Dalam keadaan apapun, dia selalu siap dengan alibi yang tidak terbantah. Berdasarkan pemakluman ibunya, jelas sekali dia sering menyulitkan orang lain dan bertindak semena-mena. Kurasa, dia tidak akan pernah berubah karena orang terdekatnya terlalu memakluminya.
Mungkin saja itu bukan pemakluman, bisa jadi dia tidak terkalahkan. Sulit mengalahkan orang yang menikmati perdebatan dan terlalu dominan. Oleh karena itu, aku tidak ingin berlama-lama dan memintanya segera menghabiskan sarapan.
Dia langsung protes dan menudingku menghindar dari pertanggungjawaban.
"Saya bukan orang yang ingkar janji. Nanti siang saya balik lagi dan begitu seterusnya", sanggahku.
Dia hanya melirik makanan yang aku bawa, meski aku sudah memintanya untuk menghabiskan sarapannya.
Aku kesal setiap kali dia mulai bertingkah dan menahanku lebih lama. Aku langsung meraih sendok dan menyuapinya karena sudah tidak tahan berlama-lama dengannya.
"Morning Along", sapa seorang perempuan yang ternyata adalah adiknya, Hani Mikaila.
"Boleh tak sehari tak kacau along ?", responnya.
"Memang tak lah, siapa ?", tanya Hani pada kakaknya sambil merilikku.
Along adalah panggilan yang disematkan pada anak pertama dalam keluarga. Hani memperkenalkan diri dan mengulur tangannya ke hadapanku.
"Ara", sahutku sambil meraih tangannya.
"Oh, ini lah kak Ara", ucapnya seperti sudah pernah mendengar tentangku.
"Seronoknya bisa jumpa kak Ara", lanjutnya ramah.
"Along kenapa manja sangat, makan pun kena suap ?", lanjutnya lagi.
"High five", ucapku sambil mengangkat tangan ke arah Hani.
Dalam sehari aku merasa telah menemukan partner, Hani Mikaila. Kami bisa menjadi partner untuk menyerang Hanan jika terus bersikap semena-mena.
Setelah melakukan "high five", Hani meninggalkan kami.
"Hani aja tau kalau makan disuapin itu kemanjaan", ledekku setelah itu.
"Manja dengan bakal isteri apa salahnya ?", ucapnya dengan gaya bebas tanpa beban.
"Kalaupun bakal istri, masih bakal pun belum jadi istri", jawabku yang mulai terbiasa dengan ucapannya yang terkadang mematikan.