"Katakan! Apa yang harus kita lakukan?"
Baru saja pantat Christ mendarat pada kursi kayu dirumah sederhana ini, namun mulutnya lebih cepat bertindak dibanding otaknya. Karna kini rasanya ia sudah menemui jalan buntu dan tak ada pilihan lain. Bagaimanan tidak, sosok anak muda dihadapannya ini mengatakan hal yang membuat keringatnya tiba-tiba merembas melalui pori-porinya dengan begitu deras.
Mereka akan kalah jika nekat menyerang desa itu, dan ada kemungkinan Rose tak akan selamat, bahkan Morgan mengatakan jika Rose akan meninggal dengan cara yang tragis.
Kondisi saat ini menggambarkan dilema yang luar biasa, salahkan saja Christ yang tanpa sadar begantung pada ucapan Morgan? Lelaki yang tak banyak bicara, namun sekalinya bicara membuatnya berfikir keras. Karena nama hope bukan selalu berarti impian maupun harapan, bagi Christ kadang berarti kekhawatiran, walau nyatanya tak ada alasan untuk Christ mengartikannya begitu.
"Tunggu hingga Jeon sembuh,"
Christ mengepalkan tangannya erat, giginya terkatup rapat, matanya menatap tajam anak muda yang sialnya tak memiliki sopan santun dan bahkan sama sekali tak terlihat segan padanya. Tapi entah mengapa Christ kadang yang mengunjunginya, bukankah saat ini Christ yang terlihat aneh?
"Jadi cepatlah! Selamatkan Jeon sialan itu! Kau tidak sedang mempermainkanku kan? Dia hanya bocah lemah yang terperangkap kutukan, bisa apa ia untuk menyelamatkan anakku?" geram Christ kesal, "Kenapa pula si sialan itu membawa-bawa anakku hah?!"
Rasanya emosi Christ sangat berat ia tahan lagi, cukup sekali ia merasakan sakitnya kehilangan orang yang ia sayangi, cukup istrinya saja yang pergi dari dunia ini! Jangan sampai putrinya pun pergi, tak akan! Tak akan pernah Christ biarkan. Bahkan jika ia bisa menarungi Malaikat maut, ia akan melakukannya, hanya agar putrinya bisa selamat.
"Ini sudah digariskan, aku sudah melihatnya sejak dulu, aku melihatnya dari aura Jeon, mereka bedua sudah ditakdirkan sejak kecil."
Tentu Christ mengernyit heran, digariskan? Takdir?
Takdir apa yang membawa putrinya mendapat kutukan? Yang ada adalah Jeon sialan itu mencari perkara dan menyeret putrinya dalam kutukan! Lagipula ia tak rela jika putrinya yang cantik harus disandingkan dengan lelaki selemah Jeon. Ia mau Rose mendapatkan pasangan yang dapat memimpin desa dengan baik. Namun, perlahan gerutuan Christ terhenti, Jeon bahkan bisa memimpin desa dengan baik, ia mengakuinya. Tapi... masa bodoh dengan bocah itu!
"Jadi apa yang harus dilakukan untuk melunturkan kutukan itu?"
Morgan yang sedari tadi memilah rempah keringnya menoleh pelahan kearah Christ, entah apakah kesibukannya hanya memilah rempah, Morgan masih saja memasukkan rempah-rempah kering dari nampan menuju karung besar dihadapannya. Lelaki itu tampak tenang ditengah badai khawatir hati Christ, dan itu sangat-sangat membuat Christ kesal bukan main.
"Tak terlihat," Menggelengkan kepalanya dan kembali fokus pada rempahnya.
"Tak terlihat?" Ulang Christ.
Christ memang bukanlah pemuja hal mistis berupa penerawangan, ia tak terlalu memercayai hal-hal yang sebenarnya susah dinalar itu. Namun satu yang Christ percayai, ketika seorang cenayang tak melihat apapun dimasa depan, maka hanya ada satu arti, hidup orang yang ia terawang mungkin tak akan sejauh itu, tak sejauh terawangan dari cenayang itu.
"Maksudmu Rose meninggal?! Atau? Jeon?!"
Mata Christ membelalak, khayalnya memikirkan segala hal yang menyintas bersamaan dengan ucapannya. Berakhirlah Christ berkelana memikirkan hal-hal aneh tanpa kendali, sosok Christ masihlah memiliki kelemahan, yaitu putrinya. Ia boleh garang dan tak memiliki belas kasihan saat berperang, namun jika menyangkut putrinya, ia mendadak lemah. Otaknya seketika membeku saat memikirkan hal buruk tentang putrinya.
"Tidak! Rose tak akan pergi!!!"
Morgan menoleh dan menatap tajam Christ begitu lelaki itu berteriak kencang, walau tak ada ekspresi kaget yang ia tunjukkan, namun jelas jika Morgan merasa terganggu dengan teriakan itu.
"Apa?" Ekspresi wajah Christ tiba-tiba melunak begitu menatap mata Morgan yang kesal.
Tapi untuk apa Christ melunak? Ia sedang kesal sekarang!
"Tenanglah ketua.. jangan berlebihan, tak baik." tegas Morgan dengan penuh penekanan.
Christ mengedip-ngedipkan matanya lalu mengangguk.
"Oh, oke!" Ucapnya mantap.
Matanya mengikuti pergerakan Morgan yang masuk kedalam kamar, perlahan kepala Christ ia miringkan ke kanan dan ke kiri dengan mulut yang berdecak. Bagimana ia bisa menurut begitu saja dengan Morgan? Bukankah harusnya ia mendebat bocah kurang ajar itu?
"Apa dia bisa menghipnotis?"
Setelah bergelut dengan pikirannya yang merasakan keanehan yang menyebalkan, Christ segera beranjak dari duduknya.
Sebelum benar-benar pergi Christ kembali menoleh pada pintu kamar Morgan, memicing kesal dan berkomat-kamit mengucapkan umpatan. Setelahnya ia bergegas pergi dari rumah gubuk itu.
Christ tak mau dihipnotis lagi, bahaya jika Morgan meminta macam-macam, apalagi kalau sampai meminta anaknya, hahh! No way!
Sepanjang jalan Christ memikirkan mengapa ia menurut saja? Padahal tak pernah ada yang berani padanya.
Ini pasti karena kekuatan Morgan!
"Lain kali aku harus berhati-hati, dia adalah cenayang yang berbahaya!"
⚔⚔
Vante bersiul dengan sumringah, wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi yang menggambarkan rasa sumringah itu, namun dari seringaian yang tak henti ia sunggingkan, menunjukkan betapa lelaki bernama Vante itu bahagia. Begitulah cara lelaki itu mengekspresikan kebahagiaannya.
"Sudah sadar?"
Lelaki yang menerima pertanyaan Vante menggeleng, dan kening Vante berkernyit dalam, seraya melangkah menuju gubuk tua dihadapannya.
Matanya menelisik menatap wanita yang terikat dengan tali, kedua tangannya diikat dengan dua tali yang melingkar pada tiang, sedangkan kakinya masih memiliki kebebasan. Kepala wanita itu tertunduk, dan perlahan Vante mendekat. Ia tak puas hanya menatap dari kejauhan, sedang wajah yang ingin ia lihat tak dapat ia tatap karena tertutup oleh rambut wanita itu.
"Bangunlah, hey," bisik Vante seraya mencengkeram rahang wanita itu dan membuat wajah itu berhadapan dengannya.
Rose.
Rose masih bergeming, sedangkan Vante kini mulai menyeringai, entah apa yang lelaki itu pikirkan, dari seringaiannya seakan menyiratkan jika bukan hal baiklah yang sedang ia pikirkan.
"Kau tak bisa mengelabuhiku, buka matamu atau kau akan merasakan paksaan seperti dihutan waktu itu." bisik Vante ditelinga Rose.
Benar saja, Rose membuka matanya dan menyapa Vante dengan sorot tajamnya, tatapan Rose begitu bengis, namun Vante tak memiliki rasa takut, lelaki itu bahkan perlahan membelai pipi wanita itu.
"Berhenti sialan!" Geram Rose seraya menjauhkan wajahnya, menggeliat kesal.
"Akkkkhhhhhhhh!!!!"
"Bangsat!!"
Teriak Vante penuh kesakitan, badan Vante terkapar dilantai dengan tangan yang menangkup selangkangannya, double kill! Setelah Rose menggigit tangannya, kaki Rose menendang aset Vante dengan luar biasa kencang.
Jangan lupakan jika Rose sudahlah handal dalam bela diri, dan tak mungkin ia akan lembek dengan lelaki yang bahkan kini sangat ia benci.
Vante masih menggeram kesakitan, berguling dilantai dengan umpatan-umpatan kasar yang terus keluar dari mulutnya.
"Rasakan itu sialan!" Ejek Rose dengan seringaiannya, "Bukankah aku sudah memperingatimu? Jangan berani-berani kau menyentuhku!" Peringat Rose dengan mata menatap Vante tajam.
Sudah 2 hari berlalu semenjak Rose diculik dengan memalukannya. Dalam kamusnya, tak pernah ia memikirkan bahwa ia akan diculik, Rose merasa ia tak akan selemah itu hingga akan diculik oleh bandit kelas teri seperti Vante. Sungguh memalukan!
Tapi nyatanya? Rose bahkan sudah terikat sejak hari pertamanya sampai didesa ini, semua karena Rose yang menolak mentah-mentah saat Vante akan memakainya, mereka sempat bertarung sengit sebelum Rose dilumpuhkan oleh tiga orang lain, berakhirlah ia menderita seperti ini. Tapi tak apa, ini lebih baik daripada harus melayani niat kotor dari lelaki tak berotak itu! Ia benar-benar tak rela dan tak sudi. Segala macam perlawanan ia layangkan, menggigit, menendang, menggeliat, mencakar bahkan meludah.
Mungkin jika bisa dihitung sudah tak terkira Rose mencakar Vante, rasanya ia ingin menambah luka sayat diwajah sialan itu, dan jika boleh akan Rose ukir banyak-banyak cakaran diwajah itu tanpa celah.
Namun sialnya kedua tangannya berakhir diikat didalam gubuk ini, dan lagi dengan posisi berdiri. Lelah sebenarnya sangat amat Rose rasakan, namun tujuannya saat ini adalah kabur, ia harus lepas dan kabur dari desa terkutuk ini!
"Akhhhhh!" rintih Rose saat Vante mendekat kearahnya dengan sebilah pisau yang ditekankan pada lehernya.
Rasa perih menyeruak menyapa lehernya begitu besi pipih nan tajam itu menyentuh lehernya. Rose hanya meringis menahan sakit, toh rasa sakit yang ia rasakan dua hari ini tak kalah menyakitkannya dari pisau ini. Badan Rose bahkan rasanya sudah penuh lebam karena pukulan, saat ini penampakannya terlihat kacau, bahkan darah yang keluar dari badannya tak sempat ia bersihkan, dan berakhir mengering karena waktu.
"Jangan kira karena aku menyukaimu kau bisa berbuat seenakmu sialan!"
"Detik ini juga aku bisa menghabisimu, kau mau mati hah?" Geram Vante tepat dihadapan Rose, bahkan jarak mereka begitu amat dekat.
Rose memejamkan matanya rapat, tak boleh, ini tak boleh terjadi, ia tak boleh gegabah dan berakhir mati sia-sia.
"Kau mau membunuhku?" Rose tersenyum, dan membuat Vante menyeringi.
"Kau tak akan membunuhku," lirih Rose dengan senyum lebarnya, senyumnya bukanlah senyum bahagia, melainkan senyum kebencian yang begitu mengerikan.
"Oke..."
Vante menjauhkan diri dan menatap Rose menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Menaklukkanmu memang susah, kau bahkan tak akan merendah untuk menipuku, jadi mari kita lihat, sampai kapan kau akan bertahan!"
Lelaki itu tertawa lantang, terus-terusan tertawa penuh kemenangan, bagaimana tidak? Musuhnya Jeon sudah ia habisi, dan kekasih musuhnya kini menjadi miliknya, tak lama lagi ia akan memiliki wanita ini seutuhnya.
"Kau tahu cara mainnya sayang, katakan saja kau menyerah dan mau menjadi milikku, dan kau akan bebas."
"Tak sudi!" Geram Rose seraya meludah jijik.
Sedangkan Vante menggedikkan kedua bahunya dan kembali tertawa lantang, setelah mengerlingkan matanya lelaki itu beranjak keluar dari gubuk. Namun langkahnya terhenti, Vante menolehkan wajahnya tanpa berbalik.
"Sekedar informasi, pacarmu itu sudah habis, tamat." ucap Vante lalu kembali tertawa.
Rose yang mendengarnya pun melotot tak percaya, Jeon? Dia dihabisi?
"Tidak, tidak... Jeon!"
Bodoh! Ia merasa begitu bodoh!
Atau bahkan naif? Rose menyerahkan dirinya suka rela demi keselamatan Jeon, tapi... lelaki itu bahkan dihabisi?
Badan Rose bergetar menahan tangis, mulutnya bahkan sudah siap untuk berteriak untuk meluapkan tangis dan kekesalannya, namun Rose hanya terisak. Bohong jika ia tak percaya dengan ucapan lelaki itu, bohong jika Rose memiliki harapan semu bahwa Jeon akan baik-baik saja.
Lelaki itu bahkan tak segan menyiksa Rose, lalu bukankah mudah untuk melenyapkan Jeon yang lemah itu? Ini karena kutukan itu! Ini karena kutukan sialan yang bersarang pada nasib Jeon!
Rose terus menangis kesal, ia amat kesal, rasanya ia tak lagi memiliki belas kasihan pada desa ini! Jika dulu Rose sempat menyesal telah menjajah, mencuri, bahkan melukai orang lain di desa ini, kini ia tak lagi menyesal!
Bukankah disini yang terluka dan teraniaya adalah dirinya dan Jeon? Karena kutukan itu mereka menderita! Bahkan tetua itu hanya menderita saat ajalnya menjemput, sedangkan Rose dan Jeon? Mereka menderita entah sampai kapan! Bisa saja sampai mereka menjemput ajal yang tak tahu kapan datangnya.
Namun bukankah ajal Jeon sudah dijemput? Jadi, kini hanya Rose yang menderita dalam rasa bersalah, Rose yang menderita dalam kesedihan karena kepergian Jeon!
"Keparat sialan!!!" Teriak Rose frustasi.
"Jeon....." lirihnya dengan tangis sesegukan.
Rose terus menangis, meluapkan tangisan yang selama ini ia bendung. Benar, tujuan Rose bukanlah kabur, tujuannya dari awal saat diculik adalah mati.
Jeon sudah mendahuluinya, dan kini Rose hanya perlu melaksanakan tujuannya, mati..
Mati....
"MATI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"