Chereads / The Curse of Warlord / Chapter 18 - Membalas Dendam

Chapter 18 - Membalas Dendam

Rose menodongkan pedangnya dengan ekspresi lemah, sekarang ia benar-benar tersudut dan kelelahan, dibelakangnya adalah aliran air terjun kecil dengan air yang terasa semakin dalam. Dihadapannya sosok Vante menyeringai dengan darah yang merembas meleleh dari sudut bibirnya.

Keduanya sudah sempat beradu, Rose bahkan menyayatkan pedangnya pada lengan lelaki itu. Tujuan awalnya adalah leher, memisahkan kepala tak berakal itu dari badan berototnya. Namun karena jarak pohon yang tinggi, membuat Vante lebih dahulu berubah awas dan menghalau serangan Rose.

"Kau akan terus masuk kedalam sana?"

Vante menatap kaki Rose yang semakin masuk tenggelam pada air sungai, lalu kembali menatap wajah Rose yang kini terengah dengan nafas kesusahan.

Rose menggelengkan kepalanya, mengapa badannya terasa tak sehat, kepalanya terasa pening, tatapannya semakin kabur. Satu tangannya menangkup lengannya yang tadi sempat terkena serangan pisau pendek milik Vante.

"Kau cukup kuat juga ternyata," perlahan Vante menyeringai, ia merasa puas dengan keadaan sekarang ini.

Rose lepas dari genggamannya, dan Rose pula yang kembali padanya? Rasanya Vante sangat senang, ia tak perlu repot-repot menyusun rencana untuk mengambil miliknya lagi.

"Ah, aku belum bilang ya?" Vante kembali bersuara saat melihat wajah Rose kian pucat, dan berkali-kali wanita itu menggelengkan kepalanya dengan keringat yang membasahi wajah.

"Pisau ini selalu kulapisi dengan racun, bagaimana rasanya? Apa efeknya sudah bekerja?"

Mata Rose membelalak lebar begitu mendengar pengakuan Vante, lelaki itu memanglah licik, Rose menggeram kesal. Namun kekuatannya semakin lemah, keringat dingin terus mengucur di sekitar pelipisnya.

"Tenang saja, itu bukan racun mematikan sayang, jadi kemarilah,"

Tak sudi!

Rose kian kesal, emosi dan dendamnya pada Vante semakin beranak-pinak, ia akan membalasnya, harus! Tapi bagaimana dengan Rose sekarang? Kelemahan fisiknya saat ini, bukankah hal menggembirakan untuk Vante?

Perlahan, Rose menurunkan pedang dalam genggamannya, menancapkan pada sungai dan menumpukan berat badannya yang begitu lemah pada pedang itu. Rose bahkan sampai bersimpuh karena badannya yang terasa semakin tak bertenaga. Saat pandangannya dinaikkan untuk menatap Vante, matanya terfokus pada sosok di balik lelaki itu, yang membopong batu besar dan ditumbukkan batu itu pada kepala Vante. Entah apa yang terjadi selanjutnya, karena Rose memejamkan matanya dan hilang dari kesadarannya.

#####

Christ mengunyah makanannya dengan mata berkedip lucu, otaknya sedang bertarung memikirkan kemungkinan-kemungkinan di mana putrinya berada, kemana putri malangnya itu pergi? Saat pagi Christ terbangun, ia dibuat terheran karena tak ada teh herbal di atas meja. Satu kebiasaan Rose saat menginap di rumahnya adalah membuatkannya teh herbal, tapi pagi ini mengapa tidak ada?

Benar saja, bukan hanya teh yang tak ada, Rose pun tak ada di kamarnya, bahkan Christ sempat mengusap-usap ranjang Rose yang dingin, seakan putrinya itu tak tidur di atas ranjangnya.

"Apa dia kembali kerumah Jeon?" Monolog Christ.

Christ segera mengunyah cepat makanannya, menandaskan minumannya dan segera bergegas meraih sarung pedang beserta isinya. Christ harus memastikan keberadaan putrinya yang sedang gundah gulana itu. Keresahan dan emosi yang tidak menentu, membuat Christ khawatir jika Rose akan bertindak sesuatu yang tidak masuk akal.

Tujuannya adalah kediaman Jeon, dan begitu sampai di pekarangan rumah lelaki itu, ia menggedor pintu bak pembunuh bayaran yang ingin segera melenyapkan nyawa sang target.

"Tck, tck, tck, kau baru bangun? Dasar pemalas!" Semprot Christ begitu pintu rumah Jeon terbuka.

Sang panglima perang baru itu hanya mengedip-ngedipkan matanya mencapai kesadaran. Semalam ia bahkan tak tidur, rasanya baru dua jam lalu ia memejamkan mata, hingga ketukan beringasan membangunkan tidur nyenyaknya.

"Di mana Rose?"

Awalnya Jeon belum mencapai kesadaran, namun pertanyaan Christ membuatnya menatap ketua suku dengan wajah penuh tanya.

"Jadi Rose tidak di sini?! Di mana dia? Haishhhh!"

Christ melenggang menjauh karena tak mendapat jawaban dari Jeon. Bukan tak mendapat jawaban, namun Christ sudah mengetahui jawabannya dari raut wajah lelaki muda di hadapannya itu.

"Cepat bergegas dan cari putriku! Kalau sampai ada apa-apa ... ku kebiri kau!" Geram christ yang menyempatkan menghentikan langkahnya dan berseru kasar menatap Jeon yang kini membelalak dan berlari masuk kedalam rumahnya.

"Baru kemarin, aku mulai suka sama si bodoh itu karena akan memberiku cucu, tapi sia-sia sudah ..." Christ mencebik sedih lalu kembali meneruskan langkahnya "Cucu ... aku mau cucu~" dendang Christ ceria.

Sepertinya calon kakek itu harus menunggu lagi hingga ia akan benar-benar di panggil kakek.

Jeon keluar dari rumah dengan mulut menguap lebar, namun lelaki itu tiba-tiba tersedak air liurnya sendiri saat sebuah busur panah melesak kencang di sampingnya, bahkan rambutnya sedikit tergoyang oleh gesekan anak panah.

"Cepat!"

Jadi, Christ masih menunggunya? Jeon kira sang ketua sudah pergi. Karena merasa ngeri kalau akan di panah lagi, Jeon segera berlari mengikuti Christ yang sudah hampir masuk hutan. Mata ketua suku masih awas juga ternyata, ia masih bisa memanah dengan baik, walau meleset. Namun Jeon meringis ngeri, kalau saja tak meleset, mungkin panah itu sudah menacap di keningnya, jadi dia harus memuji melesetnya bidikan panah ketua suku kan?

"Jadi info apa yang kamu dapat dari Morgan? Aku tidak mau menemuinya, bahaya!"

"Tak banyak, Morgan hanya mengatakan kemungkinan-kemungkinan saja, dia bahkan tidak terlalu yakin."

Christ mendengus tak puas, melirik tajam Jeon lalu menghela nafas panjang. "Kalau kutukan itu tak bisa dihilangkan, kau mau apa?"

Badan Jeon menegang, dia bahkan belum memikirkan rencana jangka panjang untuk dia dan Rose. Tapi, pertanyaan Christ merupakan cambuk kesadaran untuknya, mulai sekarang ia harus merencanakan apa yang akan dilakukan. Bukan hanya dirinya yang ada di pundaknya, kini ada seluruh warga desa beserta Rose yang menjadi tanggung jawabnya.

"Aku akan bicara dengan Rose, tapi ... dia menjauhiku,"

Christ menghentikan langkahnya dan berbalik menatap tajam Jeon yang berdiri di balakangnya. Jarak mereka cukup jauh, karena Jeon memang segan untuk berdekatan dengan Christ.

Perlahan, Christ mendekatkan diri dan mencengkram pundaknya kencang.

"Taklukkan putriku, aku lebih percaya kalau dia bersamamu, tak ada yang lain yang lebih pantas selain kamu," ditepuk pundak Jeon sebagai penutup dari ucapannya, setelahnya tersenyum dan berlalu meninggalkan Jeon.

Sedang Jeon melongo tak percaya, benarkah tadi Christ tersenyum? Ya, Jeon yakin betul jika tadi Christ tersenyum sebelum pergi meninggalkannya. Dan apakah ucapan Christ barusan adalah restu?

"CEPAT! BODOH! DASAR LAMBAT! PEDANGKU MASIH TAJAM! KAU MAU MENCICIPINYA?"

"Eyyyy ... tak mungkin,"

Jeon menggelengkan kepalanya, merasa tak yakin jika tadi Christ memberinya restu. Pasti ini hanya khayalan, ini pasti karena Jeon yang kurang tidur, hingga ia sampai berhalusinasi. Mana mungkin si kejam Christ yang membencinya, dengan mudah memberinya restu dan dukungnya? Lelaki itu kan orang nomor satu yang paling kesal pada Jeon, karena Jeon lah yang merebut kesucian putrinya. Lihatlah, mulutnya kan seharusnya sekejam itu.

"Aku datang ketua!" Teriak Jeon seraya berlarian mengejar Christ yang sudah menjauh.

#####

"Kau sudah sadar?"

Rose menatap pintu kamar dengan tatapan was-was, namun setelahnya ia menghela nafas lega karena bukan sosok Vante yang ada di hadapannya. Namun tatapam penuh selidik, Rose layangkan pada wanita yang kini mendekat dengan mangkuk dan gelas di kedua tangannya.

"Aku tak bisa menampungmu lebih lama, Vante sudah kuikat di pohon, tapi lelaki itu sangat licik, bisa saja dia lepas, siapa yang akan tau?" Wanita itu mendudukkan diri di ranjang dekat Rose yang kini juga sudah mendudukkan diri.

"Makanlah ..."

Rose hanya diam menatap mangkuk dan wajah wanita itu bergantian, ia ragu apakah wanita di depannya ini bisa dipercaya?

"Ayo ambillah, tanganku pegal," diserahkan mangkuk itu kedalam pangkuan Rose, setelahnya meletakkan gelas di atas meja.

"Aku Sooya, dan aku tau kau siapa,"

Rose mengurungkan pergerakan tangannya yang hendak menyuapkan bubur kemulutnya. Awalnya rose tak yakin untuk memakannya, namun hidungnya menangkap aroma harum kepulan asap dari bubur itu, dan insting lapar pada sel otaknya otomatis aktif dengan sendirinya. Masa bodoh, kini sinyal dari otaknya menyebar menggerakkan rasa lapar dan memaksanya untuk segera makan.

"Haha makanlah," Sooya tertawa jenaka seraya mendorong tangan Rose hingga bubur itu masuk kedalam mulut Rose.

Lagi-lagi Sooya tertawa geli, sosok putri kepala suku yang ia tahu adalah sosok yang angkuh, keras kepala, ambisius dan berdarah dingin di medan perang. Tapi, di hadapannya wanita itu membelalakkan matanya, tersenyum sumringah dan menyendok bubur dengan ringan penuh minat. Serasa Sooya sedang memberi makan anak yang ia ambil dari dalam hutan karena tersesat.

"Aku kekasih Rald, dan aku adalah cucu dari tetua yang memberi Jeon dan kamu kutukan," lirih Sooya dengan mata yang fokus menatap Rose, senyumnya bahkan sudah pudar hilang tak bersisa. Menyisakan tatapan penuh kewaspadaan, menunggu reaksi wanita di hadapannya

Benar saja, Rose tampak terkejut dan menghentikan kegiatan makannya, Rose bahkan menatap Sooya dengan lebih tajam. Memang kemarin Rose sempat mendengar obrolan Sooya dengan Rald, namun ia tak tau jika wanita itu adalah cucu dari tetua itu. Otomatis, Rose meneguk air liurnya dengan susah payah, di tatap nanar bubur di mangkuk yang kini tergeletak di atas pangkuannya. Bisa saja bubur itu berisi racun, bisa saya Sooya akan membalas dendam atas kematian kakeknya kan?

"Hey, aku tidak sedang balas dendam," kikik sooya geli.

Rose yang kaget karena Sooya yang seakan mendengar ungkapan batinnya pun menatap wanita itu dengan heran. Apakah keluarga mereka memang di anugerahi kelebihan ilmu perdukunan?

"Wajahmu mewakili isi hatumu ..." ditunjuk wajah Rose dengan gemas, "aku tak menyangka, sosok putri ketua suku ternyata tak seseram di medan perang."

Karena tak tau harus berreaksi seperti apa, atau memjawab apa, Rose hanya menyengir dan kembali manyuapkan bubur kemulutnya, ia masih sangat lapar, ia bahkan lupa kapan terakhir kali makan dengan benar.

"Aku tau kamu mengikutiku, aku juga tau kamu menguping pembicaraanku dengan Rald kan?"

Rose menatap Sooya dengan kedua alis bertaut, wanita di hadapannya benar-benar tak terduga. Dalam waktu singkat ekspresinya berubah-ubah, tertawa, tersenyum gemas, menatap tajam dan lagi-lagi mengetahui sesuatu dengan mudahnya.

"Jadi kamu kesini untuk apa? Menentangku untuk menikahi Jeon?" Sooya menggantung ucapannya, menunggu reaksi Rose yang sama sekali tak berubah.

"Atau memintaku menikahinya?"

Terlihat, Rose mengendurkan wajah tegangnya dan mengubah ekspresinya menjadi datar.

"Atau kau ingin melenyapkanku?"

"Tunggu, tunggu," Rose meletakkan mangkuk keatas meja dan menatap Sooya lekat.

"Jadi semua itu benar? Apa yang kau bicarakan dengan Rald benar?"

Sooya mengangguk santai, menjauh dari rose dan meraih sebuah buku usang yang di atasnya tertera tulisan-tulisan yang Sooya bolak-balik dengan gesit. Diserahkan buku itu pada Rose, dan perlahan Rose membacanya dengan serius.

"Sekedar informasi, aku tak akan melakukan apapun tanpa izin Rald, bisa dibilang keputusan ada di tangannya, apapun yang dia mau, itulah pilihanku juga."

Ditutup buku itu perlahan, dihembuskan nafas panjangnya. Rose menatap Sooya tajam, keduannya saling menatap dalam hening.

"Jadi menikahlah dengan Jeon, itu opsi paling wajar,"

Sooya hanya menggeleng dengan lemah, dari sorotan matanya, wanita itu terlihat begitu putus asa. Pasti ini juga sulit baginya yang memiliki hubungan dengan Rald.

"Kau bisa bicara segampang itu karena kau tak mencintai Jeon kan? Tapi aku mencintai Rald, selama ini kami ditentang, bahkan dalam keadaan seperti sekarang pun kami masih ditentang?!" Geram sooya dengan isak kekesalan, "katakan! Siapa yang menggariskan nasib ini padaku! Rasanya aku ingin menghabisinya!"

Tangis Sooya pecah, ia begitu kesal dengan keadaan, ia kira saat kakeknya tiada, kisahnya dengan Rald akan membaik, hubungan antara keduanya akan semakin menemukan titik terang, namun kini yang menggariskan nasib padannya bahkan ikut menentangnya?

Namun kekesalan Sooya tak hanya pada hal itu saja, ia semakin kesal karena dengan bodohnya malah berkeluh kesah dan mengadu pada orang yang paling ia benci, orang yang kini memberinya lara paling menyakitkan. Sooya amat membenci Jeon dan wanita ini, tapi mengapa kini ia membantunya? Bahkan mengadu kekesalannya? Siapa dia, bisa-bisanya membuat Sooya merasa ... nyaman?

"Tenanglah, akan kucari cara lain, bila perlu ... " Rose menangkup tangan Sooya dan menepuknya pelanz "jangan lakukan apapun, biarkan kutukan itu kutanggung berdua dengan Jeon. Ini bukan salahmu, jangan memusingkan diri untuk menanggungnya."

Ya, ini salahnya, ini salah Jeon, ini salah keduannya, biarkan mereka yang menanggung dosa mereka, jangan biarkan siapapun merelakan apapun yang berharga untuk mereka, jangan sampai.

"BANGSAT! LEPASKAN AKU!"

Teriakan lantang itu menyadarkan keduannya, Rose segera menjauhkan tangannya, dan Sooya buru-buru mengusap air matanya.

Kini suasana menjadi canggung, Rose bukanlah sosok humoris dan mudah bergaul, ia tak sempat memiliki teman, hanya ambisinya pada senjata yang ia pupuk dan tanamkan sejak kecil. Sedang Sooya, ia yang biasanya menjadi happy virus di lingkungan desa, kini meringsut diam.

"Namaku Rose ..." lirih Rose begitu Sooya menjauh dan hendak membuka pintu, "terima kasih Sooya ... maaf."

Sooya hanya diam mematung, tak ada jawaban, wanita itu keluar dalam hening. Di dalam pikirannya, ia akan sekuat tenaga meyakinkan Rald untuk tak lagi ikut campur dengan kutukan ini. Benar kata Rose, ia tak harus melakukan apapun, mereka bedua adalah musuhnya, manusia yang paling ia benci!

Namun langkah Sooya terhenti, selama ini ia memang ingin kakeknya mati, ia ingin lelaki tua nan kejam itu menjemput ajal, karena memang dia lah penghalang hubungannya dengan Rald. Jadi bukankah seharusnya Sooya berterima kasih pada keduanya?

"Tidak!" Sooya menggeleng kencang lalu melanjutkan langkahnya. Di luar sana, Vante terus-terusan berteriak dengan ancaman murahannya.

"Bangsat! Lepaskan sialan!"

Sooya memutar bola matanya jenggah, mulut Vante memang selalu menyebalkan. Namun ia memang seperti belut, walau Sooya sangat ingin menghajarnya, namun dia selalu lolos, seakan tubuhnya memang dilapisi lendir licin.

"Kau kira aku akan melepaskanmu?" Sooya tertawa mengejek dan meraih pedangnya yang tergeletak di kursi depan rumahnya.

"Selama ini kau selalu semena-mena, kau kira aku tak akan balas dendam?"

Sooya menyeringai seram, jika kemarin dia yang tak berkutik karena todongan pedang dan hanya menurut untuk menyembuhkan luka Vante dan memberinya tempat berteduh. Sekarang ia memiliki keberanian untuk segera melayangkan pedangnya. Sekarang Vante lah yang tak berkutik, lelaki itu terikat kencang di pohon, sungguh malang.

"Well ... musuhku tak berkutik ternyata,"

Sooya dan Vante sama-sama menoleh kearah sumber suara. Sosok Rose melangkah lemah mendekati keduanya.

Direbut kasar pedang yang diganggam sooya, dan ditodongkan langsung pada leher Vante.

"Kau mau apa dulu yang dipotong?" Rose menurunkan tatapannya dan serempak menurunkan pedangnya pada aset Vante, "bagaimana kalau benda laknat itu dulu yang kupenggal?" Seringai Rose.

Mata vante melotot lebar, matanya seakan sudah siap melompat terjun dari kantungnya. Ingin hati lelaki itu menutupi asetnya, tapi apa daya? tangannya terikat kencang. Ia hanya sanggup berteriak ketakutan.

"Wanita gila!" Desis Vante kesal.

Sedang Rose, semakin kencang tertawa bak psikopat gila. Sekarang dia akan membalas dendamnya.