06.00
Aku bersiap membereskan kamar, mencuci piring, menyapu dan mengepel rumah. Tak lupa aku juga membersihkan lemari kaca dan foto yang nampak berdebu. Aku tahu hari ini Ayssa akan kemari. Maka dari itu aku bersih-bersih lebih cepat dari biasanya.
Sementara itu, bibi tengah sibuk memasak di dapur. Tak lupa paman juga sedang sibuk mencuci pakaian. Kebiasaan di rumah bibi ketika pagi memang seperti ini. Jadi tak ada kata terlambat kerja dengan dalih kesiangan bangun atau hal lainnya. Aku salut pada bibi dan paman. Mereka sangat disiplin pada waktu dan tak pernah bolos salat subuh karena bangun ketika matahari sudah terbit.
Aku jadi semakin nyaman tinggal di sini.
Suara langkah kaki terdengar seperti akan menghampiriku. Ketika aku tengok, ternyata bibi sudah ada di depanku dengan raut aneh.
"Reine? Ada apa ini?" Tanya bibi.
"Ada apa maksudnya bi?"
"Kamu kenapa melakukan hal-hal seperti ini?" Bibi merebut kemoceng dari tanganku. "Sudah tak usah, biar bibi saja."
Aku merebut kembali kemocengnya. "Bibi, tak apa. Aku ingin membantu bibi. Lagi pula aku bosan diam di kamar saja." Pintaku memelas. "Aku juga ingin bersih-bersih rumah. Sekaligus meringankan pekerjaan bibi."
"Tapi itu tak perlu Rein. Bibi merasa direpotkan."
"Justru aku yang merasa direpotkan bi. Karena kalau ada apa-apa, selalu saja bibi atau paman yang dilibatkan."
Bibi memelukku. "Kamu jangan bilang seperti itu. Kami sudah menganggapmu sebagai putri kami."
Aku tersenyum. "Maka dari itu aku juga ingin mandiri. Jadi bibi jangan melarangku ya. Aku tak mau adik kecilku ini merasa kelelahan." Sahutku sambil mengelus perut bibi yang mulai membesar.
Bibi melepaskan pelukannya. "Reine. Kamu ini memang pintar sekali menggoda bibi." Kata bibi sambil menyubit hidungku. "Baiklah kalau itu maumu. Tapi kalau lelah istirahat saja, jangan dipaksakan ya. Bibi tinggal dulu."
"Baik bi."
Setelah selesai membersihkan ruangan keluarga, aku segera pergi untuk membersihkan debu di ruang tamu. Bantal kursi aku rapikan pada tempatnya. Buku-buku milik paman, aku tumpukkan dan menyimpannya di atas meja. Toples-toples cemilan pun aku sejajarkan agar terlihat rapi. Tak lupa sampah kecil juga aku buang pada tempatnya.
Ketika aku membersihkan sofa, aku melihat ada sapu tangan putih yang tergeletak di lantai. Aku mengambilnya lalu berpikir milik siapa ini? Aku rasa bibi atau paman tidak ada yang memilikinya. Sapu tangan ini masih bersih, dan ketika aku membaliknya, di ujung sapu tangan itu tertulis inisial H. Pikiranku langsung tertuju pada sosok itu lagi.
Benar. Pria itu lagi, Hamzah. Aku begitu heran, kenapa dia begitu ceroboh hingga selalu meninggalkan barang-barangnya di rumah ini?
Aku segera melipatnya dan menyimpannya di dalam kamar. Lalu melanjutkan pekerjaan tadi hingga selesai.
Setelah itu aku kembali ke kamar dan memeriksa ponsel. Lagi-lagi tak ada kabar mengenai Alif. Ada perasaan cemas sebenarnya. Tapi aku selalu percaya bahwa sebentar lagi dia akan pulang.
Jika ada yang bertanya apakah aku rindu padanya? Tentu saja iya. Sudah dua hari aku tak mendapat kabar darinya. Nomornya tak bisa dihubungi dan pesanku juga tak kunjung dibalas. Mimpi buruk tentangnya pun masih berlanjut hingga tadi. Tapi aku berusaha berpikir positif saja, sama seperti apa kata bibi kemarin.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.00. Aku segera mandi dan bersiap diri. Sepertinya sebentar lagi Ayssa akan datang.
Selang beberapa menit setelah aku selesai bersiap, terdengar suara mobil terparkir di depan rumah.
Aku yakin itu Ayssa.
Segera aku membuka pintu dan melihatnya kembali dengan keadaan yang ceria. Ketika melihatku, dia langsung berlari dan memelukku dengan erat.
Sungguh, melihatnya kembali seperti dulu membuatku begitu bahagia. Sekilas aku melihat seseorang yang berada di dalam mobil. Ketika kami beradu tatap, dia tersenyum lalu memalingkan wajahnya. Aku pun melakukan hal yang sama. Hingga perlakuanku ini membuat Ayssa bertanya-tanya.
"Rein? Ada apa?"
Aku langsung menyadarinya. "T-tidak. Ayo masuk." Ajakku membuat Ayssa masuk. Sementara itu mobil Hamzah berbalik arah lalu pergi.
"Wahh... Ini bersih sekali." Kata Ayssa sambil mengelus-elus sofa yang ia duduki. "Siapa yang melakukan semua ini?" Tanyanya.
"Em-"
"Tentu saja Reine." Kata bibi menyela ucapanku sambil tersenyum.
Melihat bibi, Ayssa langsung berdiri dan mencium kedua tangannya. "Pantas saja. Reine ini memang istri idaman." Ujar Ayssa setelahnya.
Bibi terkekeh. "Benar. Sungguh beruntung pria yang menjadi suami Reine nanti."
Sementara itu aku rasa pipiku mulai memanas.
"Nah kan merah." Tunjuk Ayssa pada kedua pipiku. "Dia pasti malu." Lanjutnya lagi.
Aku hanya mendelikkan mata dan mencubit tangannya. "Diam Ayssa!" Kataku berbisik.
Dia masih tertawa. Anak ini kalau penyakitnya kambuh, memang benar-benar menyebalkan. Sama seperti kakaknya.
"Ya sudah," sahut bibi. "Bibi sama paman mau pergi dulu ya."
Aku memasang raut cemberut. "Bibi mau ke mana lagi?"
Bibi menghampiriku. "Bibi mau konsultasi ke dokter kandungan."
"Bukannya waktu itu sudah?"
"Iya. Tapi bibi disuruh lagi ke sana."
"Ya sudah." Ujarku. "Hati-hati ya bi."
Bibi mengangguk. "Bibi tak akan lama kok. Untuk urusan makan atau cemilan, bibi sudah siapkan di kamarmu. Bibi tahu kalian pasti akan mengobrol di kamar kan?"
Ayssa tertawa geli, "iya bi. Bibi ini tahu saja."
"Pasti. Karena bibi selalu mendapati kalian keluar dari kamar."
Ayssa menyeringai malu sambil menggaruk-garukkan kepalanya. "Tapi, terima kasih banyak ya bi atas jamuannya."
"Iya. Tak masalah. Bibi tinggal ya. Kalian jaga diri di sini." Katanya sesaat sebelum mengelus kepala kami berdua dengan lembut.
Setelah melihat paman dan bibi pergi, aku segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Lalu menuju kamar dan mendapatinya Ayssa seperti sudah siap untuk bercerita.
Aku duduk di tepi kasur. Dia mendongakkan wajahnya lalu menunjukkan sebuah foto.
"Ini siapa?" Tanyaku.
"Aku tak tahu. Tapi dia telah banyak membantuku."
"Membantu apa?"
"Kemarin kan aku pergi beli cemilan ke minimarket depan rumah. Aku jalan kaki saja karena memang jaraknya lumayan dekat. Setelah pulang dari sana, keresek yang aku bawa tiba-tiba robek hingga makanan yang aku bawa jatuh berantakan. Ketika aku kelimpungan harus membawanya bagaimana, tiba-tiba dia datang dan menolongku lalu memasukan makanannya ke dalam tas kain."
"Benarkah?"
Dia mengiyakan.
"Wahh baik sekali pria itu. Lalu dari mana kamu dapat foto ini?"
"Dari dalam tas kain itu Rein. Sejak saat dia menolongku, aku hanya katakan terima kasih saja setelah itu pulang. Dan ketika aku membereskan makanan di rumah, foto ini tiba-tiba ada. Sepertinya dia lupa membawanya atau... Entahlah aku juga tak tahu."
"Iya ay. Mungkin dia lupa membawanya."
Ayssa manggut-manggut. "Tapi kamu tahu tidak?"
"Tidak. Memang apa?"
"Aku merasa terkesan dengan sikapnya yang begitu sopan."
"Oh ya?" Padahal baru pertama kali bertemu?"
"Yap." Dia seperti tengah mengingat kejadiannya. "Sikapnya seperti tulus tanpa pamrih."
"Tapi kamu tahu namanya?"
Dia mengendikkan bahu. "Aku terlalu malu untuk menanyakan itu. Dia juga tak banyak berbicara padaku. Setelah menolongku, dia lantas meminta izin pergi."
"Kamu tak usah cemas. Kalau takdir, kalian pasti akan dipertemukan lagi."
"Aamiin." Jawabnya. "Tapi kemarin aku juga kesal pada keadaan rumah."
"Kesal? Kesal kenapa?"
"Kamu tak memberi tahuku ya bahwa kak Hamzah pingsan dan dibawa ke rumah ini?"
Aku terhenyak. "Kamu tahu dari mana?"
"Ada seseorang yang berkata padaku dan melihat bibi membawa Hamzah kemari."
"Seseorang? Seseorang siapa? Aku tak mengerti."
"Sudahlah. Itu tak terlalu penting. Tapi benar kan kak Hamzah kemarin pingsan?"
Aku jawab sejujurnya. Karena percuma ditutupi juga, dia sudah mengetahuinya. "Iya, dia pingsan lalu bibi membawanya ke sini."
"Kenapa kamu tak memberitahuku?" Ayssa memasang wajah cemberut.
"Bukan seperti itu. Awalnya aku akan menelepon mu, tapi Hamzah mencegahnya."
"Lho? Kenapa?"
"Karena dia tak mau membuatmu khawatir."
Ayssa tiba-tiba terdiam sembari menatapku.
"Benar Ayssa, dia begitu menyayangimu. Buktinya, dia tak mau membuatmu khawatir."
"Tapi kak hamzah tak apa-apa kan?"
"Tidak. Dia tak mau memberitahumu hanya karena tak ingin melihatmu khawatir. Itu saja."
"Aku bisa merasakan itu Rein. Tapi aku kesal karena dia tak mau berkutik apa pun tentang perjodohan itu. Aku berusaha membujuknya untuk bilang ke papa. Tapi ia enggan."
"Mungkin kakakmu itu ingin kamu mencoba memikirkannya sendiri. Ini juga kan untuk kebaikan kamu ke depannya. Kamu yang akan menjalaninya, bukan?"
"Benar Rein." Ayssa berpikir sejenak, "tapi sebenarnya...."
"Sebenarnya apa?"
"Apa kamu tahu?"
"Tentang??"
"Sebenarnya kak Hamzah itu bukan kakak kandungku."
Aku terperanjat kaget mendengar Ayssa berkata seperti itu. "M-maksudmu?" Tanyaku mengulang dengan dalih ingin benar-benar mendengar apa yang Ayssa katakan adalah benar atau tidak.
"Benar Reine. Kak Hamzah itu bukan kakak kandungku."
Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku tanda tak percaya. "Ya Allah. Kamu sedang tak bercanda kan?"
Dia menggeleng cepat. "Tidak Rein. Semua yang kamu dengar itu benar."
"Lalu kalau dia bukan kakakmu? Dia siapa mu?"
"Dia kakak angkatku." Ayssa menghela napas lalu menjeda ucapannya. "Dulu, dua puluh dua tahun yang lalu," matanya seakan menerawang mengingat hal-hal yang telah terjadi. "Papa menemukan Kak Hamzah di depan rumah yang kala itu sudah berumur kurang lebih satu tahun. Karena tak ada yang mengaku itu anak siapa, sekaligus saat itu papa memang sedang ingin memiliki anak, papa lalu mengadopsinya. Dan entah sebuah keajaiban atau memang sudah takdir, tepat setelah mengadopsi kak Hamzah, dua tahun kemudian mama akhirnya mengandungku."
Aku masih tak percaya dengan apa yang Ayssa ucapkan.
"Papa tak tahu siapa kedua orang tua Kak Hamzah yang sebenarnya. Tapi ketika papa menemukannya, papa mendapati sebuah foto dua bayi kecil yang bertuliskan 'si jago'. Papa juga mendapati sepucuk surat yang berisikan salah satu alamat rumah sakit di Singapura dan segepok uang 100 ribuan. Selain itu, tak ada lagi hal yang papa temukan di balik bantal Kak Hamzah kecil."
"Untuk apa orang itu menuliskan alamat rumah sakit di Singapura?" Tanyaku semakin penasaran.
"Aku tak tahu. Tapi papa tetap menyimpan semua barang-barang itu beserta uangnya di kamarnya."
"Apa ayahmu tak penasaran lalu mencari tahu?"
"Saat itu penasaran. Namun setelah sekian lama mencari papa tak menemukan titik terang. Papa berpikir mungkin ini hanyalah alamat fiktif."
"Lalu? Setelah itu?" Aku terus saja menghujani Ayssa dengan banyak pertanyaan.
"Papa merawat kak Hamzah dan menyekolahkannya di jurusan kesehatan. Papa ingin kak Hamzah menjadi dokter. Awalnya kak Hamzah enggan, tapi papa bilang bahwa ketika besar nanti dia harus bisa merawat kembarannya yang konon sakit keras. Papa juga mendapat informasi itu dari sepucuk surat yang ia temukan. Dan akhirnya keinginan papa terpenuhi. Bahkan karena prestasinya yang sangat bagus, kak Hamzah lulus SMA di umurnya yang baru menginjak lima belas tahun. Dia juga ditawari beasiswa penuh untuk kuliah kedokteran di Singapura."
Sekilas Ayssa memandang wajahku yang tampak penasaran. "Entah sengaja atau memang sudah takdir, ketika kak Hamzah menjalani tugas akhirnya dari kampus, kak Hamzah ditugaskan di rumah sakit yang alamatnya sama dengan alamat yang telah dituliskan di sepucuk surat yang papa baca dulu. Awalnya kak Hamzah tak tahu ada apa sebenarnya di rumah sakit itu, tapi setelah beberapa tahun kemudian, kak Hamzah bertemu dengan kembarannya di sana."
"Apa kamu tahu siapa kembarannya itu?"
Ayssa menggeleng. "Aku tak pernah bertemu dengannya. Jadi aku tak tahu. Tapi kata kak Hamzah dia sudah pulang ke Indonesia. Maka dari itu kak Hamzah juga pulang ke Indonesia setelah sekian lama."
"Tapi kondisi kembarannya bagaimana saat ini? Apa dia sudah baik-baik saja?"
"Mungkin." Ujarnya. "Saat ini juga kak Hamzah sedang studi lagi untuk lebih bisa menambah pengetahuan dan pengalamannya. Dia ingin saudara kembarnya sehat."
"Apa kamu tak penasaran untuk menemui saudara kembarnya itu?"
"Justru itu Rein. Aku sangat penasaran. Tapi mungkin belum waktunya, karena kerap kali aku akan menemui kakak kembarnya kak Hamzah, selalu saja ada hal yang membuat rencana itu tak jadi."
Keadaan tiba-tiba hening. Aku perlahan mencerna apa yang Ayssa katakan tadi. Tampaknya permasalahan hidup Hamzah begitu banyak memunculkan teka-teki. Aku ingin lebih mengetahui kehidupannya bersama Alif nanti.
"Lalu apa yang membuatmu nyaman pada Hamzah?" Tanyaku kemudian.
"Dia seorang kakak yang sangat peduli pada siapapun. Tanpa terkecuali. Yaa meskipun aku memang bukan adik kandungnya, tapi dia selalu melindungi ku seperti layaknya seorang kakak lelaki melindungi adik perempuannya."
"Berarti sejak kecil kamu memang sudah dekat dengannya?"
"Iya Reine. Dan apa kamu tahu? Selama ini kak Hamzah belum pernah menyentuh tanganku. Walaupun kami serumah dan dekatnya seperti adik kakak, tapi dia tahu batasan bahwa kami sebenarnya tak lahir di orang tua yang sama."
"Ohh pantas saja saat kita menjemputnya di bandara kala itu, aku sedikit heran karena jarak kalian mengobrol tak terlalu dekat. Aku pikir mungkin memang sudah kebiasaan.'
"Kamu masih mengingatnya." Ucap Ayssa lirih dengan nada sedikit menggoda.
Aku mendelikkan mata. "Kan kamu sedang bercerita tentang Hamzah. Lagi pula kejadian itu belum terlalu lama jadi aku masih mengingatnya."
"Oke, oke. Baiklah." Katanya terkekeh, "cukup sulit meyakinkanmu Rein."
"Meyakinkan apa?"
Dia tersenyum. "T-tidak. Lupakan saja."
"Ah kamu ini."
"Bagaimana kelanjutanmu dengan Alif?" Sejurusnya Ayssa mengatakan itu.
"Alhamdulillah, baik." Jawabku lalu menundukkan kepala.
"Apa apa?" Suara Ayssa terdengar lembut, seperti tahu masalah apa yang sedang aku rasakan.
Sementara itu, aku berusaha menutupinya. "Tidak. Tidak ada."
"Apa... Dia menyakitimu?"
Aku menggeleng cepat. "Tidak! Bukan itu."
"Lalu?"
"Perasaanku begitu kalut, Ayssa. Sudah beberapa hari ini aku selalu bermimpi buruk tentang Alif. Dan kamu tahu? Mimpi buruk itu selalu berakhir dengan kematian Alif."
"Benarkah?" Sahutnya.
"Benar Ayssa. Aku begitu takut. Apalagi kondisinya saat ini yang jarang ada di kontrakan. Dia selalu pergi tapi aku tak tahu dia pergi ke mana."
"Apa setelah dia kembali, kamu melihat ada sesuatu yang aneh di tubuhnya?"
"Maksud aneh?" Aku memperjelas pertanyaannya.
"Ya barang kali saja ada raut yang seperti ia tutupi kah, atau mungkin ada luka kah, atau mungkin ada lebam kah? Ada?"
Aku mencoba mengingatnya. "Kalau luka seperti itu aku tak tahu, tapi kalau raut aku bisa melihatnya. Dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Sikapnya makin ke sini makin membuatku penasaran."
"Oh ya? Itu kesempatan Rein. Kenapa kamu tak menanyakannya?"
"Aku pernah menanyakan itu. Tapi katanya tak ada apa-apa."
"Apa kamu yakin dengan jawabannya?" Ujarnya lagi.
Aku mengendikkan bahu. "Tapi aku berusaha berpikir positif ay. Mungkin dia sedang ingin sendiri. Aku di sini hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja dengan semua masalah yang sedang ia hadapi, kalau-kalau memang sedang dirundung masalah. Karena aku yakin, dia suatu saat pasti akan bercerita juga padaku. Jadi aku tak terlalu memikirkannya."
"Rein, aku suka pemikiranmu yang seperti itu. Tidak terlalu terburu-buru dalam menanggapi sebuah permasalahan. Tapi...."
"Oh iya Ayssa!" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu, "saat itu aku pernah bersamanya di taman. Dia mengobati luka di telapak tanganku yang ini," kataku sambil menunjukkannya. "Dan secara tak sengaja aku melihat pelipisnya hijau lebam."
"Benarkah? Karena apa?"
"Hanya alasan biasa tapi, sudahlah. Tadi kamu mau bilang apa?" Tanyaku. "Maaf ya aku menyelanya tadi. Habisnya aku suka lupa."
"Tak apa." Ayssa tertawa. "Apa kamu tak penasaran untuk mencari tahu Alif pergi ke mana?"
"Ada sekelibat rasa seperti itu bahkan ingin membuntutinya ketika ia pergi ay."
"Itu bagus Rein!"
"Tapi aku tak mau."
"Kenapa?" Lugasnya.
"Aku tak mau. Aku tak mau terlalu mencurigainya seperti itu. Kalaupun dia punya hal yang disembunyikan, suatu saat nanti dia pasti akan memberitahukannya padaku."
"Huft." Ayssa menghela napas.
"Ada apa?"
"Aku merasa kalian berdua itu cocok Rein. Satu pemikiran, satu tujuan, juga sikapnya yang sama-sama dewasa. Sama seperti kak Hamzah. Andai saja aku tak telat saat itu mengenalkanmu, mungkin saat ini kamu akan bersamanya."
"Eh!" Aku terkesiap mendengar nya mengatakan hal itu.
Dia tertawa geli sambil mencubit pipiku. "Tidak Rein. Aku hanya bercanda. Maafkan aku ya." Katanya lalu memegang kedua telinganya.
"Kamu tak bersalah jadi tak usah meminta maaf."
"Baik kalau seperti itu." Ucapnya sambil melirik makanan dan jus yang ada di meja kamar, "eh Rein. Aku minum ya jusnya."
"Eh iya." Aku menepuk jidatku. "Karena terlalu asik mengobrol, aku sampai lupa tak menawarkan mu minum. Maaf ya."
"Tak apa Rein. Kesalahan kita satu sama."
Aku tertawa. "Kamu ini."
Sudah mulai azan Zuhur, cuaca hari ini mulai mendung. Sepertinya bulan-bulan ini Bogor akan memasuki musim hujan. Huft, siap-siap saja baju yang dijemur sulit kering. Untung saja rumah bibi agak tinggi jadi kalau hujan besar airnya tak pernah masuk ke rumah.
Aku juga menutup jendela-jendela yang ada di ruang tamu dan menutup tirainya. Ayssa juga membantuku. Dia memang baik dan selalu saja membantu tanpa aku suruh. Tapi kadang kalau sifat jailnya sedang kambuh, sekali lagi dia benar-benar menyebalkan.
Bibi belum juga sampai. Aku mengirim pesan tak dibalas, di telepon pun tak di angkat. Ayssa pikir mungkin bibi sedang di jalan menuju pulang. Dan aku pun mengiyakannya.
Sementara itu, Ayssa mulai bersiap dan memesan taksi online lewat aplikasi. Ketika aku bertanya kenapa dia tak meminta Hamzah kemari, dia menjawab enggan. Katanya terlalu merepotkan bagi Hamzah yang memang sedang sibuk beberapa hari ini. Lagi pula katanya, Hamzah tak pernah menolak permintaan Ayssa sekalipun dia sedang sibuk. Bahkan Hamzah sampai rela cuti hanya untuk menemani Ayssa bermain mengelilingi kota Bogor.
Dulu katanya, Ayssa sendiri terlalu penuntut pada Hamzah. Antarkan ini, antarkan itu. Kita kesana, atau kita kesini. Tapi semenjak Hamzah pulang dari Singapura, Ayssa mulai mengerti bahwa urusan Hamzah bukan hanya mengantarkannya main ke suatu tempat saja.
Apalagi tugas yang diembannya saat ini terbilang berat; menjadi perantara menolong orang lain.
Mendengar Ayssa mengatakan tentang Hamzah sedari tadi, aku jadi ingat sapu tangan milik Hamzah yang tadi aku temukan di sofa pagi hari.
Aku segera menuju ke kamar dan membawa sapu tangan itu.
"Kakakmu terlalu ceroboh Ayssa. Sapu tangannya tertinggal di sini." Kataku sambil memberikannya pada Ayssa.
"Oh iya ini milik kakak. Kamu nemu ini di mana?"
"Di situ," tunjukku di lantai dekat sofa. "Aku melihatnya tergeletak di sana. Mungkin ketika kakakmu berdiri, sapu tangannya terjatuh."
"Oh iya. Terima kasih ya." Ujarnya sambil menyelipkan sapu tangan putih itu pada tas kecilnya. "Eh tapi dari mana kamu tahu kalau ini milik kakak?"
"Di sapu tangan itu tertulis inisial H. Aku sudah yakin itu pasti milik Hamzah."
"Benar juga. Hm, untung kamu menemukannya. Karena setahuku dia tak pernah lepas membawa sapu tangan."
"Benarkah? Di jaman yang sudah modern ini, dia masih membawanya?"
"Iya. Tak tahu aku juga kegunaannya untuk apa."
Awan semakin menghitam. Sementara mobil yang di pesan Ayssa belum saja sampai.
"Eh Rein, aku baru ingat."
"Ingat apa?"
"Kamu kan seumuran dengan Kak Hamzah?"
Aku mengangguk.
"Tapi sudah sejak lama aku tak memanggilmu kakak. Maaf ya aku sudah tak sopan. Aku juga baru tahu kemarin dari kak Hamzah. Baiklah, mulai hari ini aku akan memanggilmu kakak. Kakak Reine."
Seketika aku tertawa mendengar dia memanggilku kakak.
"Eh, kok ketawa?" Katanya heran.
"Lucu saja mendengarmu memanggilku kakak. Rasanya aneh."
"Maafkan aku." Dia memegang kedua telinganya.
"Hahaha. Tak usah." Aku melepaskan tangannya. "Tak usah panggil aku kakak. Panggil saja Reine."
"Tapi...."
"Reine saja ya, kita kan dua sejoli." Kataku sambil terkekeh.
Dia tersenyum lalu mengiyakannya.
Selang beberapa menit, sebuah mobil terparkir di depan rumah. Ayssa segera beranjak ke luar dan meminta pamit dariku. Setelah itu, mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Aku menikmati angin yang berdesir di sini. Gemericik hujan yang jatuh ke tanah memberi sensasi aroma yang berbeda, yang sangat aku nantikan tatkala hujan akan segera turun.
Sekelibat bayangan tentang Alif hinggap di kepalaku. Aku segera masuk ke rumah dan memeriksa ponsel kalau-kalau saja dia mengirimiku sebuah pesan.