"Kau tak akan bicara?"
Lirih Jeon lagi! Sudah hampir 1 jam ia dan Jimmie memaksa Rald untuk mengatakan apakah alasannya menodongkan pedang pada Christ dan membela desa sebelah. Walau sekarang hubungan kedua desa yang sudah bertahun-tahun bermusuhan kian membaik, berkat hilangnya sosok Vante, namun Jeon tetap ingin tahu apa alasan Rald yang sebenarnya.
Namun Rald tetap bungkam, dari wajahnya yang terlihat penuh memar, dapat di pastikan jika lelaki itu sudah dipukuli agar berkata jujur, dan keadaannya yang masih terikat seperti ini adalah simpulan dari pilihannya, yang tak mau membuka suara dan berkata jujur.
"Kau mau aku mati?"
Rald membelalakkan matanya dan menggeram begitu mendengar ucapan Jeon.
"Suruh dia pergi!" Rald menunjuk Jimmie dengan dagunya, karena kedua tangannya kini terikat dengan rantai, dan kedua kakinya yang di pasung.
"Hey! Apa-apaan! Aku juga mau tahu! Kalian akan merahasiakannya dariku? Tidak lucu!" Protes Jimmie tak mau kalah.
"Jim!"
Jeon menatap Jimmie dengan tajam, dan setelahnya menatap pintu seakan mengusir. Walau sempat bergumam kesal, namun Jimmie tetap beranjak pergi, ia mengikuti perintah Jeon dengan mudahnya.
"Jadi, katakan." Ucap Jeon setelah pintu tertutup, tanda Jimmie meninggalkan keduanya.
"Dia masih di sana."
Kening Jeon mengernyit, dan menoleh kearah pintu, sosok Jimmie mengintip dari balik celah pintu, dan meringis saat ketahuan.
"Oke, aku benar-benar pergi! Jangan menyesalinya!"
Keduanya menghela nafas kesal, lalu Jeon ikut mendudukkan diri menyamai Rald yang duduk tak berdaya di atas lantai.
"AKU BUKAN PENGKHIANAT!" Geram Rald.
Jeon yang kaget hanya diam menatap Rald yang sedang meraup nafas karena geramanya. Jeon bahkan tak tahu mengapa Rald terlihat amat kesal, padahal biasanya dia adalah sosok yang sangat dewasa. Namun hukuman di mana lelaki itu di kurung dan dipasung, tentu pantas menjadi alasan untuk lelaki itu kesal, walau tindakannya pada ketua suku jelas-jelas salah.
Namun bukankah ini pilihan ia sendiri? Semakin ia bungkam, tak memberikan pembelaan ataupun penjelasan yang masuk akal, ia akan terus di siksa. Bahkan berakhir dengan bertaruh nyawa, Rald tahu benar akan hal itu, namun lelaki itu sendiri yang memilih pilihan itu.
"Panggil Morgan kemari, dia akan jadi penengah di antara kita. Atau mungkin dia akan punya solusi." Tambah Rals setelah menenangkan emosinya.
"Solusi untuk?"
Hening sejenak, Rald hanya menatap Jeon dengan mata tajamnya, namun dari sorot matanya nampak kekhawatiran yang coba ia samarkan. Entahlah Jeon akan menyadarinya atau tidak.
"Masalahku, dan kutukanmu."
Brakkkkk.
"Mana si Jeon pecundang itu!!" Terak Christ begitu membuka pintu dengan kasarnya, bersamaan dengan di belakangnya sosok Jimmie meringis tak enak hati.
Setelah mata Christ menangkap sosok Jeon, christ segera melangkah cepat dan berdiri tepat di hadapan Jeon yang sedang menatap Christ dengan wajah penasaran.
"Kau...." di tunjuk-tunjuk wajah Jeon dengan telunjuknya, "Kau harus bertanggung jawab, aku tak mau cucuku lahir tanpa Ayah! Walau sebenarnya aku tak menyukaimu, tapi semua telah terjadi. Toh aku akan mendapat cucu, jadi cepat! Bertanggung jawablah!"
Jeon dan Rald sama-sama melotot kagum, bukan karena sosok Christ yang berucap sekali helaan nafas dengan begitu panjang dan cepatnya. Namun kalimat 'cucu' yang membuat Jeon dan Rald melotot kagum tak percaya.
"Rose... dia.... HAMIL???!!!"
"Aku punya cucu!!!" Christ berseru bahagia, terus tersenyum lebar mengabaikan pertanyaan Jeon, bahkan lelaki yang biasanya sinis dengan Jeon itu kini memeluk erat Jeon. Christ akan menjadi Kakek, dia akan di panggil Kakek, tentu itu adalah kebahagiaan tiada tara untuk Christ.
Ia bahkan sejenak melupakan kekesalannya pada Jeon, ia akan bahagia dulu sekarang, namun nanti akan Christ pastikan jika Jeon akan merengek-rengek kesakitan karena luapan emosi Christ.
Kehadiran Christ dengan berita menggemparkan itu bahkan membuat obrolan Jeon dan Rald berakhir dan tak menemukan titik terang. Christ yang kini amat benci pada Rald, menyeret Jeon untuk keluar dari gubuk itu
#####
Jeon berlarian dengan kencangnya, bahkan melupakan permintaan maaf saat beberapa kali menabrak warga desa. Untung jeon adalah panglima perang, jika bukan, mungkin beberapa warga desa dan anak-anak yang terganggu karena ulah jeon akan mengeroyoknya ramai-ramai.
Lelaki itu benar-benar melupakan sopan santunnya, setelah mendengar penuturan ketua suku bahwa Rose hamil, Jeon segera berlari ke kediaman katua suku, untuk menemui Rose secepatnya. Hingga mengetuk pintupun lupa ia lakukan, lelaki itu bahkan langsung masuk kedalam rumah dan menuju kamar yang ia yakini adalah kamar Rose.
"Kyakkkk!!!!!!! Kamu ngapain sialan! Keluar!!!"
Jeon segera menyumpal kedua telinganya dengan telunjuknya, saat suara super kencang seakan menusuk indera pendengarannya. Namun lelaki itu lupa menutup mata, sehingga dihadapannya adalah surga yang tak ingin ia tinggalkan, sangat disayangkan bahkan untuk berkedippun. Hingga beberapa helai pakaian terlempar dan malangnya mendarat tepat di kepalanya.
Pemandangan indah yang baru saja ia nikmati sudah tutup toko.
"Keluar sialan!!! Dasar cabul! Di mana mulutmu? Kamu tak bisa berbicara hah!!Tanganmu buntung? Sampai mengetukpun tak bisa! Dasar sialan.. #@@#$!%%@/$×$!$!#"
Jeon berjalan mundur saat suara kencang Rose terus-terusan masuk telinga kanan dan menembus telinga kiri. Bukan karena ia tak mendengarkan, namun suaranya terlampau kencang, hingga melesat tanpa rem di dalam telinganya.
Walau ia mendapat cacian, namun Jeon lega, pasti Rose baik-baik saja, hingga wanita itu sudah sanggup dan mampu untuk mengumpat.
"Kamu apa-apaan hah?! Main masuk tanpa mengetuk! Aku ini wanita, sialan!!"
Jeon yang sedari tadi masih tersenyum membayangkan pemandangan yang baru saja ia saksikan itu, kini membuyarkan fikirannya dan menatap Rose yang sedang melotot tajam kearahnya. Sayangnya wanita itu sudah berpakaian lengkap, sungguh sayang amat sayang.
"Sorry, ketua bilang kamu..." Jeon menurunkan pandangannya kearah perut Rose, lalu kembali menatap mata Rose "Hamil?"
Rose berdecak kesal, mulut Ayahnya memang tak bisa di tutup rapat, kesalahan jika seseorang mengatakan apapun pada Ayahnya, karena sudah pasti itu tidak akan menjadi rahasia lagi. Dan lihatlah, Christ benar-benar membuktikannya.
"Bicara di dalam!"
Ditarik lengan baju Jeon dan segera ditutup rapat pintu kamar Rose. Rose tak kunjung berbalik walau pintu kamarnya sudah tertutup, wanita itu berkali-kali menghela nafas dengan beratnya.
"Rose?"
"Aku tidak hamil." lirih Rose pelan. "Kalau kamu khawatir aku hamil, tenanglah, itu tak terjadi, Ayah hanya menyimpulkan sesuatu tanpa tahu yang sebenarnya. Aku tahu kamu pasti jijik jika harus memiliki anak dari wanita kotor sepertiku kan? aku tahu pasti kamu tak akan mengakuinya walau aku memiliki bayi darimu sekalipun."
"Tenanglah, itu tak terjadi, aku kotor, badanku bahkan tak hanya dirasakan olehmu saja."
Ini berat, sungguh berat untuk Rose. Pertemuan dengan Jeon yang beberapa waktu ini ia hindari kini terjadi juga. Namun Rose juga tak kuat, ia tak mau memendam rasa kecewanya pada dirinya sendiri. Rose tak mau terus digerogoti rasa penyesalan dan jijik pada dirinya sendiri. Christ bahkan belum mengetahui yang sebenarnya, Christ bahkan tak tahu jika Vante, lelaki keparat itu sudah menjamahnya dengan paksa.
Air mata Rose tak terbendung lagi, bayangan di mana Christ menatapnya kecewa dan jijik terus terbayang dipikirannya. Ayah mana yang akan diam saja jika anaknya menjadi sosok wanita murahan yang bahkan tak hanya tidur dengan satu lelaki? Tak ada! Pasti Christ akan kecewa.
"Kumohon.. jangan temui aku lagi, cukup aku membayar dosaku seorang diri, jangan bebani aku dengan wajahmu yang selalu berkeliaran disekitarku, karena itu terus menyakitiku. Bahkan hanya melihatmu saja mengingatkanku pada kejadian itu, kumohon..."
Brakkkkkk
Entah sudah keberapa kalinya Christ menggebrak pintu hari ini, kini ia kembali menggebrak pintu kamar putrinya. Mata membelalak Rose dengan air mata adalah hal pertama yang ia tangkap. Bahkan kini Rose terus melinangkan air matanya.
"Siapa dia?" Ucap Christ dengan kilatan mata penuh amarah. "Katakan! Siapa lelaki yang mengotorimu!!"
Rose memejamkan matanya rapat saat Christ berteriak lantang, bahkan ia hanya pasrah saja saat pundaknya dicengkeram erat dan diguncangkan dengan kencang. Rose tak mau berhadapan dengan wajah kecewa Ayahnya, Rose tak mau— wanita itu hanya terus-terusan menangis, apa yang bisa ia lakukan selain menangis?
"Katakan! Siapa yang melecehkan Putriku! Akan kupenggal kepalanya sekarang juga!"
Kini teriakan Christ beralih pada Jeon, Christ bahkan sudah berpindah posisi dan berhadapan dengan Jeon yang hanya berdiri mematung.
"Vante" lirih Jeon dengan kedua tangan terkepal erat.
Ada rasa kesakitan saat Jeon mengucapkan nama itu, suaranya bahkan bergetar, dengan mata yang ia tajamkan menatap punggung Rose yang terus bergetar karena tangis. Ia di sana, melihat bagaimana badan Rose tergeletak dan terikat tak berdaya akibat Vante, namun ia sama sekali tak bisa berbuat apapun untuk menolong wanita itu.
"Biar aku yang memenggal kepalanya, akan kubawa kepala Vante kehadapanmu."
Rahang Christ menggeras, melihat tatapan Jeon yang kini dipenuhi kesungguhan membuatnya semakin emosi. Christ akan melakukan apapun untuk membalaskan dendam pada sosok yang berani-beraninya melecehkan putrinya!
Christ sadar, ini bukanlah emosi yang pertama ia rasakan, dulu saat Jeon merenggut kehormatan Rose pun, ia juga sangat amat kecewa. Rasanya Christ sudah siap melayangkan pedangnya pada leher lelaki itu. Namun kini berbeda, dulu Rose membela Jeon dan mengatakan jika ini adalah kemauannya, Rose tak mempermasalahkan bahkan melakukannya dalam kesadaran. Tapi sekarang?
Christ kembali menatap punggung Rose yang masih bergetar. Rose masih menangis dalam hening, sangat berbeda dengan Rose yang dulu memarahinya karena hendak melenyapkan Jeon. Kali ini Rosenya tersakiti, bahkan sudah beberapa kali sejak kepulangan mereka dari medan perang, tak sengaja Christ mendengar Rose terus bergumam ingin mati saja. Jadi karena alasan ini? Karena pelecehan oleh Vante lah yang membuat putrinya mengurung diri, terus melamun dan terus bergumam ingin mati?
Perlahan christ menenangkan emosinya, diusap wajahnya kasar, lalu melangkah mendekat kearah Rose. Dipeluk putrinya yang kini semakin menangis kencang, putri kuat yang bahkan sangat jarang menangis, putri yang selalu ia banggakan karena ketegaran dan kedewasaannya. Namun kini putrinya itu seakan menunjukkan kalau dirinya juga seorang wanita biasa, yang ternyata memiliki tangisan lara.
"Ayah yang akan membalasnya sayang.. Ayah juga yang akan melindungimu dari dunia ini, Ayah..."
Christ tak kuasa menahan tangisnya, dilengannya ia terus merasakan begitu bergetarnya badan Rose, dan sialnya, tanpa diminta, bayangan di mana anaknya ketakutan dan meneriaki namanya meminta tolong saat keparat itu mencoba melecehkannya, terus terbayang dipikiran Christ. Sungguh menyakitkan untuknya, seakan kini ia telah gagal membuat putrinya terus tersenyum, janjinya pada belahan jiwanya yang di surga telah gagal, ia bahkan tak bisa menjaga putrinya sendiri.
"Ayo kita pergi dan tinggal berdua saja sayang, ayo kita pergi setelah Ayah membalaskan dendammu." diusap punggung Rose pelan dan teratur, dikecup kepala Rose penuh dengan rasa sayang.
"Ayah menyayangimu, apapun akan Ayah lakukan untukmu."