Chereads / The Curse of Warlord / Chapter 14 - Air Mata Rose

Chapter 14 - Air Mata Rose

"Ya Dewa!"

Rose melebarkan matanya saat secara tak sengaja menangkap sosok yang kini menghentikan langkah kaki terseok itu dan berdiri di hadapannya. Dilihatnya wajah itu dengan seksama, terdapat beberapa luka memar, sudut bibirnya membekas darah yang mulai mengering.

Perlahan tapi pasti air mata Rose berlinang dengan ekspesi yang belum berubah, ekspresi keterkejutan dengan tatapan kosong, dan begitu sosok itu mendekat untuk mengusap pipinnya, tangis Rose pecah, ia menangis dengan kencangnya.

Sepertinya ia sangat merindukan Jeon, hingga kini lelaki itu hadir kedalam imajinasinya. Sayang kedua tangannya terikat, karena jika tidak, dapat dipastikan Rose akan melayangkan pukulan pada sosok imajinasi lelaki dihadapannya. Pukulan kekesalan karena sejauh ini membuatnya merasakan kekhawatiran tak berujung. Rose takut lelaki ini tersakiti, Rose takut lelaki ini tak selamat, bahkan meninggalkannya dengan rasa penyesalan yang bahkan belum sempat ia ungkapkan.

"Kau..." Rose menormalkan tangis sesegukan yang membuat suaranya terasa susah untuk dilontarkan.

Lelaki itu kembali mengusap pipinya, terasa sangat nyata hingga Rose tak sanggup lagi menyebutnya imajinasi belaka.

Air matanya seakan tak henti terus turun, suaranya bahkan terkubur entah di mana, hanya menyisakan isakan yang entah mengapa malah terdengar begitu nyaring.

"Iya, aku di sini Rose, aku menjemputmu." Lirih Jeon seraya mengusap puncuk kepala Rose.

Berkali-kali Rose merasakan kecupan pada kepalanya, kecupan yang menegaskan bahwa kelembutan dan sensasi hangat ini bukanlah mimpi, dia benar-benar Jeon, dia benar-benar di sini untuk menjemputnya.

"T-tolong...." Rose menatap mata Jeon begitu lelaki itu melepaskan Rose dari dekapannya, "Tolong lepaskan tanganku."

Jeon tersenyum iba, di tatap pergelangan tangan Rose yang memerah, bahkan luka memar mengelilingi pergelangan tangannya, membentuk lingkaran tali tambang yang mengikat tangan Rose.

Badan Rose terkulai begitu satu ikatan tangannya terlepas, rasanya ia begitu lemas, 3 hari lamanya ia di sekap dan tak memakan apapun. Bukan karena sosok Vante yang kejam padanya, namun Rose menolak, ia memilih akan mati kelaparan saja. Namun Dewa berkehendak lain, ia membawa Jeon padanya, ia membawa nyawanya kembali pada raga Rose.

Kedua tangan Rose meraba punggung Jeon begitu kedua ikatan tangannya terlepas, di dekap erat badan Jeon tanpa mau dipisahkan. Sedang Jeon hanya menepuk-nepuk punggung Rose saat merasakan punggung itu bergetar hebat.

"Semua baik-baik saja Rose, aku di sini,"

Rose segera menjauhkan diri begitu ia menyadari sesuatu, di usap air matanya dengan kasar, ini bukan saatnya ia menangis, ia bukanlah sosok lemah yang karena hal kecil akan membuatnya putus harapan!

"Di mana yang lain?!"

Belum sempat mulut Jeon berucap, pintu terbuka dengan cukup kencang dan sosok di ujung sana menatap keduanya dengan nafas pendek yang ia tarik ulur dengan kepayahan.

"Sekarang, tak ada waktu!"

Rose mengernyit tak paham, kemudian menatap Jeon yang kini perlahan menoleh kearahnya.

"Apa yang.. dia siapa?"

Jeon menangkup kedua pipi Rose, mengarahkan tatapan Rose untuk fokus padanya.

"Rose.. kita tak ada waktu, ayahmu dan yang lain sedang dalam keadaan mendesak, eumm.." Jeon mendadak tergagap saat Rose menatapnya penuh tanya.

"Eummm kita.."

"Kita menyusul? Semua musuh sudah kalah kan?"

Masih saja Jeon menatap Rose gelisah, sedang Rose sudah di buat kesal akan sikap Jeon yang terlihat menyebalkan karena tak kunjung bicara. Baru saja Rose bahagia melihat sosok Jeon yang masuk dan melepas ikatannya, baru saja juga Rose memeluk lelaki yang kesehariannya selalu membuatnya kesal karena kata-kata vulgarnya, karena kesialan yang membuat mereka selalu terhubung dengan hal vulgar.

"Tunggu..." Rose mengedipakan matanya berkali-kali, entah mengapa kata 'vulgar' menyadarkannya akan sesuatu.

"Kau butuh aku?"

Perlahan Jeon mengangguk dengan ringisan canggung.

Rasanya ini adalah hal tercanggung untuk Rose, jika biasanya mereka melakukan hal itu dengan entengnya dan bahkan tak terganggu akan apapun, menagapa kini rasanya Rose malu? Dan lihatlah telinga Jeon yang kini sudah memerah, bersamaan dengan lelaki itu menjauhkan kedua tangannya dari pipi Rose.

"Hello? Apakah kalian akan melakukannya atau tidak?"

Rose dan Jeon menoleh serempak kearah pintu, kembali serempak mengangguk. Setelahnya pintu tertutup dan kecanggungan kembali menyelimuti keduanya.

"Ini demi semuanya, ayo lakuakan dengan cepat."

"Ah iya! Demi semuanya." Rose meringis kikuk dan perlahan membalikkan badannya, melepas satu persatu kancing bajunya.

Begitupun Jeon, lelaki itu mengikuti Rose dengan berbalik melepas satu persatu baju perangnya. Keduanya saling memunggungi, dengan tangan yang masih melucuti kain yang menutupi badan keduanya.

Tangan Jeon terulur menyentuh dadanya, di balik sana jantungnya berdetak dengan cepat, namun otaknya memutar, mencari tahu, apa yang membuatnya begitu resah?

"Ehhhmm."

Daheman rose berhasil mengembalikan kesadaran Jeon, lelaki itu dengan reflek berbalik, dan sialnya sosok di hadapannya kini sudah siap, siap untuk menjalani ritual mereka seperti biasanya. Tapi mengapa ritual kali ini terasa sangat mendebarkan?

"Panas! Di sini sangat gerah!" Batin Jeon seraya mengusap bulir keringat dikeningnya.

Mata lelaki itu melotot, lalu kepalanya menunduk, melihat sosok di bawah sana. Setelahnya Jeon mengusap dadanya dengan kelegaan, untunglah 'dia' terlihat siap, padahal Jeon sempat takut jika ia tak dapat berreaksi, pemikiran gila memang!

Tapi bagaimana Jeon tidak berfikir demikian? Ia bahkan merasa gugup hanya karena akan melakukan ritualnya dengan Rose, tentu Jeon takut jika dia kini menjadi lelaki lemah, loyo, tak berdaya, yang tak bisa bangun oleh wanita.

"Apa yang kamu lihat?"

Jeon menaikkan tatapannya menatap Rose, wanita itu menatapnya penuh tanya, namun Jeon bertekat kuat, sekuat tenaga yang akan ia tuai dari Rose. Perlahan ia menipiskan jarak di antara keduanya, meraih bibir Rose dengan mata terpejam, bukan karena ia lemah, namun ingin merasakannya lebih intim dengan menduga-duga reaksi Rose saat Jeon menciumnya.

Semua berjalan seperti seharusnya, dengan Rose yang menggeram sebagai akhir dari kegiatan mereka. Bersamaan dengan air matanya yang meluruh melalui sela sudut matanya.

Air matanya terus mengalir dan kian deras mengiringi kegiatan keduanya, Rose tak henti-hentinya menitikan air mata, bahkan saat kegiatan keduanya berakhir, Rose masih menangis, walau berkali-kali ia mengusapnya.

"Aku akan kembali nanti, aku harus membantu mereka."

Rose membalik badannya memunggungi Jeon. Sedang Jeon sudah kembali mengenakan pakaiannya lengkap, sebelum Jeon beranjak, ia menyempatkan diri menengok kearah Rose, wanita itu masih tak bergerak.

Mungkin lelah, begitulah pikiran Jeon.

"Aku akan menjemputmu nanti, kita akan pulang bersama."

Rose masih bergeming, dan karena rasa khawatir Jeon pada pasukan dan kepala suku, lelaki itu segera bergegas pergi meninggalkan Rose yang ternyata masih menangis. Wanita itu masih menangis dalam diam, meringkuk dengan kedua lutut yang ia dekap erat.

######

Jeon segera berlari menyisiri puluhan manusia yang masih saling beradu dengan senjata masing-masing. Badannya membungkuk menghindari pedang yang di arahkan padanya, dan tangannya meninju telak sosok musuh tepat pada ulu hatinya. Musuhnya itu menggerang kesakitan dengan badan yang kerkulai di tanah, dan secepat kilat Jeon meraih pedang yang tadi sempat hampir menebasnya, kini ia alihkan untuk menebas sang empunya.

Geraka Jeon gesit, kekuatannya kini telah kembali, dan seakan seringan bulu, badannya ia gerakkan dengan selaras menepis dan menyerang sosok tak berikat kuning, tanpa terkecuali ia habisi. Di usap darah pada sudut bibir Jeon, wajahnya sempat terpukul tadi saat ia di serang oleh 5 orang sekaligus, dan diludahkan darah yang hampir tertelan itu.

Seakan tak memiliki rasa lelah, Jeon kembali berlari melewati gerbang, di ikuti oleh sisa dari regu berikat kuning yang masih selamat, bisa di katakan selamat karena kedatangan Jeon yang sebenarnya tergolong telat. Jeon bahkan sudah tak melihat Josh ataupun Jimmie, pasti mereka sudah melakukan plan C.

Ya, Christ memang tak memikirkan plan B, namun sang ketua suku sudah merancang plan C dan D. Plan D adalah Jeon yang datang dengan kekuatannya, dan plan C adalah..

Sosok Vante kini sedang meringis dengan anak panah yang menancap di bahunya, Jeon yakin jika anak panah Jimmie sudah meleset, harusnya lelaki itu mengarahkan anak panah pada dada kiri Vante, namun dari mata tajam Jeon, anak panah itu meleset, benar-benar meleset. Terbukti oleh Vante yang masih kuat berdiri tertatih menuruni singgasananya.

Jeon mengalihkan pandangannya menatap lahan luas beralas tanah lapang yang mulai riuh karena pertarungan. Tentu Jeon datang tak tepat waktu, Christ dan pasukannya sudah di serang oleh pasukan Vante, lebih tepatnya di keroyok oleh segerombol manusia yang dua, bahkan tiga kali lebih banyak dari jumlah pasukan yang dikomandai Christ.

"Jim! Kejar dia!" Teriak Jeon kearah sang pengeksekusi plan C.

Jimmie mengangguk, dan setelahnya Jeon ikut berbaur dalam pertarungan gerombolan besar di hadapannya. Manusia pertama yang Jeon lindungi adalah Christ, walaupun lelaki itu terus berteriak "Cari mangsa lain!" Namun Jeon tetap mengiringi ketua suku.

Dari lengan Christ yang berwarna merah dengan sayatan panjangnya, Jeon yakin betul jika Christ akan terancam jika tak dilindungi. Benar saja ucapannya, baru saja Jeon membatin, Christ sudah hampir memindahkan letak kepalanya dengan menjatuhkannya ketanah.

Hampir saja Christ akan terkena tebasan pedang kalau saja Jeon tidak segera menghalaunya. Bahkan Christ melotot kaget saat Jeon menolongnya.

"Temui Rose di gubuk sayap timur, dekat hutan." seru Jeon setelah menyayatkan pedangnya pada perut lawannya.

Christ mengangguk, lalu menyerahkan pedangnya pada Jeon. Tentu saja Jeon tak segera menerimanya, hingga matanya menatap ukiran nama Rose di badan pedang itu.

"Lumuri pedang ini oleh darah musuh, bukan darah warga!"

Jeon meraih kedua pedang Rose dan mengangguk mantap. Setelahnya Christ berlari menjauh meninggalkan Jeon. Christ masihlah gesit dan kuat, walau usia semakin mengikisnya, bahkan Christ menyempatkan diri untuk mencuri pedang dari lawan di sela perjalanannya menuju putrinya Rose.

Jeon yang menatap aksi Christ mencuri pedangpun menyunggingkan senyumnya. Akhirnya kini ia mampu tersenyum lebar, matanya mengelilingi puluhan pasang orang yang masih bertarung. Jeon merindukan rasa ini, rasa percaya dirinya dimedan peperangan, dan Jeon merindukan kemenangan, ia harus pulang dengan kemenangan hari ini!

"Akhhhhhhhh!" Jeon meringis kesakitan saat rasa perih menjalari lengan kanannya.

Ia yakin ini adalah perih dari sayatan benda tajam, dan saat di sentuh lengannya lah yang terasa perih, cairan kental berwarna merah memenuhi telapak tangan Jeon. Ditolehkan wajahnya menatap belakang, dan betapa terkejutnya Jeon saat sosok dihadapannya yang menodongkan pedang berbalut darah adalah seorang wanita.

"Apa yang kau...." rasanya tak dapat lagi Jeon untuk berkata-kata.

Dihadapannya adalah sosok Sooya, sosok yang tadi sempat membantunya menemukan Rose saat Jeon mencari keberadaannya. Tapi mengapa kini Sooya menodongkan pedang padanya? Namun Jeon yakin, Sooya tidaklah berniat membunuhnya, buktinya ia hanya melukai lengannya saja.

"Mana Rale?!" Teriak Sooya histeris.

Wanita itu bahkan sudah berlinangan air mata.

"Aku akan membunuhmu jika Rald mati!!!"

"Ada apa?" Josh yang mendengar teriakan Sooya berlari mendekat kearah keduanya.

Namun begitu Josh mendekat, Sooya mendadak awas, ia menatap keduanya dengan mata ketakutan. Setelahnya ia berlari, larinya bahkan begitu kencang, seakan ia tak mau dikejar.

"Apa yang terjadi pada Rald?"

Sungguh Jeon dibuat kebingungan, ada apa ini? Mengapa Sooya berfikiran jika Rald akan mati? Dan sebenarnya kemana lelaki itu? Mengapa ia tak ikut berperang?

"Dia...."

"Jelaskan secara detail padaku nanti Josh, aku tak mau melewatkan sesuatu."

Sooya terus berlari menyusuri hutan, berkali-kali ia menengok kebelakang, memastikan bahwa ia sedang tak di ikuti. Hingga tibalah ia pada sebuah rumah gubuk kecil yang sepertinya tak berpenghuni. Sooya berdesis kesal saat mendapati darah di pedangnya tak begitu banyak, namun pedang itu tetap ditiriskan, berharap akan turun beberapa tetes dari darah yang menyelimuti badan pedang itu.

"Kalau bukan karena Rals, aku tak mau melakukan ini!" Kesal Sooya.

"Hhhhahh dan Rose! Sialan! Aku lenggah!"

Lagi-lagi Sooya mendesah kesal, dengan jari yang ia gigit-gigit panik, dan langkah mondar-mandir, Sooya bergerak bingung, bagaimana ia harus bertemu dengan Rald? Dan bagaimana ia harus menemui Rose?

Rasanya kini semakin berat saat Rals tak ada, yang ia tahu, Rals saat ini masihlah di sekap di desa itu, dan bulan purnama akan datang lusa, bagaimana jika rencananya dan Rald gagal?

"Bagaimana ini....."

Brakkkk

Sooya menoleh kaget kearah pintu, saat pintu terbuka dengan kasarnya.

"Kau..." lirih Sooya dengan mata membelalak lebar.

######

Jeon menyeringai lega saat pedangnya kembali menyayat pria di hadapannya. Matanya menatap penjuru rumah di desa itu, banyak pasang mata yang menatapnya dengan tatapan ketakutan. Tentu mereka takut jika mereka juga akan di serang, namun itu bukan tujuannya, ia tak akan melakukan dosa kedua kalinya yang akan membuatnya mengingat kutukan gila itu lagi, tidak akan!

Kemenangan sudah mereka genggam, Rose selamat, dendamnya pada, Vante!

Jeon menatap sekeliling, dari kejauhan Jimmie berlari kearahnya. Dari sorot matanya, Jeon tahu benar jika kabar yang akan di bawa Jimmie bukanlah kabar baik.

"Dia lolos."

Sesuai dugaan, Vante seperti belut yang susah untuk di tangkap, dan belut itu kembali menggeliat dan lepas, walau sudah di tusuk. Sial! Jeon tak akan berhenti sebelum berhasil menangkap lelaki itu dan memenggal kepalanya. Dendamnya tak akan terbayar sebelum ia sendirilah yang akan melepaskan nyawa dari raganya.

"Ini bukan kemenangan kalau Vante tak mati." Sesalnya.

"Kau benar Jeon, tapi.. di mana Rose?"

Ah iya, Rose! Jeon segera berlari menuju rumah tempat Rose di sekap. Senyuman menyungging di wajah Jeon, ia bahagia karena sekarang bisa leluasa menemui Rose, Rose sudah selamat dan ia lah yang akan membawanya kembali kerumah mereka.

Membayangkan mereka akan kembali tinggal bersama saja membuat jantung Jeon berdegup kencang, ia bahkan merasa tak sabar untuk segera berdebat dan beradu kuat dengan Rose.

"Rose?"

Senyuman Jeon luntur begitu melihat wajah sembab Rose, bahkan beberapa tetes air mata masih turun dari kedua matanya, wanita itu di rangkul Christ dengan posesif. Jeon yakin betul dari mata merahnya Rose baru menangis, namun karena apa? Ah bisa saja karena ia bahagia setelah bertemu Christ, buktinya wanita itu tadi menangis terisak begitu melihat Jeon datang menolongnya.

"Biar aku saja ketua."

Tangan Jeon langsung ditepis oleh Christ, ketua suku melarangnya dalam diam dan berjalan meninggalkan Jeon begitu saja. Tentu Jeon merasa tersinggung, menagapa Chrsit menepisnya dengan kasar? Ada apa ini?

"Ketua!"

"Pulanglah! Biar Rose pulang bersamaku."

Ucapan Christ membuat Jeon membeku, ia tak lagi mengikuti langkah Christ dan Rose yang semakin menjauh. Jeon sadar, dari ucapan tegas Christ menyiratkan perintah telak yang tak ingin di bantah. Walau Jeon bertanya-tanya mengapa sambutan kemenangan ini terasa menyakitkan? Namun Jeon segera mengikuti langkah mereka, pergi kembali kedesa.