Alif.
"Tapi, apa kamu tak khawatir kalau dia sakit? Sementara kemarin dia baru saja sakit karena hujan-hujanan."
"Hujan bukanlah penyebab kita sakit. Mungkin saat itu kondisi Reine sedang tak sesehat biasanya. Dari dulu dia memang seperti itu. Jadi biarkan. Biarkan dia mengekspresikan dirinya."
Ayssa bertepuk tangan. "Oh ya Allah. Beruntung sekali kamu mendapatkan calon seperti Alif ini, Rein. Doakan ya, semoga jodohku seperti itu juga nanti."
Aku terkekeh. "Aamiin. Aku doakan semoga kamu mendapat jodoh yang bahkan lebih baik dari pada Alif."
"Eh tapi, melihat sikap Alif ini, aku jadi ingat kak Hamzah."
Aku dan Alif seketika beradu tatap.
"Dia juga seperti itu. Peduli dan sayang dengan keluarga."
"Benarkah?" Tanya Alif.
"Iya, sama sepertimu."
Sementara aku hanya diam tak berkutik. Rasanya sakit sekali ketika nanti Ayssa mengetahui semuanya. Aku bahkan bisa merasakan menjadi posisinya nanti akan sesakit apa. Semoga Ayssa bisa memaafkan kesalahan Hamzah.
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan. Kebetulan juga, hujan di sini sudah mereda. Aku, Alif dan Ayssa segera kembali ke tempat persembunyian tadi.
Tak membutuhkan waktu yang lama, dua orang pria berjalan menuju gubuk yang tadi kami teduhi ketika hujan. Huft, untung saja kami tak terlambat ke sini, kalau terlambat, bisa sulit lagi urusannya.
Dua pria itu berjaket hitam dan kupluknya mereka kenakan. Mereka juga memakai masker jadi kami tak bisa mengenali siapa saja lelaki itu.
Sementara itu, atas permintaanku, Ayssa memotret keduanya dari sini. Untuk pembuktian nanti kalau-kalau keluarga Ayssa akan menyeret kasusnya ke polisi.
Hanya selang beberapa menit, seorang pria berjas hitam datang menghampiri mereka.
"Ya Allah! Itu kak Hamzah. Kenapa dia ada di sini?" Lirih Ayssa yang terdengar begitu kaget melihat kakak angkatnya ada di hadapannya.
"A-aku akan menemuinya." Dia akan berdiri namun aku menarik tangannya, "jangan bertindak gegabah, Ayssa. Kita lihat dulu apa yang akan mereka lakukan."
"T-tapi, apa maksud semua ini?"
"Kamu tenang dulu. Biar mereka yang menjelaskan semuanya padamu."
"Bagaimana? Apa ada yang harus kita lakukan lagi?" Hamzah bertanya pada dua pria itu.
"Tidak ada tuan. Semuanya sudah selesai." Mereka lalu memberikan sebuah koper kepada Hamzah. "Uang sepuluh Milyar itu, ada di sini. Kami tak membawa sepeser pun dari uang itu. Tuan bisa menghitungnya dulu."
Ayssa terbelalak kaget dan tak karuan. "T-tidak! M-mana mungkin semua ini...."
"Tak usah. Saya sudah sangat mempercayai kalian. Lagi pula kalian sudah membantu banyak kepada saya. Terima kasih." Ucap Hamzah sambil memberi uang kepada dua pria itu, "ini untuk kalian."
"Tak usah tuan. Saya membantu dengan ikhlas."
"Tak apa. Terimalah. Sebagai tanda terima kasih saya kepada kalian."
Tak ada angin atau hujan, tiba-tiba tiga orang polisi menyergap mereka bertiga. Kami saling bertatapan satu sama lain. Apakah ada salah dari Alif atau Ayssa yang memanggil polisi, namun secara bersamaan mereka menggelengkan kepalanya.
Tiga polisi itu segera menangkap dan memukuli Hamzah serta rekan-rekannya dengan perlakuan yang tak manusiawi. Aku bisa merasakan tangan Ayssa yang begitu dingin.
Tanpa ba-bi-bu lagi, dia segera menghampiri Hamzah.
"Ayssa!" Aku berusaha menghentikannya tapi dia tak menggubrisku. Sementara itu aku dan Alif mengikutinya dari belakang.
"Hentikan!" Aku mendengar suara Ayssa begitu lantang.
Tak hanya Hamzah, rekan-rekannya itu dan ketiga polisi terkejut ketika melihat kami.
"Ayssa?" Hamzah terkesiap dengan wanita yang ada di hadapannya, "u-untuk apa kamu ke sini?" Tanyanya terbata-bata.
"Kakak tak perlu tahu kenapa aku ada di sini. Justru aku yang harus bertanya pada kakak, kenapa kakak ada di sini?"
Hamzah tak menjawab. Ia seperti memberi isyarat kepada kedua temannya untuk tak memberi tahu apa pun kepada Ayssa.
"Kakakmu ini telah mencuri uang perusahaan." Kata salah satu orang polisi.
"Itu tak mungkin pak," timpal Ayssa pada polisi yang memakai masker itu, "tak mungkin kakak saya yang melakukan semua ini. Dia itu kakakku. Anak dari pemilik perusahaan ini."
"Itu tak menjadi jaminan. Kalau dia bersalah, maka tak ada gelar apa pun untuk bisa menyelamatkannya. Bahkan dari keluarga terpandang sekalipun."
"T-tapi, aku sudah mengenal kak Hamzah sejak kecil. Dia pribadi yang disiplin dan tak pernah mencuri. Dia bahkan rela memberikan seluruh uang jajannya kepada pengemis hanya untuk membuat mereka bahagia. Aku tahu itu dan pernah melihatnya. Jadi mana mungkin kak Hamzah mencuri uang di perusahaan milik papanya sendiri."
"Itu saat kecil. Sikap seseorang bisa berubah sewaktu-waktu."
"Lalu, siapa yang memerintahkan bapak semua ke sini?" Tanyaku.
"Ayahnya wanita ini," katanya sambil menunjuk Ayssa.
Sementara itu, Ayssa hanya bisa menatap Hamzah yang sudah tak berdaya. Pipinya lebam dan ujung bibirnya pecah, mengeluarkan darah.
"Kalau bapak seorang polisi, bapak tak akan menghakimi mereka seperti itu." Ujar Alif membuka suara.
"Kau tak usah banyak bicara. Biar kami yang mengurus semuanya."
"Kak Hamzah...." Suara Ayssa melemas sambil duduk menatap kakaknya yang hanya bisa menunduk itu, "a-aku percaya kamu tak melakukan semua itu. Kamu hanya perlu memberikan alasan yang jelas kenapa kamu ada di sini malam-malam dan apa maksud uang sepuluh Milyar itu?" Ayssa terisak.
Hamzah tak bergeming.
"Kakak, aku mohon. Beri tahu pada mereka kalau kakak bukanlah pelaku dari semua ini. Aku mendukungmu kakak. Aku sudah mengenalmu sejak kecil. Kamu tak melakukan semua itu kan?"
"Sudahlah. Kakakmu itu sudah bersalah, jangan mengelak lagi." Polisi itu menyeret Hamzah dengan kasar.
"Pak, hentikan!" Aku tak tega melihatnya diperlakukan seperti itu, "setidaknya kita bisa mendengar dulu penjelasan dari Hamzah."
"Benar pak. Aku mohon." Baru kali ini aku melihat Ayssa begitu rapuh. Berbeda dengan Ayssa yang kemarin memelukku sambil menangis karena masalah perjodohan itu. Saat itu dia masih bisa mengontrol emosinya.
"Apa yang perlu ditanyakan lagi? Semuanya sudah jelas!" Polisi itu justru balik membentak kami.
"Kak aku mohon, bicaralah dan katakan sejujurnya. Bahwa kamu tak melakukan semua itu. Kakak jangan takut, aku bersamamu." Ayssa terus menangis sambil menatap Hamzah yang masih menunduk.
"Maafkan aku, Ayssa. Dia mendongakkan kepalanya, "kamu tak usah memanggilku kakak lagi. Aku kakak yang tak berguna untukmu."
"Maksud kakak? A-aku tak mengerti."
"Iya benar," Hamzah diam sejenak, "aku yang telah mencuri uang itu."
Seakan ada petir yang tiba-tiba menghujam kami. Seketika aku menatap Alif yang terbelalak begitu kaget. Apalagi Ayssa, dia menggelengkan kepalanya tanda tak percaya.
"Itu semua bohong. Aku tahu kamu tak melakukan itu."
"Tapi aku melakukannya Ayssa." Sahutnya lemah, terlihat di ekor matanya ia menangis.
"Tidak. Aku tidak percaya kakak melakukan semua itu. Apa kakak ingat? Dulu, dulu kakak sendiri yang mengajarkanku untuk tidak mencuri uang milik papa, mama atau orang lain meskipun itu hanya seratus rupiah. Kakak sendiri yang bilang bahwa uang yang kita temui di sembarang tempat itu bukanlah uang kita. Kita tak ada hak untuk mengambilnya." Ayssa berusaha membeberkan semua kejadian masa kecilnya bersama Hamzah.
Sementara itu aku menghampiri Ayssa dan mengusap-usap punggungnya pelan. "Tenang Ayssa, ketika Hamzah telah mengungkapkan semuanya. Apa yang perlu kita buktikan lagi? Semuanya sudah jelas. Biar polisi saja yang mengusutnya lebih jauh."
Aku melihat Hamzah yang terus saja menunduk dan pasrah ketika tiga polisi itu membawanya ke sebuah mobil, bersama dua temannya itu. Tak lupa, koper berisikan uang dua Milyar itupun diambil oleh salah seorang polisi itu.
Alif masih mematung dalam tempat. Ia tak mengatakan apa pun tapi matanya terus saja mengikuti ke mana Hamzah dibawa sampai mobil membawanya pergi.
Ayssa berteriak. Dia memberontak dan akan mengejar Hamzah tapi aku menahannya. Dia begitu histeris dan sangat terluka.
"Ayssa, istigfar." Aku berusaha membuatnya kembali tenang.
Dia masih menangis tak karuan. "Reine. Aku tak percaya kak Hamzah bisa melakukan itu semua. Walaupun dia sendiri yang telah mengakuinya, tapi aku tak bisa menerima pernyataannya itu."
Aku memeluk Ayssa dan masih mengusap punggungnya pelan. "Tenang, Reine. Kalau kamu merasa Hamzah tak bersalah, polisi pasti akan menyerahkannya kembali padamu."
"Aku tak bisa Reine. Aku tak bisa melihat kak Hamzah yang terluka dan dipukuli oleh para polisi itu. Hatiku begitu sakit melihat kondisinya." Dia masih terisak.
"Aku juga tak tahu kenapa para polisi itu menghakimi Hamzah. Tapi aku berdoa, semoga sesegera mungkin ada kabar baik dari polisi mengenai Hamzah." Aku masih membuat Ayssa tenang. Aku juga tak tahu di pihak mana yang harus aku percayai. Di sisi lain Hamzah telah mengakui perbuatannya, dan di sisi lain Ayssa menyangkal semua itu.
Kulihat Alif masih mematung di tempat. Dia juga seperti tak percaya dengan sikap Hamzah yang sebenarnya.
"Alif?" Aku memintanya kemari, "apa yang sedang kamu pikirkan?"
Dia terlihat lemas dan bibirnya pucat. "Kenapa dia diperlakukan tak adil seperti itu?" Suaranya begitu menyayat hati.
"Aku juga tak percaya dia melakukan hal serendah ini."
Beberapa saat kemudian, Ayssa mulai terlihat tenang. Dia hanya sedikit sesenggukan. Aku memberikannya air mineral yang tadi dibawa oleh Alif.
Setelah keadaan mulai kembali seperti semula, kami memutuskan pulang.
Tak ada pembicaraan apa pun di dalam mobil. Hanya kesunyian dan rintihan pilu dari suara Ayssa. Dia masih tak percaya bahkan tak mau menerima ungkapan Hamzah. Sementara aku memintanya untuk tetap tenang.
"Apa yang akan kamu katakan pada ayahmu?"
Dia menggeleng lemas. "Aku tak tahu. Lagi pula papa sendiri yang telah mengirim para polisi itu. Berarti papa sudah tahu dari awal siapa pelakunya."
"Lalu bagaimana ketika kamu pulang nanti?"
"Aku akan mengirim pesan pada papa untuk tidak pulang malam ini. Aku akan menginap dulu di hotel."
"Kenapa kamu menginap di hotel? Kamu tidur di rumah bibi saja."
"Benar," Alif menyetujui itu, "lagi pula di rumah bibi ada Reine yang bisa menenangkanmu."
"Tak usah Rein. Aku membuatmu repot."
"Aku tak merasa direpotkan. Kamu tidur bersamaku saja ya."
Dia menatapku dengan sorot mata yang kosong, penuh arti. "Terima kasih, Rein. Aku sangat beruntung bisa berteman denganmu." Dia lantas memelukku.
Aku bisa merasakan sakitnya menjadi Ayssa. Saat ini dia diliputi keresahan luar biasa oleh pembuktian yang diucapkan Hamzah dengan penolakan hatinya yang tak percaya Hamzah bisa melakukan itu semua.
Setelah beberapa menit di perjalanan akhirnya kami sampai di depan rumah, aku menepuk pelan pundak Ayssa, "kita sudah sampai."
Ayssa terhenyak sesaat kemudian mengangguk pelan.
Aku memapah Ayssa ke dalam rumah. Ketika aku akan membuka pintu, bibi sudah membuka pintu lebih dulu. Rautnya seketika berubah melihat kondisi aku apalagi Ayssa. Wajahnya dipenuhi tanda tanya, tapi aku meyakinkannya bahwa kami baik-baik saja.
"Bibi, ini kunci mobilnya." Kata Alif sambil menyodorkan itu pada bibi, "terima kasih banyak sudah membantu kami."
"Sama-sama. Tak masalah Alif."
"Oh iya, Alif juga sudah mengisikan bensinnya bi." Ujarku berterus terang.
"Oh benarkah? Kenapa kamu harus mengisinya? Tak usah merepotkan seperti itu Alif, bibi jadi malu."
Dia tersenyum kecil, "tak apa bi. Justru Alif yang merasa direpotkan."
"Baiklah. Terima kasih ya. Untuk lain waktu jangan ulangi lagi. Bibi membantu kalian ikhlas kok."
"Iya bi. Kalau begitu, Alif pamit pulang dulu ya bi. Sampaikan salamku pada paman." Dia menatapku sebentar, "jaga dirimu dan buat Ayssa tenang juga ya."
Aku mengangguk.
Setelah itu Alif mencium tangan bibi kemudian mengucapkan salam sebelum pergi.
Sepertinya bibi sudah mengerti dengan sikap Ayssa yang terlihat begitu rapuh. Bibi tak banyak bertanya, hanya membawakan air hangat dan beberapa cemilan untuk kami berdua.
Ayssa masih diam dan tak banyak bicara juga. Aku memintanya untuk minum dan istirahat. Dia mengikuti perintahku.
Setelah beberapa saat, kulihat Ayssa sudah tertidur pulas. Aku segera menyelimuti nya dengan selimut tebal. Berharap malam ini dia bisa tidur dengan nyenyak.
Ku matikan lampu dan merebahkan diri di atas kasur. Kupandang langit-langit kamar, masih membayangkan peristiwa tadi yang rasanya sangat sulit dipercaya.
Sudah sedikit terbayar rasa penasaranku. Hanya saja ada satu pertanyaan yang masih menghantui pikiran.
"Untuk apa Hamzah melakukan itu semua?"
...