Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 22 - Bukan Perkara Mudah

Chapter 22 - Bukan Perkara Mudah

Suasana malam di kota Bogor tampak indah. Sedari tadi, aku menikmati suasana malam di balkon rumah bibi. Bulan begitu cerah dan juga ada banyak bintang yang menghiasi langit. Rasanya aku ingin menghitung semua bintang itu dan berkata kepada salah satunya, "apakah kamu bisa mengantarkanku atau setidaknya memberitahuku sedikit saja kabar mengenai Alif?"

Semuanya hampir terpampang jelas di depan mata. Karena nanti pada saatnya, akan ada sosok baru yang sama-sama menikmati keindahan malam. Semilir angin yang sejuk dan suara jangkrik yang memecah keheningan malam, membuat kita saling mengikat janji untuk terus menjaga, saling menyayangi dan tentunya, menua bersama.

Aku masih menatap bulan. Namun awan yang sedari tadi bergerak mulai menutupi sebagian bulan yang memang saat ini bentuknya tengah bulat sempurna. Aku bahkan bisa melihat pergerakan itu, begitu cepat. Tapi untungnya selang beberapa menit, bulan itu kembali menyinari bumi dengan posisi yang sempurna.

Aku membayangkan, bagaimana bahagianya aku nanti ketika kita mampu mengejar impian itu bersama-sama. Cincin yang melingkar di jari manis tangan kananku ini, akan terus bahkan tetap menjadi saksi bisu perjalanan dan kisah kasih kita berdua.

Tentunya dengan keridaan Allah, aku berharap semuanya akan berjalan dengan baik dan menurut takaran porsinya masing-masing.

Bulan dan bintang. Dua pasangan yang selalu hadir menemani kesunyian malam. Aku jadi ingat saat masih sekolah, Alif pernah duduk di teras rumah sambil menengadah ke langit.

Saat itu aku sedang membeli makanan di luar, dan ketika pulang, aku melewati rumahnya serta mendapatinya tengah seperti itu.

"Hei!" Panggilku yang sepertinya membuat dia sedikit terkejut. "Melamun ya?"

"Ya, seperti itu." Jawabnya ramah, "kamu dari mana malam-malam seperti ini ke luar rumah?"

"Yah Alif, kamu seperti tak tahu aku saja. Setiap malam kan aku suka lapar. Jadi aku memutuskan membeli beberapa jajanan ini. Kamu mau?" Tanyaku sambil menunjukkan bihun gulung goreng, cimol, bakso ayam dan minuman.

Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih. Kamu habiskan saja itu."

"Benar nih? Kira saja nanti ketika aku pulang kamu ingin. Kalau ke bapaknya pasti beli, kalo di aku gratis. Nih." Ujarku sambil menyodorkan seplastik bihun gulung goreng.

"Tak usah Reine." Dia terkekeh. "Aku sudah kenyang."

"Yakin?"

"Heem." Dia mengangguk mantap.

"Baiklah kalau seperti itu." Aku memasukkan bihun gulung goreng itu ke dalam keresek lagi. "Lalu untuk apa kamu malam-malam di luar sendiri, tak takut ditemani sama sesuatu ya?"

"Coba lihat itu." Dia menunjukkan langit malam yang memang saat itu ada beberapa bintang. "Coba kamu hitung." Katanya lagi.

"Yang mana?"

"Itu, di sebelah situ." Ujarnya menunjuk langit di bagian kanan.

Aku mulai menghitung bintangnya. Menurut penglihatanku yang memang sedikit buram karena tak pakai kacamata, aku melihat ada sepuluh bintang.

"Kamu yakin?" Tanya Alif.

"Sepertinya begitu."

Tunggu beberapa menit dan jangan dulu lihat ke atas.

"Lho, kenapa?"

"Nanti juga kamu akan tahu sendiri." Lirihnya, "oh iya! Tugas prakarya sudah kamu kerjakan?"

"Yang mana?" Kala itu aku bingung karena ada beberapa tugas di pelajaran itu.

"Yang membuat tas dari plastik bekas kopi."

"Oh iya ya Allah!" Aku menepuk keningku, "masih setengah lagi. Aku belum membereskannya. Memangnya, deadline nya kapan?"

"Lusa."

"Benarkah?" Aku begitu terkejut. "Ya Allah aku belum selesai."

"Siap-siap nanti dimarahin guru." Katanya sambil teretawa.

"Eh memangnya kamu sudah?"

"Sudah dong." Jawabnya dengan raut sombong. "Kamu kan tahu, guru prakarya kita itu galak. Nanti kalau tugas kamu itu belum selesai, habis kamu."

"Ih, Alif!" Aku mencubit pundaknya. "Kamu ini menyebalkan. Bukannya membantu, tapi malah membuatku takut."

"Ya habisnya kenapa kamu lupa?"

"Aku kira deadline-nya masih lama. Lagi pula kan kita banyak tugas. Jadi aku lupa."

"Yaa itu urusanmu. Kenapa juga harus lupa. Padahal beri catatan di kalender ponselmu atau lingkari setiap tanggal deadline tugas di kalender rumah."

"Alif... Aku mohon jangan seperti itu. Bantu aku." Pintaku memelas.

"Bantu apa?"

"Membuat tas. Besok ya?"

Dia memasang raut datar dan menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak mau membantumu."

"Ih, aku mohon...."

"Tidak! Kalau tidak ya tidak." Jawabnya singkat.

"Ya sudah! Kalau kamu tega melihatku nanti dimarahin tak apa. Aku pulang dulu. Besok jangan nyamper!" Kataku sambil beranjak pergi.

Dia masih tertawa geli. "Oke, oke. Maafkan aku. Tunggu dulu! Kamu jangan dulu pergi." Dia menyuruhku untuk tetap di sini. Entah apa yang akan dia bawa dari dalam rumah.

"Ehh, kan kataku jangan tengok ke atas dulu." Ujar Alif ketika kepalaku hampir menengadah.

"Aku tahu." Jawabku sekenanya.

"Baiklah, nyonya. Aku memang selalu salah." Katanya langsung masuk ke dalam rumah.

Aku masih menggerutu di dalam hati. Kalau saja bukan Alif, aku pasti sudah kesal sekali padanya.

Selang beberapa menit, dia kemudian kembali sambil membawa sesuatu dari dalam tas kain. "Ini." Dia memberikannya padaku.

Aku masih diam. Tak menggubris ucapannya.

"Ohh jadi masih marah ya?" Katanya terkekeh. "Baiklah, maafkan aku." Dia memegang kedua telinganya.

Aku mendelikkan mata. "Aku maafkan."

Dia kemudian membuka tas kain itu. "Ini punyamu."

Aku terhenyak lalu berdiri.

"Aku tak akan membantumu karena tasnya sudah jadi. Jadi apa yang perlu aku bantu lagi?"

Aku terpaku melihat tas punyaku sudah selesai dengan anyamannya yang begitu rapi.

"K-kamu... Kenapa tas ku ada di kamu?" Tanyaku terbata-bata.

"Kamu itu ceroboh reine. Ketika kita pulang dari sekolah kemarin, kamu kan ngejar tukang es krim. Tas nya jatuh dan kamu tak menyadarinya, untung saja aku melihatnya."

"Oh ya Allah, aku tak tahu. Tapi kenapa kalau kamu tahu tasnya jatuh kamu tak memberikannya padaku?"

"Karena aku tahu kamu pasti akan lupa mengerjakannya. Ini," dia memasukkan tas itu pada tas kain lalu memberikannya padaku.

"Alif, a-aku...."

"Iya?"

"A-aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu. Bahkan aku sempat kesal padamu untuk soalan ini. Sekarang giliran aku yang harus minta maaf." Aku memegang kedua telingaku.

"Tak apa." Dia memintaku untuk melepaskannya. "Itu bukan masalah."

"Tapi-"

"Sekarang, coba lihat ke atas langit." Selanya.

"Memangnya ada apa?"

"Lihat saja."

Aku menengadahkan wajahku pada langit. Dan betapa herannya aku ketika melihat ada banyak bintang di sana. Padahal beberapa menit yang lalu aku hanya melihat ada sepuluh bintang.

"Bagaimana? Ada perubahan?" Katanya kemudian.

"Masya Allah, Alif... Kenapa bintangnya bisa bertambah semakin banyak?"

Dia tersenyum. "Sama aku juga heran. Kerap kali aku menghitung bintang, seperti tak ada habis-habisnya. Semua itu adalah kebesaran Allah, Rein."

Aku menyahut. "Benar, Alif. Beruntung sekali aku menemuimu malam ini. Rasanya hatiku begitu tenang ketika memandang lebih lama langit malam karena mu."

Dia tersenyum lebar.

Aku merasakan dengan detail setiap kejadian yang pernah kita lalui. Aku juga berusaha untuk tak pernah melupakan setiap momen yang pernah kita jalani bersama. Mulai dari pertemuan pertama kala itu, hingga saat ini dia telah membuat janji dan mengikatku untuk menua bersama.

Lagi-lagi aku teringat kisah cinta sejati yang begitu terkenal sampai ujung waktu. Benar, kisah Laila dan Qais. Seorang pria yang terlahir dari keluarga biasa yang sangat mencintai Laila tanpa pamrih. Karena melihat cinta Qais yang begitu besar pada Laila, orang-orang bahkan menyebutnya 'Majnun'. Majnun artinya gila. Gila di sini mereka sematkan pada pemuda itu karena memang cintanya begitu tergila-gila pada Laila. Hingga akhirnya, cinta mereka berdua kemudian terbenam pada ukiran kisah romansa abadi. Ya, kisah Laila dan Majnun.

Cinta sejati memang tak pernah bisa terukur oleh satuan apa pun. Hal itu hanya bisa disematkan oleh orang-orang yang mampu menjaga cintanya tanpa ada kata sampai.

Dan pada akhirnya, mereka hanya bisa memeluk cinta pada keabadian. Tak pernah merasa kehilangan, karena sejatinya cintanya itu akan selalu melekat pada hati masing-masing.

Sepertinya malam sudah larut. Aku segera turun dan masuk ke dalam kamar. Suasana sudah sepi. Hanya suara jangkrik yang menemaniku saat ini.

Sebelum itu, aku hanya bisa berharap untuk siapa pun termasuk Alif, semoga keadaannya selalu baik-baik saja di manapun ia berada.

Karena memang, menanti itu sangatlah menyakitkan.

Selang beberapa menit aku memikirkan itu, mata sepertinya ingin mengajakku untuk segera beristirahat. Aku segera menarik selimut dan berdoa, agar malam ini tak ada lagi mimpi buruk tentang Alif.

Dan terakhir, kuucapkan selamat malam untukmu yang mungkin sedang tidur juga di sana.

...

Masih pukul delapan pagi, aku dan paman bersiap menuju kantor. Sebenarnya perusahaan belum memberi informasi terkait kapan masuk kerja. Aku hanya disuruh oleh Ayssa untuk pergi ke sana secepatnya. Sebenarnya aku tak tahu ada apa. Tapi mungkin rasa penasaran ini akan segera pupus setelah aku sampai nanti.

Cuaca hari ini sedikit mendung. Hujan gerimis membuat lalu lalang kendaraan di jalanan sedikit melenggang. Paman mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, hingga beberapa menit kemudian, kami sudah sampai di tempat tujuan.

Perusahaan ini nampak sepi. Setelah turun dari mobil, paman bergegas masuk ke ruang kantornya. Sementara itu kakiku melangkah menuju ruang kantor Ayssa.

Ku ketuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Ku coba sekali lagi, dan sama tak ada jawaban pula.

Aku memutuskan duduk menunggunya. Mungkin dia masih dijalan menuju kemari. Sementara itu untuk melepaskan kebosanan, aku membuka instagram dan line. Setidaknya video-video yang ada di sana membuatku tak terlalu jenuh.

Selang beberapa menit, sebuah pijakan kaki terdengar seperti tengah menaiki tangga. Aku berdiri dan memeriksanya, dan di saat yang sama pula aku mendapati Ayssa telah datang dengan raut yang serius. Tak seperti biasanya.

"Eh rein," dia menyapaku, "kamu sudah lama di sini?"

"Em lumayan." Jawabku.

"Aduh maaf ya tadi dari rumah aku sedikit terlambat."

"Tak masalah. Memangnya ada apa ay? Sepertinya ada masalah serius."

"Itu yang akan aku katakan Rein." Dia mengajakku masuk ke kantornya lalu mengunci pintu dan menutup tirai dengan rapat.

Aku bingung, "ada masalah? Masalah apa?"

Ayssa memintaku untuk mendekat dengannya. "Kamu tahu rein? Perusahaan ini sedang diambang darurat."

"Maksudmu?"

"Ada yang mencuri uang perusahaan sebanyak sepuluh Milyar." Katanya berbisik.

Aku menutup mulut dengan kedua tanganku. "Oh ya Allah. Benarkah?"

Ayssa mengangguk.

"Apa pelakunya sudah ditemukan?"

"Itu yang jadi pertanyaannya. Ketika papa meminta karyawannya untuk mengecek data-data transaksi keuangan terakhir, tak ada pencerahan di sana. Maka dari itu pelakunya belum ditemukan."

"Lalu? Lalu bagaimana Ayssa?"

"Entahlah, papa juga bingung. Perusahaan ini sedang ada di posisi yang sulit."

"Apa ada cara lain untuk mengetahui siapa yang melakukannya? Atau mungkin, apa kamu bisa melihat ada gelagat aneh dari salah satu karyawan?"

"Tak ada Rein. Aku tak merasakan itu. Papa juga berpikir begitu."

Kemudian aku diam. Berusaha mencari cara untuk bisa sedikitnya menolong atau memberi pencerahan pada Ayssa.

"Rein," ujar Ayssa setelah beberapa menit. "Apa kamu menemukan solusi?"

"Sepertinya ada Ay."

"Oh ya? Apa? Katakan Rein."

"Nanti saja aku ceritakan." Aku meminta izin padanya untuk pergi. Awalnya dia berusaha menahan untuk tetap di sini, tapi aku bersikukuh untuk pergi.

"Aku tak tahu caraku ini akan berhasil atau tidak. Tapi setidaknya, aku akan berusahanya tanpa perlu kamu tahu dulu."

"T-tapi Rein-"

Aku menyelanya. "Kamu tak usah khawatir. Aku akan mencoba menolong perusahaan papamu." Jawabku sembari meminta izin pamit padanya.

Aku bisa melihat raut Ayssa yang nampak keheranan. Tapi apa pun itu, aku akan berusaha membantunya semampuku. Insya Allah.

Sambil menunggu angkutan lewat, aku berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Ketika aku turun dari ruangan Ayssa tadi, ruangan yang paman masuki tertutup rapat dan sepertinya ada meeting dadakan. Aku tahu itu memerlukan waktu yang lama. Maka dari itu aku pulang sendiri saja.

Taksi online mendadak tak ada. Aku pun sudah berada di pertengahan jalan. Kembali ke kantor, itu terlalu jauh. Tapi tetap melanjutkan ke rumah, aku sudah terlalu lelah.

Untung saja di ujung sana aku mendapati sebuah warung kecil. Aku segera ke sana dan membeli satu botol air mineral dan roti selai keju. Setelah membelinya, aku duduk di kursi yang sudah disediakan warung itu.

Jujur, sebenarnya perasaanku begitu campur aduk. Ada rasa khawatir dan juga takut. Apalagi perusahaan papa Ayssa ini termasuk perusahaan besar yang merekrut banyak sekali karyawan, salah satunya aku dan paman.

Kalau saja sampai perusahaan itu gulung tikar, aku tak tahu bagaimana nasibnya paman nanti, juga nasib para karyawan yang memang hidupnya tergantung pada perusahaan itu. Paman selalu mendukungku di setiap masalah bahkan memberi solusi, paman juga tak pernah pelit dalam urusan uang. Sementara pekerjaan nya ada di ambang kebangkrutan.

Aku tak mau itu terjadi. Karena setidaknya aku sudah berhutang budi banyak kepadanya. Aku bahkan tak tahu harus membayarnya dengan apa, dan semoga dengan rencanaku ini, bisa membuat perusahaan papa Ayssa kembali normal.

Sudah lama aku terduduk di sini. Pikiranku begitu berkecamuk hingga tiba-tiba sebuah mobil terparkir di depanku.

Ya, aku sudah tak asing lagi dengan mobil itu.

"Rein, kenapa belum pulang?" Hamzah menghampiriku kemudian.

"Aku... Kenapa kamu di sini?"

"Aku memang setiap hari lewat sini."

"Ke kantor?"

"Ya. Ke rumah sakit juga lewat sini."

Aku mengangguk pelan. Sejurusnya aku hanya terdiam saja. Entahlah, pikiranku seakan menceracau menjelajah setiap lorong, semoga saja kutemukan titik pencerahan di sana.

"Kamu tak menjawab pertanyaanku." Ucapan Hamzah seketika membuyarkan seluruh pikiranku.

Aku memandangnya sebentar, "pertanyaan? Pertanyaan apa?"

"Yang tadi. Kenapa kamu belum pulang?"

"Oh ya? Memangnya kamu bertanya seperti itu?"

Dia terkekeh kecil. "Coba ingat-ingat lagi."

"Aku tak mengingatnya." Kataku setelah berpikir.

"Ya sudah lupakan. Sekarang aku tanya lagi, kenapa kamu belum pulang?"

"Aku sedang menunggu angkutan, barang kali saja ada yang lewat."

"Kenapa tak memesan taksi online?"

"Tiba-tiba tak ada." Aku menunjukkan peta keberadaan taksi online di ponselku padanya.

Dia memicingkan mata. "Memangnya kamu dari mana?"

"Dari kantor."

"Bukankah kantor sedang libur?"

"Iya. Tapi Ayssa memintaku ke sana."

"Oh seperti itu." Dia terdiam sejenak, "kalau kamu berkenan, aku bisa mengantarmu pulang."

Aku terhenyak mendengar ucapannya.

"Bagaimana?" Sejurusnya.

Aku bingung harus menjawab apa. Kalau iya, mana mungkin aku diantar olehnya sampai rumah? Sedangkan bibi tahu aku sudah bertunangan. Kalau tidak, bagaimana juga aku bisa pulang? Rasanya aku tak melihat tanda-tanda keberadaan angkutan umum di sini.

"Reine?" Tanyanya membuyarkan lamunanku, "apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Oh t-tidak." Jawabku gugup.

"Bagaimana? Mau?"

Aku masih tak menjawabnya.

"Tenang," katanya seperti sudah bisa menebak apa yang aku pikirkan, "nanti aku akan jelaskan kepada bibi. Aku hanya akan mengantarmu pulang. Lagi pula kamu sudah bertunangan kan? Ayo." Dia membukakan pintu mobilnya untukku, "masuklah."

Dengan keraguan, aku mengikuti katanya dan masuk ke dalam mobil. Hatiku berdegup begitu kencang, berbeda dari biasanya. Keringat juga mulai membanjiri pelipis.

"Nih," dia menyodorkan sekotak tisu padaku. "Lap keringatmu itu, kamu jangan khawatir. Aku pasti mengantarkanmu pada bibi." Lanjutnya lalu mulai mengendarai mobil.

"Terima kasih." Ujarku sekenanya.

"Aku juga terima kasih."

"Untuk?"

"Sapu tangan itu. Terima kasih sudah menemukannya. Ayssa telah memberikannya padaku."

Aku mengangguk. "Tak masalah."

Tak seperti biasanya, setelah beberapa ratus meter dari aku menaiki mobil, jalanan begitu macet. Pantas saja tak ada angkutan umum yang lewat tadi, semua kendaraan nya terkunci di sini.

Sementara itu, setelah pembicaraan sapu tangan, kami tak mengobrol apa pun lagi. Kami terdiam pada lamunannya masing-masing.

Selang beberapa menit mobil yang ditumpangi tak kunjung maju, ponselku tiba-tiba bergetar. Aku segera mengeceknya dan betapa senangnya aku ketika mendapat notifikasi pesan dari Alif.

Aku segera membukanya.

'Assalamu'alaikum, Reine. Apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja ya.'

'Oh iya. Sebenarnya kamu ke mana? Aku sudah menunggumu di rumah bibi. Apa kamu masih lama pulangnya atau harus aku jemput?'

Aku segera membalasnya cepat.

'Wa'alaikumussalam, Alif. Aku baik-baik saja. Kamu bagaimana kabarnya?'

'Aku tak menyangka kamu sudah pulang. Apa kamu tahu betapa bahagianya aku mendengar kabarmu? Untuk urusanku, kamu jangan khawatir. Aku sedang di jalan menuju rumah. Tunggu aku di sana ya.'

Selang beberapa detik, ponselku kembali bergetar.

'Aku baik-baik saja Rein. Baiklah, kalau saat ini kamu sedang di jalan. Aku menunggumu. Hati-hati ya.'

'Kata bibi, jalanan sedang macet. Benarkah? Lalu kamu pulang pakai apa?'

Aku kembali membalasnya.

'Iya Alif. Kamu tak usah khawatir. Aku bersama kakaknya teman kerjaku.'

Aku baru menyadari, mobil yang dikendarai Hamzah sudah hampir sampai di depan rumah.

Mungkin tadi aku terlalu asik hingga lupa bahwa sebentar lagi aku akan turun.

"Kamu sedang bahagia ya?" Celetuk Hamzah.

Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum simpul. "Alhamdulillah."

"Kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan? Dari tadi aku melihatmu tersenyum sendiri." Serunya.

"Oh benarkah?" Aku gugup.

Dia tersenyum. "Iya."

"A-aku... Aku sedang tak berpikir apa pun kok."

"Hm... Patut dicurigai."

"M-maksudmu?"

"Tak ada. Kamu tetap tak ingin memberi tahu?"

Aku menggeleng.

"Ya sudah kalau tak ingin memberi tahu. Sekarang dongakkanmu kepala dan lihat, kita sudah sampai."

Aku segera memastikan ucapannya lalu membuka pintu dengan cepat. "Kamu tak usah menemui bibi. Biar aku saja yang menjelaskan semuanya."

Dia tak menjawab lalu sejurusnya menyunggingkan senyuman kecil. "Baiklah kalau itu maumu."

"Ya sudah. Aku tinggal dulu ya. Terima kasih banyak atas tumpangannya."

Dia mengangguk. "Sama-sama."

Aku masih belum beranjak dari tempat. Sebenarnya ada kalimat yang ingin aku ucapkan padanya, tapi aku terlalu ragu.

Dia juga belum menghidupkan mesin mobilnya, seperti sudah tahu aku akan mengatakan sesuatu.

"Kenapa belum masuk?" Katanya, "apa ada sesuatu?"

Aku menggeleng cepat.

"Lalu?"

"Aku hanya ingin bilang, kendarai mobilnya dengan hati-hati."

Kerutan di dahinya seketika melonggar. "Baiklah. Aku akan hati-hati."

"Ya sudah. Aku tinggal ya." Kataku sambil berjalan pergi menuju rumah. Sementara itu dia mengangguk lalu membelokkan mobilnya.

Ketika aku akan membuka pintu, ku balikkan badan dan melihat mobil Hamzah sudah tak ada.

Ku tarik napas dan menghembuskannya perlahan. Kemudian, dengan rasa yang tak bisa diungkapkan bagaimana senangnya ku buka pintu perlahan.

"Assalamu'alaikum." Ujarku sambil menutup kembali pintu.

"Wa'alaikumussalam." Aku mendengar suaranya seperti sedang menemuiku.

Ya, suara itu. Aku sudah tak asing lagi dengan ucapan lembut yang keluar dari mulut Alif.

"Reine?" Sapanya. "Cepat sekali kamu pulang."

"Alhamdulillah. Tadi macetnya tak terlalu panjang."

"Oh seperti itu."

"Eh, sini." Aku mengajaknya duduk di sofa. "Sejak kapan kamu pulang?"

"Baru saja tadi."

"Lalu kamu langsung kemari?"

"Tidak. Aku ke kontrakan dulu sebentar. Setelah itu ke sini."

"Apa kamu menungguku lama?"

"Ti-"

"Lama Rein." Celetuk bibi yang tiba-tiba menghampiri kami. Aku berdiri dan mencium tangannya.

"Benarkah bi?"

"Iya. Bahkan Alif membantu bibi masak. Ternyata Alif ini pintar memasak ya. Bibi baru tahu. Dan masakannya juga enak sekali."

"Benar bi." Aku mengiyakannya. "Bahkan dulu dia selalu membuatkanku nasi goreng ati ampela. Benarkan Alif?" Kataku yang membuatnya tersenyum malu.

"Nah ini," bibi memberiku sepiring nasi goreng ati ampela.

"Untukku bi?"

"Iya. Nasi goreng ati ampela spesial buatan Alif." Bibi tersenyum lebar.

Aku segera mengambilnya. Entah bagaimana wajahku saat itu, yang begitu senang ketika mendengar Alif memasakanku masakan favorit kami ini. Rasanya aku sudah lama tak memakan menu ini dari hasil tangannya.

"Wahh ini sangat langka sekali. Terima kasih ya bi."

"Eits, jangan terima kasih sama bibi. Terima kasih nya sama Alif." Kata bibi lalu mencubit pipiku. Setelah itu meninggalkan kami.

Aku segera duduk dan mulai menyantapnya. "Terima kasih banyak Alif. Aku masih tak percaya kamu akan membuatkanku ini lagi."

"Kamu suka?"

"Sangat suka. Bahkan nanti setelah kita menikah, aku akan belajar bagaimana cara membuat nasi goreng ati ampela seenak ini padamu."

"Kamu kan pintar memasak juga."

"Tapi kalau menu ini, kamu jagonya Alif." Kataku sambil tertawa. "Eh, kamu mau?" Aku memberikan piring itu padanya.

"Tidak Rein. Aku sudah kenyang. Kamu habiskan saja."

"Ya sudah."

Tak butuh lama aku menghabiskan nasi ini. Setelah tak ada lagi yang tersisa di piring, aku mengambil segelas air dan mendapati hidung Alif yang merah.

"Hei, kamu kenapa?" Tanyaku, "perasaan tadi aku tak melihat hidungmu seperti itu."

"Aku baik-baik saja Rein."

"Kamu habis menangis ya?"

Dia menggeleng.

"Lalu?"

"Aku hanya takut saja."

"Takut apa?" Tanyaku sembari menyimpan kembali gelas itu di atas meja, "apa ada sesuatu yang terjadi padamu?"

"Tidak ada Rein."

"Lalu? Apa yang kamu takutkan?"

"Aku hanya takut, kalau suatu saat nanti tak bisa membuatkanmu nasi goreng ati ampela lagi."

...