Chereads / The Curse of Warlord / Chapter 11 - Pengkhianat

Chapter 11 - Pengkhianat

Amarah sang panglima perang Christ, kini sudah naik dan terkumpul memenuhi otaknya. Terasa kian mendidih dan siap untuk diuapkan, tangannya terasa gatal ingin segera melayangkan pedangnya kepada lelaki yang dengan berani menghadang jalannya.

Rald, sosok yang menghadangnya untuk pergi kedesa musuhnya, musuh yang menculik putri kesayangannya.

"Menyingkir atau pedang anakku ini akan menghunusmu!" lirih Christ namun penuh dengan penekanan.

Sedang sosok Rald masih bergeming, ia bahkan tak terlihat takut, tangannya masih merentang menghadang kuda yang dinaiki Christ.

"Kita butuh strategi, atau akan banyak nyawa yang mati."

"Aku tak peduli! Yang pasti putriku harus pulang dengan selamat! Enyahlah Rald! Jangan menguji kesabaranku, karena aku sudah tak punya lagi!"

Rald menggeleng, entah mengapa lelaki yang biasanya begitu takut dan segan pada Christ itu, kini berani menentang ketua suku.

"Langkahi dulu mayatku!" ucap Rald mantap.

Christ meneyeringai, mencela Rald dari senyuman miringnya, sorot mata Christ selalu tajam, mata itulah yang menjadi pesonanya, pesona sang panglima perang yang sebentar lagi akan turun tahta. Namun seakan tak kenal takut, Rald bahkan terlihat tak gentar dengan tatapan Christ. Tampaknya memang ada sesuatu dibalik niatnya memberontak, namun Chris tak memiliki waktu, putrinya sedang dalam bahaya.

"Kau membela mereka karena berpacaran dengan cucu tetua itu kan? Kau terlalu naif, sekarang pilihlah, setia pada desamu dan hancurkan desa itu, atau ikuti cintamu dan memilih mati ditanganku? Kau tau kan? Aku benci penghianat!"

Tatapan Rald bergetar, terlihat jika ia sebenarnya ketakutan atas ucapan Christ, terlihat jika memang ia tak kuasa melawan kehendak Christ yang begitu memiliki aura yang selalu berhasil menekannya, aura sang panglima perang sesungguhnya.

Sedang tatapan Christ masih saja tajam, katakan, ayah mana yang akan diam saat putrinya terancam? Sebutan jika putri adalah permata paling berharga untuk ayahnya sangatlah cocok bagi Christ. Rose adalah harta yang paling berharga untuknya, jika kesehariannya saja Christ adalah merampok, maka peramok mana yang akan diam jika hartanya dicuri?

Christ bertekat jika ia akan menghabisi hingga rata desa itu, walau nyawa yang menjadi taruhannya.

"Ketua!"

Sebuah suara menghentikan pertarungan tatap antara Rald dan Christ, keduanya menatap kesumber suara yang ternyata adalah Josh, Jimmie dan beberapa pasukannya yang baru saja keluar dari hutan.

"Mana Roseku?" Sergah Christ pada gerombolan yang kini ia tatap bergantian.

Diam adalah jawabannya, dan membuat rahang Christ semakin rapat kerkatup, diam dari mereka adalah jawaban yang buruk untuknya, dan jelas saja pasti putrinya belum terselamatkan.

"Jeon?" Tanyanya lagi.

"Jeon terluka parah, dan dia har-"

"Bangsat! Ayo cepat bawa putriku kembali! Atau nyawa kalian yang jadi gantinya!" Geram Christ dengan emosi berapi-api.

Namun Rald kembali melangkah mendekat pada Christ, lelaki itu bahkan kini sudah berdiri didepan kuda dengan pedang yang ia todongkan.

"Kumohon jangan ketua, banyak nyawa tak bersalah disana. Jangan biarkan kutukan itu terjadi lagi."

Ucapan Rald tentu saja menjadi tanda tanya besar untuk Jimmie dan Josh, keduanya bahkan menatap Rald dengan wajah terperangah.

"Rald! Apa maksudmu? Turunkan pedangmu!" Titah Josh.

Josh yang menjunjung teguh 'ketua suku adalah orang yang paling ia hormati' merasa kesal dengan aksi Rald yang kurang sopan dengan menodongkan pedangnya. Josh bahkan tak habis pikir dengan tingkah lelaki itu, seakan bukan Rald yang biasanya.

"Tidak! Kita tak boleh menyerang desa itu lagi Josh, tak boleh!!"

"Hentikan!" Christ mengusap wajahnya frustasi "Jim, bereskan dia! Kau tahu apa yang harus dilakukan pada penghianat, dan kau Josh, bawa pasukanmu mengikutiku!"

"Tapi ketua...."

Christ menatap tajam Jimmie, tak lama setelahnya ia balik menatap Rald yang seakan begitu yakin dengan aksinya menghadang Christ, bahkan cengkraman tangannya pada gagang pedang begitu erat, seakan menunjukkan sekuat itulah tekadnya.

"Dia berpacaran dengan cucu dari tetua itu, itulah mengapa dia menentang kita menyerang desa keparat itu, bagaimana?" Christ menjeda kalimatnya dan menatap Josh dan Jimmie bergantian, "Kalian sudah tahu kenyataannya kan? Kalau Jeon tahu, dia juga pasti akan menangani penghianat ini dengan benar, jadi sekarang jalankan perintahku Jim!" Tegas christ.

Jimmie dan Josh sama-sama menatap Rald dengan kening berkerut, tentu mereka tak menyangka, namun dari sorot mata Rald yang begitu bertekad, dan tak ada bantahan darinya. Tentu secara tak langsung membuat Jimmie dan Josh mempercayai bahwa yang Christ ucapkan adalah kebenaran, dan benar jika Rald telah berkhianat.

Bagaimana bisa lelaki itu berhubungan dengan penghuni desa musuh? Walau sampai kini tak ada kegagalan dalam merampok, namun desa kehilangan Rose. Wajar jika ketua suku mengamuk, dan yang lebih konyol, Rald mendukung desa itu?

"Sial!" Desis Jimmie pelan, dengan wajah kesalnya.

Setelahnya Jimmie dan Josh saling bergantian mengangguk, sedangkan Rald menggeleng tak terima, ia bahkan meronta saat beberapa orang sudah mencengkram kedua lengannya. Rald berteriak dan meracau histeris, namun teriakannya sama sekali tak diindahkan oleh Christ. Kuda yang ia tunggangi bahkan sudah melaju kencang menuju tujuannya, menyelamatkan putrinya.

"Kau mengecewakan Rald." lirih Josh sebelum kudanya melaju menyusul Christ.

######

Mustahil memang jika Jeon dapat bangkit dengan waktu cepat, lukanya begitu parah, sayatan dan lebam hampir memenuhi sekujur tubuhnya. Namun lelaki itu dengan sigapnya bangkit dari tidur lelapnya begitu matanya terbuka, seakan tersengat aliran listrik yang seketika membuatnya bangkit dari tidur panjangnya.

Matanya berkeliling menatap sekitar, rumah sederhana dengan beberapa karung rempah kering. Disampingnya terdapat meja dengan segelas air dengan kepulan asap yang membumbung. Bibirnya otomatis menyengir saat merasakan sakit disekujur tubuhnya, tangannya otomatis meraba badannya yang tertutup kain perban.

"Kau sudah sadar?!" Seorang lelaki dengan wajah kagetnya menatap Jeon tak percaya. Namun ekspresinya kembali datar dengan singkat.

Tak beda jauh, Jeon juga nampak sangat terkejut dengan kehadiran sosok lelaki itu.

Dialah Morgan, sang tabib yang merawat luka Jeon, namun dia juga lah yang merasa tak percaya jika Jeon sudah sadarkan diri.

"Kau manusia kebal atau apa huh?" Cicitnya seraya mendekat kearah Jeon dengan wajah sinisnya.

"Hey! Jangan bergerak dulu! Haishhhh!!!" Seru Morgan frustasi.

"Tck! Aku harus menyelamatkan Rose!" Geram Jeon dengan tangan yang ia tekankan pada perutnya, berusaha meredakan sakit begitu ia hendak berdiri dari duduknya namun gagal, ia kembali duduk dengan rasa sakit yang tak juga berkurang.

"Tunggu.. minum ini dulu." Morgan menyerahkan gelas yang terletak diatas meja.

Asapnya masih mengepul panas, namun berkat tatapan tajam itu, Jeon tak sempat lagi berfikir dan langsung meraih gelas itu untuk menandaskan isinya dengan dua kali tegukan.

"Tenanglah dulu, lukamu lumayan dalam, aku tahu badanmu memang cukup fit, tapi untuk berperang..." Morgan menggeleng pelan lalu meraih tangan Jeon, matanya terpejam cukup lama.

"Dia akan selamat, dan kau yang menyelamatkannya," ucap Morgan seraya menatap mata Jeon dalam.

Hening.. mereka tak mengucapkan apapun, Jeon hanya diam mengamati tatapan Morgan, dan Morgan masih meraba garis tangan Jeon dengan seksama.

"Kutukanmu akan segera berakhir, tapi akan ada nyawa berharga yang harus kalian relakan." Morgan kembali memejamkan matanya dan menunduk dalam.

"Dua.. jika kalian lengah dua nyawa akan hilang, tapi jika kalian kuat, hanya satu nyawa yang harus kalian relakan."

Kening Jeon mengernyit tajam, sosok Morgan memang sudah terkenal sebagai 'pemanah jitu', namun bukan arti yang sebenarnya, maksudnya adalah segala ucapannya hampir selalu tepat sasaran. Namun lelaki itu bukanlah sosok orang yang banyak bicara, dia bahkan terkenal dengan sifat dingin dan irit bicara. Karena segala ucapannya dapat memberikan harapan untuk orang lain, ia sering dijuluki hope, harapan. Semenjak mendapat sematan nama itu, semakin susah untuk menemui Morgan. Lelaki itu hanya datang saat dimintai bantuan untuk mengobati luka, bukan meramal. Namun entah mengapa hari ini ia berbicara panjang lebar tentang kutukan?

"Kau..."

Morgan mengangkat wajahnya, menatap Jeon dalam lalu mengangguk.

"Kau selalu menyebutku penyihir kan? Penyihir inilah yang akan menyelamatkan hidupmu, tidurlah sebentar dan kumpulkan tenagamu, lalu bawa dia kembali."

Benar jika Jeon menyebut Morgan adalah penyihir, dimasa kanak-kanak Jeon sering memergoki Morgan malakukan tindakan aneh yang tak selayaknya dilakukan manusia normal. Hal diluar nalar yang sering membuat Jeon menyebut Morgan adalah seorang penyihir. Karena keanehan lelaki itulah yang membuat Jeon sama sekali tak mempercayai apapun ucapan Morgan.

Terlebih atas ucapan Morgan yang membuatnya ketakutan, dulu. Saat mereka masih kanak-kanak ucapan itu membuat Jeon semakin memebenci lelaki ini hingga ucapannya benar-benar terjadi, Jeon semakin mengasingkan diri dengan Morgan.

"Kau akan terkena kutukan, kau akan hancur tanpa wanita itu, kau akan menjadi orang yang lemah tak berdaya, pecundang!"

Begitulah ucapan Morgan kecil dengan mata membelalak, sosok Jeon kecil tentu ketakutan, ia tak menyangka jika Morgan yang aneh dan tak banyak bicara malah menyumpahinya. Setelah ucapan aneh itu, Jeon terus-terusan berlatih senjata, bela diri dan segala hal yang membuatnya kuat, ia bertekad untuk membantah ucapan Morgan yang terkenal dengan tingkah dan ucapan anehnya.

Hampir selama hidupnya Jeon selalu menganggap Morgan adalah seorang penyihir jahat yang harus ia jauhi, dan sekarang adalah pertemuan pertama mereka dengan obrolan anehnya lagi, semenjak Jeon kecil mengindar dari Morgan. Nyatanya ucapan Morgan dulu adalah sebuah peringatan, peringatan dimana keburukan akan menimpa Jeon. Namun dengan salah tangkap, Jeon mengira Morgan berniat jahat. Apakah kalau ia menanyakan secara rinci pada Morgan, kutukan itu tak akan terjadi?

Jeon masih setia diam ketika ingatannya kembali mengingat masa lalu, masa lalunya dengan sosok yang ia hindari, namun kini menyelamatkannya?

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

Morgan melepas tangan Jeon dan mengedikkan kedua bahunya, berlalu menjauh dari Jeon dan mendekat kearah karung rempah keringnya.

"Kumohon, katakan apakah sekarang ia baik-baik saja?" Lagi, Jeon melayangkan pertanyaan, namun seakan kembali pada sifat aslinya, Morgan kembali diam dan acuh.

"Tidurlah!" Tegasnya seraya berbalik untuk menatap tajam Jeon.

Seakan tersihir oleh seorang penyihir, Jeon merebahkan badannya keatas ranjang, matanya masih menatap Morgan, dan saat lelaki itu mengangguk, Jeon memejamkan matanya dan pergi kealam mimpi.

######

Dengan bermodalkan ucapan langka dari Morgan, pasukan yang dikomandai oleh Christ harus balik kanan dan bubar kembali menuju perkampungan mereka. Awalnya Christ mengelak dan tak mau kembali, namun pesan bahwa 'Jeon lah yang akan menyelamatkan Rose' membuat Christ mau tak mau harus bersabar menunggu kesembuhan Jeon. Ucapan Morgan adalah satu-satunya ucapan dari manusia yang dapat Christ pertimbangkan.

Atas dasar kisah masa lalu dimana ucapan Morgan juga memberikan harapan untuk Christ, akhirnya Christ menganggap Morgan adalah seorang 'dukun' sekaligus konsultan untuk perkampungan mereka. Walau kenyataannya Morgan dengan sengaja mengasingkan diri dan tak banyak bicara.

"Pantau keadaan Jeon, jika dia sudah sadar, kita akan langsung ke desa sialan itu!" titah Christ pada Josh.

Kaki Christ baru saja menapak tanah, namun perintah sudah ia layangkan. Setelah Josh mengangguk patuh, Christ berjalan lemah menuju rumah kecilnya, dengan dua buah pedang yang ia dekap erat.

"Apa Rald sudah mengatakan sesuatu?"

Lelaki yang berdiri disamping Josh menggeleng, setelah menggeram kesal, Josh segera melangkah menuju rumah eksekusi. Dimana hanya seorang penghianatlah yang akan diadili disana, dan disanalah juga sosok Rald berada.

"Apa yang kalian lakukan!!!?" Teriak Josh begitu membuka rumah eksekusi.

Dihadapannya dua sosok teman sepermainannya saling acung pedang, Jimmie dan Rald saling bertatap tajam dengan sebilah pedang yang diacungkan dengan berani. Mata Josh menelisik keduanya, beberapa lebam dan luka sayatan bersarang di beberapa bagian dari keduanya.

Tentu ini pemandangan tak asing untuk Josh, namun sorot mata Jimmie yang begitu diliputi amarah membuat Josh mau tak mau turun tangan untuk memisahkan keduanya.

"Jim! Apa-apaan ini!"

"Lepas!! Aku harus menghukum penghianat ini!" Geram Jimmie dengan geliatan kasar karena badannya yang ditahan oleh Josh.

"Tenanglah Jim, kita bisa membicarakan ini dengan kepala dingin."

"Tidak! Aku tak sudi berbicara baik-baik dengan penghianat ini! Pasti dia yang membeberkan rencana kita pada musuh kita, pasti! Itulah mengapa Rose diculik, dan itulah mengapa Jeon terluka parah seperti ini, jadi untuk apa dia hidup hah??"

Josh menggeleng kuat begitu mendengar penuturan Jimmie yang mungkin saja bisa benar adanya. Ia memang tak yakin, namun kebenaran dimana Rald berhubungan dengan cucu tetua itu adalah kebenaran, dan sosok Rald yang tadi mengacungkan pedang pada "hrist adalah bukti lain dari penghianatan Rald pada mereka. Bahkan Rald kini menodongkan pedang padanya dan Jimmie? Sungguh sulit untuk ia terima.

"Keluarlah dulu, biar aku yang bicara dengannya." Josh menggiring Jimmie untuk keluar, walau alot karena Jimmie masih saja bertekad untuk menghabisi Rald, namun akhirnya Jimmie meninggalkan keduanya.

"Josh.. bagaimana keadaan desa itu? Kalian benar-benar menyerangnya?" Lirih Rald dengan wajah khawatirnya.

Sedang Josh menatap Rald sinis, bahkan lelaki itu lebih mengkhawatirkan desa musuh? Padahal Rose dan Jeon pun sama-sama mengkhawatirkan keadaannya, namun Rald lebih mengkhawatirkan desa itu?

Josh tersenyum sinis, dihadapannya sosok Rald seakan benar-benar mencerminkan penghianat yang sebenarnya.

"Kau bahkan tak menanyakan keadaan Jeon dan Rose? Kau serius?" Sinis Josh.

Rald menghempas pedangnya, mengusak rambutnya frustasi, lalu menatap tajam Josh.

"Sooya harus selamat! Apapun yang terjadi!"