Chereads / The Curse of Warlord / Chapter 13 - Peperangan Yang Sebenarnya

Chapter 13 - Peperangan Yang Sebenarnya

"Siap dipukuli lagi?" Sinis Christ begitu menyadari jika lelaki yang berbaring diatas ranjang mengerjapkan matanya.

Jeon yang menjadi sasaran ketajaman ucapan dan tatap Christ kini mendudukkan diri dengan badan lemahnya. Dari wajahnya tampak jika dirinya tak berdaya, dengan bibir pucat dan kesadaran yang bahkan belum terkumpul sepenuhnya. Namun malangnya Jeon sudah mendapat serangan tajam dari Christ.

"Dia sudah boleh dipukuli kan?"

Kini christ bertanya pada Morgan yang lagi-lagi sedang berkutat dengan rempah kering. Christ menggeleng dan berdecak heran ketika menatap Morgan, sebenarnya apa yang dia lakukan dengan dedaunan kering itu? Apa daun itu akan diubahnya menjadi emas? karena ia adalah orang misterius yang tak diketahui apa saja kemampuannya? Bisa saja kan jika Morgan dapat mengubah daun tak berharga itu menjadi emas?

Sebenarnya Christ bertekad tak akan datang ke gubuk ini lagi, semenjak dengan bodohnya ia menurut pada Morgan, tapi entah mengapa kini ia disini? Rasanya tiba-tiba saja Christ ingin datang. Makin yakin saja dirinya, jika Morgan adalah dukun, cenayang, atau bahkan penyihir seperti yang digosipkan warga desa. Satu lagi, Morgan pandai menghipnotis.

"Duduk dulu," seru Morgan dengan intonasi nada yang lebih tegas dari biasanya, bahkan lelaki sampai mengabaikan pertanyaan Christ.

Sedang Jeon yang hendak berdiri pun mengurungkan niatnya dan meringis, ketika merasakan pening dikepalanya.

"Hahhh... dasar lemah!" Ejek Christ dengan wajah menyebalkannya, "Harusnya kau sadar, Rose pasti lebih menderita darimu, jadi ayo bangun dan bersiap menyelamatkannya!"

"Kejam,"

Christ mengernyit heran, menatap Morgan yang bergumam namun dengan nada suara yang besar, memang tak begitu jelas, tapi Christ mendengarnya. Pendengaran Christ masihlah oke, dan siapa yang disebut kejam? Dirinya?

"Siapa yang kau sebut kejam?"

"Kau," Morgan menatap tajam Christ, "Tajamnya pedangmu sudah berpindah ke mulut ternyata,"

Christ berkedip-kedip, melongo tak percaya dengan anak muda yang terang-terangan berani mengatainya kejam, bermulut tajam? Wah benar-benar si dukun ini. Christ kan ketua suku, apa dia mau dikuliti dan dipanggang? Apa dia tidak memiliki rasa takut sama sekali?! Namun cepat-cepat Christ melepas tatapannya pada Morgan, ia tak mau kembali terhipotis lagi!

"Ayo kita berangkat ketua."

"Hah kemana?" Christ menatap Jeon dengan bingung, sejak kapan anak itu sudah berpakaian lengkap dan berdiri disampingnya?

Jeon menyengir geli, apakah ketua suku selalu seperti ini? Bukankah dia yang tadi menyindirnya untuk segera menyelamatkan Rose? Tapi mengapa kini ketua suku yang terlihat kebingungan?

"Menyelamatkan Rose,"

"Aku tahu!" Geram Christ lalu berdiri dari duduknya dan berlalu keluar rumah.

Mungkin sang ketua malu, terbukti dari jawaban ketus dan wajah kesalnya. Namun tingkah menggelikan ketua suku berhasil membuat Jeon dan sang pendiam Morgan tersenyum tipis. Tak lama, karena setelahnya mereka saling bertatap, keduanya menjadi canggung dan membatu.

"Minumlah!"

Jeon menatap gelas yang disodorkan oleh Morgan, entah kapan lelaki itu membuatnya, namun dari asap yang mengepul, membuktikan jika minuman itu belum lama dibuat.

"Ini untuk mengobati luka dalammu," tambahnya, karena Jeon tak kunjung meraih gelas itu.

"Temui aku saat kalian pulang, ada sesuatu yang harus kukatakan."

Jeon mengangguk, lalu menyerahkan gelas yang sudah kosong, sebenarnya ia tak menyukai ramuan racikan itu, tapi entah mengapa, setelah beberapa hari mengonsumsinya, badannya terasa lebih baik. Mungkin benar jika Morgan adalah penyihir, yang pasti Jeon akan memastikannya nanti, saat ia kembali dari peperangan yang sebenarnya ini.

"Aku ada satu pantangan untukmu," lirih Morgan, menghentikan langkah Jeon yang hendak keluar dari kediamannya.

⚔⚔

Jeon menipiskan bibirnya untuk menahan sakit, tangannya ia tekankan pada perutnya yang terasa nyeri, lukanya belum sepenuhnya sembuh, namun tekatnya yang bulat untuk menyelamatkan Rose tak akan padam sebelum ia berusaha dan bertindak. Perlahan Jeon tersenyum tipis saat dihadapannya Jimmie dan Josh tersenyum bahagia melihatnya datang mengendarai kuda. Bahkan Jimmie kini berlarian mendekati Jeon dengan merengek berakting menangis, begitulah Jimmie yang selalu berlebihan.

"Aku kira kau tak akan sembuh Jeon!!!!" Rengek Jimmie.

"Dimana Rald?"

"Dia tak ikut, ayo kita harus bergegas, atau ketua suku akan mengomel sapanjang jalan," kekeh Josh seraya menaiki kudanya.

Jeon menoleh kebelakang, ia tak yakin jika Rald tidak akan ikut, pada dasarnya lelaki itu adalah pejuang sejati. Bahkan Rald selalu memberinya semangat setiap kali merampok, mengapa kali ini tidak ikut serta? Peperangan kali ini adalah untuk menyelamatkan Rose, sangat mustahil jika Rald tidak ikut kan?

Namun Josh yang engan untuk menjelaskan, membuat Jeon memilih diam saja.

"Ayo," tegur Jeon pada Jimmie yang kini tersenyum menatapnya.

"Si dukun itu bilang kau akan menyelamatkan Rose. Harus Jeon, Rose harus selamat, ia harus datang untuk pengangkatanmu lusa kan?" Ucap Jimmie lalu berlari riang kearah kudanya.

Jeon terdiam, pengangkatan? Apakah ini saatnya?

Kudanya melangkah dengan pelan, namun sorot mata Jeon terlihat tak fokus. Ia masih memikirkan perkataan Jimmie, ternyata sudah tiba saatnya ia akan diangkat, namun Jeon merasa tak bahagia, ia merasa tak pantas untuk menyandang galar ini. Semua karena kelemahannya, bahkan Jeon tak dapat menjaga Rose, sedang tugas panglima perang adalah mengomandai perang dan memastikan peperangan mereka berhasil, tapi Jeon bahkan tak bisa apa-apa jika tak ada Rose.

Rasanya Jeon juga tak lagi memiliki dasar percaya diri, walau tak berucap, namun ia yakin betul jika Christ sangat marah padanya. Jika bukan karena ucapan Morgan tentang keselamatan Rose, mungkin ia sudah habis tak bernyawa ditangan Christ. Jadi mana mungkin Christ akan membiarkan Jeon menjadi panglima perang?

Jeon menggeleng, itu sudah tak penting, sekarang ia harus fokus, dan fokusnya saat ini adalah menyelamatkan Rose, walau nyawa yang harus ia pertaruhkan.

"Dengarkan rencanaku baik-baik, lalukan sesuai komandoku, dan ingat! tak ada kegagalan!"

Christ yang mengendarai kuda mensejajari laju kuda Jeon, menekankan perintah mutlak yang membuat Jeon tak dapat berkata-kata. Christ menjelaskan rencana yang sudah ia siapkan untuk menyelamatkan Rose, sedang Jeon hanya diam mendengarkan dengan mata antusias. Walau berkali-kali ia mengernyit tak suka, namun dengan secepat kilat Christ menyela dan kembali memaksakan rencana yang sudah ia persiapkan matang-matang.

"Kau paham?"

Jeon mengangguk namun masih dengan wajah tak sukanya.

"Kau bisa memimpin secara resmi besok lusa, sekarang aku masihlah panglima perangnya!" sinis Christ lalu mempercepat laju kudanya, "Kita harus sukses kalau kau mau memimpin lusa!"

Lusa?

Jeon memicing menatap kepergian Christ yang melajukan kudanya semakin kencang.

"Apa ketua menyetujui pengangkatanku?" Gumamnya.

Sungguh ia tak tahu, haruskah ia bangga atau malu sekarang?

⚔⚔

"Silakan mantelmu tuan,"

Vante merentangkan kedua lengannya dan membiarkan pengawalnya memakaikan mantel bulu keberuntungannya, tentu ia butuh mantel itu lagi kali ini, ia akan menyambut tamu yang tak diundang. Bahkan Vante sudah menyiapkan sambutan meriah dengan memanggil semua pasukan yang dapat ia panggil.

"Pesta hari ini akan meriah," seringainya.

Lelaki itu begitu bahagia dan pecaya diri, musuh bebuyutannya datang dengan suka rela, bahkan tanpa harus menempuh jarak jauh, musuh yang akan ia serang justru datang berkunjung. Sungguh kebahagiaan untuk Vante, apalagi desa itu tak lagi memiliki Jeon, cecunguk sialan yang membuat darah Vante selalu dibuat panas mendidih.

Vante yakin betul jika Jeon tak akan selamat, bagaimana orang sekarat akan selamat sendirian di hutan? Tak ada! Yang ada ia akan dimakan binatang buas karena aroma darah dari sayatan badannya. Vante kembali tersenyum puas, satu langkah lagi, ia akan menikmati hasil dari keterpurukan panjangnya.

"Dan kemenangan akan kita raih dengan sangat mudah, apa yang bisa mereka lakukan? Tak ada lagi si kuat Jeon!"

"Upsss si lemah Jeon, lelaki yang terkutuk," seringai Vante.

Seringaian itu berubah menjadi tertawa, tangannya melambai meminta pelayan mendekat, dan diraih gelas berisi cairan kuning dari nampan itu, meminumnya dengan elegan dan setelahnya menjentikkan jari. Dihadapannya beberapa orang yang memegang alat musik, kini beriringan memainkan musik pengiring untuk tari kebahagiaan Vante.

"Siapkan pagelaran musik yang lebih besar untuk menyambut kemenanganku nanti."

Pengawal yang sedari tadi berdiri dibelakang Vante mengangguk, walau Vante tak melihat anggukan itu, namun pengawal itu tahu, jika ucapan Vante adalah perintah yang harus dilakukan, dan tak ada jenis penolakan apapun yang akan dimaklumi olehnya.

"Okeee~ ayo kita sambut tamu kita." Vante melempar gelas kacanya begitu saja, merapikan mantel bulunya dan melangkah dengan angkuh.

Hari ini tak akan ada yang bisa menghentikannya, tidak dengan Jeon, tidak dengan Abercio. Hari ini pula Vante bertekat akan merebut tahta pemimpin yang harusnya ia duduki. Perang sebenarnya akan benar-benar dimulai, perang melawan musuh dan perang melawan desanya sendiri.

⚔⚔

Tibalah pasukan yang dikomandai Christ diperbatasan desa musuh, gerbang kayu besar menjulang dengan hiasan kepala macan yang ditancapkan diatas gerbang, seakan menunjukkan jika didalam sana adalah sarang macan yang siap menerjang jika ada orang tak diundang memaksa masuk. Namun tentu hal itu tak sedikitpun menggertak untuk Christ dan rombongan, ia bahkan tak sedikitpun merasakan ketakutan, karena ketakutan utamanya adalah Rose. Anaknya yang harus ia selamatkan sekarang juga.

Sesuai dugaan Christ, mereka adalah tamu tak diundang yang dijamu dengan meriah. Terbukti dari banyaknya manusia bersenjata yang kini mulai muncul dari persembunyiannya. Mereka bahkan baru hendak memasuki gerbang perbatasan, dimana butuh jarak 1 kilo untuk menuju desa, namun sambutan sudah semeriah ini?

"Plan A," gumam Christ pada Josh yang mengendarai kuda disamping kanannya.

Lelaki itu mengangguk dan membawa sebagian pasukan bertombak untuk maju. Riuh seruan dari pergelutan manusia mulai terdengar nyaring, bersamaan dengan mendekatnya regu Josh. Lawan tak kalah cepat, mereka berseru memberi dukungan pada regunya dan ikut mendekat dengan senjata dimasing-masing tangannya. Namun anak panah melesat cepat menancap pada badan lawan, seakan badan itu hanya sasaran panah tak bernyawa.

Setelah banyak musuh tumbang, ratusan regu lawan kembali maju, bersamaan dengan regu yang dikomandai Jimmie yang berlarian dengan masing-masing pedang ditangannya. Pertumpahan darah tak terelakkan, Christ yang masih mengendarai kudanya mengedarkan pandangannya mencari sasarannya. Kudanya melangkah mendekati kerumunan, dengan disetiap sisinya dikawal oleh pasukan.

Kuda yang dikendarai Christ telah menjadi sasaran, beberapa kali ia menghindari tombak yang dilayangkan padanya. Mau tak mau sang ketua suku menginjakkan kakinya menapak tanah, dengan mata yang masih awas menatap sosok yang ia cari-cari, Vante.

Namun tak ada, ia tak menemukan apapun, dimana musuh yang berani menculik putrinya?

Mata Christ menatap pertumpahan darah dihadapannya, ini bukan hal pertama untuknya, dimana badan tak bernyawa tergeletak dengan darah yang melumuri badannya. Christ menatap beberapa mayat dengan lengan berbalut kain kuning, sudah menjadi kewajiban, pasukannya harus memakai kain kuning. Cukup banyak badan tak bernyawa tergeletak dengan kain kuning dilengannya, namun lawan pun tak kalah banyak tergeletak, bau anyir mulai tercium, bercampur dengan debu yang membumbung memburamkan pandangan.

"Jalan sudah steril!"

Josh mendekat kearah Christ dengan kuda yang masih utuh dikendarainya, dan disusul oleh Jimmie yang kini turun dari kudanya dan memberikan kudanya pada Christ.

"Habiskan yang disini, semua! Tanpa terkecuali!" Tegas Christ lalu menaiki kuda Jimmie dan melaju cepat beriringan dengan Josh menuju desa. Tujuan utamanya adalah desa, dan menemukan sosok Vante yang ia cari.

"Bravo!"

Vante bertepuk tangan dengan angkuh, bahkan lelaki itu kini duduk dipersinggahan yang harusnya diduduki oleh ketua suku. Dimana ketua suku mereka? Entahlah, dari raut wajah Vante, sepertinya ia telah memenangkan sesuatu, entah apa.

"Kalian berhasil sampai sini, tapi..." Vante menelisik rombongan Christ dengan wajah mencemooh, "Hanya segini? Hahaha"

"Diamlah! Mulutmu bau sekali," Christ melambaikan tangannya didepan wajah dengan ekspresi mengejek "Bau busuk, sebusuk sifatmu," tambahnya sarkas.

Vante adalah sosok pemarah, sindiran kelas teri milik Christ pun mampu membuatnya mengepalkan tangan erat. Namun lelaki itu mampu menutupinya dengan terus tertawa sinis.

"Tak usah berlama-lama mengejek, ayo selesaikan, aku tak sabar menjadikan kepalamu sebagai pajangan baru di gerbang desa." seringai Vante lalu melambaikan tangannya.

Pasukan bersenjata lengkap mengepung pasukan Christ. Namun Christ adalah panglima perang, tentu ia sudah menafsirkan jika hal seperti ini akan terjadi, itulah mengapa pasukan terlemahnya lah yang ia keluarkan lebih dahulu. Dibalakangnya ini adalah pasukan terkuatnya, tentu Christ masih tersenyum lebar melihat ekspresi ponggah Vante yang meremehkannya.

"Oke, ayo selesaikan, aku harus pulang dan meminta anakku menyiapkan air mawar untuk mandi, badanku sudah bau terkena aroma busukmu."

Vante masih tersenyum walau mendengar ejekan Christ, bahkan kini ia tertawa lantang dan bertepuk tangan dengan tempo pelan. Tepat pada tepukan tangannya yang ke 4, pasukan dengan jumlah lebih banyak keluar dari sarangnya, jangan lupakan persenjataan yang tak kalah lengkap.

"Ohh kau kaget tuan Christ?" Vante berucap begitu melihat wajah panik Christ.

"Kau kurang pengalaman tuan, kurasa pengalamanmu selama ini tak terlalu memberimu pengajaran?"

"Akan kuberi satu petuah, jangan datang kesarang macan, atau kau akan terkepung dan kencing dicelana." ejek Vante.

Lelaki itu semakin tertawa lantang, ia sudah bahagia bahkan sebelum peperangan dimulai, seakan ia yakin jika ia lah yang akan memenangi peperangan ini.

Namun begitu Vante menatap sorot tajam mata Christ, Vante semakin yakin jika ia akan menang. Dari sorot mata tua itu, Vante menangkap ketakutan, ketakutan akan kekalahan dan kematian.

"Ketua," bisik Josh.

Christ menatap Josh tajam, setelahnya mengangguk mantap.

"Apapun yang terjadi, selamatkan Rose, mengerti!"

Josh mengangguk mantap, itulah tujuannya, dan itulah janjinya pada Jeon, keselamatan Rose.

"Semoga Jimmie cepat menyusul."

Sebenarnya Christ tak menyangka jika sambutan untuk mereka akan semeriah ini, Christ sudah menyiapkan pasukan yang besar, namun pasukan lawan ternyata lebih besar.

"Kalau kau mengira pasukan dibelakang sana akan menyusul... kuberikan satu bocoran, pasukanku yang lain sudah menuju sana, jadi.... kau tahu bocorannya kan?"

Dengan cepat Christ menoleh menatap Vante, nafasnya terasa tercekat, bahkan dadanya naik turun dengan cepat, secepat nafasnya yang ia tarik ulur. Geraman Christ terdengar riuh begitu menatap tawa jenaka Vante diatas singgasananya. Lelaki dengan goresan luka disudut bibirnya itu terus tertawa, seakan mereka yang terpojok didepannya adalah tontonan lawak yang memberinya kebahagiaan.

"Sialan!" Gumam Christ.

"Ketua, rencana B?"

Christ memejamkan matanya rapat-rapat, rencana B? Ia bahkan belum memikirkan rencana B, dan belum sempat otaknya berfikir untuk rencana B, lawannya didepan sana sudah berseru dan menodongkan senjatanya. Inilah perang, dimana yang terpojok tak akan dibiarkan untuk berfikir, dan biarkan alam dan penguasa yang menentukan, siapakah yang akan menjadi pemenangnya nanti.

Namun rasa perih memaksa Christ untuk berteriak, tangannya menangkup lengannya yang sudah berdarah. Tanpa aba-aba, semua pasukan dari kedua belah pihak sudah saling berperang. Dengan luka sayatan panjang dilengannya, Christ melayangkan pedang milik Rose tanpa beban. Beberapa kali ia melirik kearah Vante yang menonton dengan tawanya, lalu beralih pada arah lain dari tempatnya berdiri. Kapan pasukannya yang lain akan datang?

Beberapa warga desa sudah tergeletak tak bernyawa, membuat rasa percaya diri Christ menyusut. Siapapun, segeralah datang!