Aku mengikutinya menelusuri beberapa lorong sebelum menggunakan lift menuju ke kamar Hanan yang berada di lantai tiga.
Sebelumnya Bella juga sudah menjumpainya dan mengajaknya makan bersama, tapi tidak digubris. Dia lebih memilih bergelut dengan laptop dan dokumen tercinta.
Aunty Meera mulai mengeluh; Hanan tidak pernah bersikap ramah pada perempuan, bahkan menolak bertemu Bella yang sengaja datang menjenguknya.
Setiap kali ia mencoba mengajak Hanan bicara tentang proposal perjodohan, dia selalu menghindar, bahkan tidak akan pulang ke rumah.
"Hanan tak pernah ambil berat pasal perempuan, tapi aunty tengok dengan Ara lain. Aunty dapat rasa yang Hanan sukakan Ara", lanjutnya.
Sikap Aunty Meera yang straight to the point membuat aku canggung.
Huft, hari yang melelahkan dengan berbagai pengakuan mengejutkan.
Pusaran air mematikan menjebakku menuju dasar; semakin jauh perjalananku, semakin dalam pusaran itu menenggelamkanku.
"Aunty berharap sangat dekat Ara, jangan kecewakan Hanan", ucapnya sambil menggenggam tanganku.
Speechless. Aku kehilangan kata-kata, tidak tahu harus bagaimana. Pilihan terkait masa depan tidak mungkin diputuskan dalam semalam; mengorbankan hati dan perasaan atau mematahkan harapan tulus seorang ibu.
Semua menjadi serba salah, hal kecil bahkan menjadi lebih rumit.
Hidup bersama seseorang yang tidak kita cintai sejak awal bukan langkah yang tepat untuk membina hubungan.
Tentu, itu hanya pendapatku dan pilihanku. Setiap orang tentu punya pemikiran dan opini yang berbeda tentang pernikahan dan permasalahan lain.
Semua begitu membingungkan, aku menemukan ketulusan saat menatap jauh ke dalam mata Aunty Meera.
Tapi, menikahi laki-laki selain Ryan tidak pernah terlintas di benakku.
Sejak awal, aku telah menulis dan menyebut nama Sayed Ryan Idroes dalam doa dan diary-ku; tanpa tahu nama siapa yang telah tertulis untukku dalam kitab Lauhul Mahfudz.
Aunty Meera mengetuk pintu kamar Hanan dan menyuruhnya keluar untuk makan siang, tapi dia menolak dan memilih melanjutkan pekerjaannya.
"Hanan, jom-lah keluar, makan!", ajak ibunya dari depan pintu kamar.
"Hanan tengah sibok buat kerja. Nanti kalau Nan lapar, Nan makan-lah", ucapnya yang tetap kukuh melanjutkan pekerjaannya.
"Ok, ibu tak paksa. Tak nak makan, sudah. Ibu saja yang temankan Ara", lanjut ibunya.
Sama sekali tidak ada reaksi, akhirnya ia menyerah dan meninggalkan kamar putranya. Sangat melegakan, sore ini aku merdeka dari Hanan dan dapat kembali ke restoran.
"He is really hard to handle", ucap ibunya sambil menepuk pundakku.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Pengakuan Aunty Meera sangat akurat, tidak terbantahkan.
That's right, he is hard to handle.
Belum sampai satu menit aku tersenyum cerah, seketika kebahagiaan itu sirna bersama Hanan yang muncul dari balik pintu.
Aunty Meera tersenyum, lalu pergi meninggalkanku dengan anaknya.
Aku berusaha tetap tersenyum. Kata orang, senyuman adalah obat terbaik yang mungkin dapat menyembuhkan seseorang.
"Bersabarlah sebentar lagi!", batinku.
"Saya lapar, jom makan", ucapnya tiba-tiba setelah ibunya pergi.
Dasar manusia aneh, rasa laparnya muncul secara tiba-tiba. Dia sangat membingungkan, kalau kata orang Melayu "pelik betul".
Apapun itu, terserahlah. Aku tidak ingin mempermasalahkannya, yang terpenting hanya menepati janji dan berusaha melakukan yang terbaik untuk balas budi.