Dengan langkah mantap dan lebar, Jeon berjalan dengan kedua tangan terkepal erat. Tatapannya tajam tanpa lelah, dan tujuannya kini satu, kediaman Morgan yang kini sudah semakin dekat.
Ekspresi Jeon masih tak berubah walau kini Morgan menatapnya dingin, lelaki yang sedang sibuk memangkas rumput di depan rumah itu itu mempersilkan Jeon masuk, walau tak ada dialog antara keduanya.
Dari ekpresi Jeon yang diliputi amarah, sudah mewakili jika lelaki itu sedang membutuhkan sesuatu, dan karena lelaki itu menghampirinya, Morgan paham akan keadaan di mana mungkin dirinya lah yang dibutuhkan oleh Jeon.
"Kau bisa membalas dendam dengan sihirmu?"
Morgan mengerutkan keningnya dengan tatapan mata tak percaya pada ucapan Jeon. Beberapa kali ia menelisik kondisi Jeon, bahkan mengendusnya, apakah lelaki itu sedang mabuk?
"Katakan kalau kau bisa melakukannya, atau ... bisakah kamu melacak keberadaan orang? Kumohon, apapun akan kuberikan padamu, apapun! Asal kau bisa melakukannya, apapun—"
"Tunggu!" Morgan menodongkan telunjuknya memberhentikan ucapan Jeon, "pertama, aku bukan penyihir yang bisa menyakiti orang lain, kedua aku bahkan sering kehilangan barang di rumahku, jadi sudah di pastikan aku tak bisa melacak keberadaan manusia ataupun barang. Sadarlah, kau mabuk?"
Bisa dikatakan ini adalah ucapan terpanjang Morgan, lelaki itu biasa memenggal ucapannya menjadi beberapa kali untuk ia ucapkan. Namun kini lelaki itu berucap sekali jalan tanpa jeda, entah karena kesal atau ia memang sudah mengubah dirinya.
Jeon tak sempat terperangah, ia sibuk mengacak rambutnya frustasi, kini ia duduk dengan tak nyaman di kursi milik Morgan, setidak nyaman hatinya yang terasa tercabik karena tangis Rose tadi.
"Kau bilang kutukanku akan hilang kan? Katakan! Apa yang harus kulakukan agar kutukanku hilang?"
Itulah keputusan yang akan Jeon ambil saat ini, ia harus berusaha melenyapkan kutukannya, dan setelahnya melenyapkan Vante dengan kekuatannya sendiri, tepat setelah kutukannya hilang. Itulah janji Jeon pada dirinya sendiri.
"Kau yakin?"
Jeon mengangguk mantap, tak mau berfikir barang sedetikpun.
"Kau harus ...."
#####
Sooya terus celingukan memantau keadaan, matanya terus mengedar dari balik pepohonan lebat di hadapannya, dengan mode mengendap dan bersembunyi, ia terus berpindah dari satu pohon kepohon yang lain.
Beruntung langit sudah semakin redup, karena malam akan segera menjelang, sehingga kegiatan Sooya tak mendapat perhatian dari warga desa yang sudah mulai masuk kerumah masing-masing.
Dipunggungnya tergantung kain buntalan yang dibungkus oleh kain hitam, dan di tangan kanannya mencengkeram erat pedang tajam yang sudah ia asah berhari-hari. Wanita itu kembali memakai penutup mulutnya begitu kondisi terasa aman, dan segera berlari kencang menuju gubuk besar di ujung pandangannya. Gubuk yang ia yakini sebagai tempat penyekapan Rald kekasihnya.
"Rald," Lirihnya begitu memasuki gubuk itu.
Benar saja perkiraan Sooya, Rald dikurung di gubuk ini, dan matanya menatap sosok itu dengan tatapan nanar, sosok Rals dipasung dengan tak manusiawinya. Seperti binatang yang tak berkala dan tak di hargai. Setalah memastikan jika itu benar-benar Rald, Sooya mengusap pelan pipi kekasihnya. Diturunkan penutup mulutnya perlahan dan digeletakkan pedang tajam yang ia bawa, disampingnya.
"Sooya!" Rald terbelalak begitu sosok Sooya lah yang pertama ia tangkap begitu matanya terbuka.
Ingin rasanya Rale meraih pipi wanitanya itu, namun kedua tangan yang terikat dengan rantai dan menyatu dengan pasung lah yang membuatnya urung melakukannya. Ia hanya menggapai-gapai dengan tangan bergetar, menatap wanitanya dengan tatapan penuh dengan kerinduan dan kekhawatiran.
"Kenapa kamu kesini huh?"
"Menyelamatkanmu! Dasar bodoh! Mengapa kamu membiarkan dirimu dikurung di sini! Bodoh!" Sooya memukul-mukul lengan Rald dengan isakan lirih.
Hatinya terasa sakit saat menatap wajah Rald yang di penuhi memar, pasti lelaki ini disiksa karena tuduhan pengkhianatannya. Padahal Rald melakukannya untuk Sooya, untuk keselamatannya dan keluarganya.
"Aku tak apa sayang, sungguh." Rald tersenyum lembut menatap Sooya yang masih menangis dengan kekesalannya, "oh ya, kau menemukannya?"
Sooya mengusap air matanya dengan kasar dan menatap Rald nyalang, "Kau masih memikirkan mereka? Setalah perlakuan tidak manusiawi ini?"
"Sooya."
"Oke! Kau memang keras kepala! Aku sudah menemukan catatan Kakekku, dan benar, di sana ada catatan tentang kutukan yang Kakek kuasai."
"Ilmu itu benar-benar ada?"
Sebenarnya Rald tak percaya dengan hal mistis aneh dan tidak manusiawi, walau tetua di desa ini selalu mempercayai dan melakukan ritual-ritual aneh di desa, namun tidak dengannya dan ketiga temannya. Baginya, mereka hidup sampai sekarang karena mereka menjaga diri, bukan karena kekuatan-kekuatan lain yang tak bisa dinalar. Apalagi kutukan aneh yang sumbernya saja susah di buktikan dengan sesuatu yang logis.
"Buktinya Jeon terkena kutukan kan?"
Benar! Walau kutukan Jeon rasanya sangat tidak masuk akal, namun mereka mau tak mau harus mempercayainya. Kutukan memang benarlah ada.
"Jadi kau tahu cara mencabut kutukan itu?"
Sooya mengangguk mantap, lalu menangkup pipi Rald, dan mengusapnya pelan, "Akulah penawarnya."
Rald mengernyitkan keningnya begitu mendengar penuturan Sooya, dia penawarnya? Apa maksudnya?
"Kakek menuliskan penawar untuk kutukan yang ia pelajari, dan kutukan Jeon memiliki jawaban berupa rasi bintang dan perhitungan rumit yang baru beberapa waktu lalu aku pecahkan. Dan jawabannya, Jeon harus mandi dengan darahku, maka kutukannya akan hilang."
Kini Rald membelalakkan matanya lebar-lebar, apa katanya tadi? Mandi darah? Yang benar saja!
"Kau tak bercanda kan? Sungguh ini tak lucu Sooya! Bukankah terakhir kali kau mengatakan hanya membutuhkan darah Jeon dan darahmu lalu di teteska pada api suci saat bulan purnama merah?"
Sooya menggeleng, menangkal segala penjelasan yang beberapa hari lalu mereka tamukan saat mencari informasi di buku peninggalan Kakek Sooya.
"Kita salah, dau kira wajahku ini terlihat seperti sedang bercanda?"
Rald menggeleng, dari tatapan tajam itu, cukup menggambarkan jika Sooya memang sedang tak bercanda, dan mana mungkin hal seperti ini ia jadikan bahan bercandaan? Tentu tak mungkin! Karena memang ini benar-benar bukanlah sebuah lelucon.
"Dan artinya aku harus mati, karena dalam catatan Kakek, tertulis jelas jika nyawa harus dipertaruhkan."
"Kau yakin? Lalu bagaimana dengan catatan bahwa Jeon harus menikahimu agar kutukannya hilang?!"
Ya, begitulah adanya. Sudah berbulan-bulan mereka menguras waktu dan tenaganya untuk mencari tahu cara melenyapkan kutukan Jeon. Semua karena sosok Sooya yang datang kepadanya dengan tangisan dan secarik kertas lusuh. Di mana di dalamnya tertulis 'Kutukan kelemahan akan normal kembali jika sosok tercela menikah dan menghabiskan malam bersama keturunku.' di kertas itu, juga tertulis jika selain menghabiskan malam pertama, harus ada perpaduan dua darah yang di teteskan di api suci. Yang tidak lain adalah api suci pernikahan.
Sooya jelas tidak menyetuhuinya, ia tak mau merelakan dirinya dan meninggalkan lelaki yang di cintainya. Dia terus sibuk mencari penawar, bahkan saat Rald harus di hukum untuk kebaikannya, Sooya harus tetap mencari.
"Tidak! Kau tidak akan merelakan nyawamu! Jeon, dia pasti tak akan mengambil nyawa orang tak bersalah"
Sooya menyeringai, wanita itu kini mendengus dengan seringaian yang semakin lama berubah menjadi kekehan. Sungguh ucapan Rald menggiringnya untuk tertawa lantang, namun karena kini ia sedang dalam penyelinapan, Sooya mengurungkan niatnya yang kini rasanya ingin sekali tertawa sinis.
"Kau pikir begitu? Lalu apa Kakekku bukan manusia? Dia membunuhnya Rald! Mengapa kau terlalu naif?"
Setelah mengutarakan kesinisannya, sooya berdiri dari duduknya dan melepas tangannya dari Rald. Wanita itu menatap tajam kekasihnya yang kini mendongak untuk tetap menatapnya.
"Kini keputusan ada padamu, kau kira aku akan suka rela menikah dengannya? Setelah dia membunuh keluargaku?" Sooya menggeleng dengan senyum tawarnya, "tapi jika kau mau aku mati, aku akan melakukannya untukmu."
#####
Seorang wanita dengan pakaian tertutup tampak menyelinap dalam kegelapan malam, matanya terus mengikuti langkah yang kini berlari kencang jauh di hadapannya. Ketika bayangan di hadapannya itu berlarian, ia akan mengikutinya, dan ketika bayangan itu mengendap, si pengikut meniru kegiatan mengendapnya.
Hingga keduanya kini sampai pada sebuah rumah yang terletak di tengah hutan, rumah yang berdiri sendirian tanpa adanya tanda-tanda kehidupan lain.
Bayangan hitam itu masuk kedalam rumah dengan gerakan gesitnya, dan wanita yang kini bersembunyi dibalik kegelapan malam itu mulai melepas penutup mulutnya dan menghela nafas panjang-panjang.
Rose.
Sosok yang mengendap mengikuti bayangan hitam itu adalah Rose, entah apa tujuannya mengikutinya, yang pasti Rose terlihat mantap dengan tindakannya, ia bahkan tak sekalipun menoleh kebelakang untuk memastikan keadaan aman. Ia hanya terus menatap bayangan hitam yang terus bergerak menjauh. Rose tentu tak ingin kehilangan jejaknya, setelah hampir sepanjang sore ia habiskan untuk memantau pergerakannya.
Terlihat cahaya kuning menyala menerangi salah satu ruangan pada rumah itu, dan perlahan Rose bergerak mendekat, menempelkan telinganya pada dinding kayu dari rumah itu. Hening, apa yang ia harapkan? Suara yang merayap pada dinding kayu? Jika iya, rasanya harapannya itu tak terjadi, karena kini hanya suara binatang malam dari hutan yang dapat ia dengar.
Setelah tak mendapatkan apapun, Rose memutuskan untuk menjauh dan segera menaiki salah satu pohon di dekat rumah itu. Wanita itu bahkan terlihat lincah memanjat pohon tanpa merasakan sakitnya terjatuh sama sekali.
Setelah mendudukkan diri pada salah satu dahan pohon, Rose mengikat pinggangnya dan menyatukan ikatan itu pada badan pohon, dan memeluk badan pohon itu dengan erat. Rose memutuskan untuk tidur di atas pohon, terbukti dari wanita itu yang kini memejamkan matanya. Entah apa tujuannya, ia hanya bergerak dalam diam, hanya batinnya yang tahu apa rencananya malam ini.
Matanya mengerjap setelah di rasa baru beberapa saat ia terpejam, langit mulai sedikit terang dengan semburat orange yang mulai terbit di ufuk timur.
Giginya bergemelatuk saat melihat seorang sosok keluar dari rumah yang ia intai semalaman, dendam membuat amarahnya menyatu dan berapi-api.
Di bawahnya, di depan pintu kayu gubuk sederhana itu, sosok Vante meregangkan badannya dengan santai. Rose terlanjur membenci, di loloskan pedang di pinggangnya, dan dengan keheningan, ia melompat turun dan menerjang lelaki yang membelalakkan matanya karena terkejut.
Tujuannya bukanlah bertemu dengan Vante, namun sepertinya Dewi Fortuna sedang memihaknya, ia di pertemukan dengan manusia yang sangat ingin ia penggal kepalanya, Vante.