Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa saringan terlebih dahulu, aku sedang tidak bisa berpikir; sesegera mungkin mengakhiri ini dan meninggalkan rumahnya adalah prioritasku.
Aku tidak mempertimbangkan bisa saja ucapanku akan menjadi boomerang di kemudian hari, membuatnya menjadi semakin liar dengan harapan-harapannya.
Dia terus memandangiku sambil mengunyah sarapannya, lalu tersenyum.
Tiba-tiba dia berubah menjadi manis dan tidak secerewet awal. Semua perubahan itu sama sekali tidak mengherankan, seharusnya aku melakukan itu sejak dulu.
"Ara nak ke restaurant kan, pergi lah. Saya bisa sambung makan sendiri", ucapnya tiba-tiba.
Dengan semangat aku bangkit dari tempat duduk, lalu beranjak pergi. Aku baru mengerti, dia akan lebih mudah ditangani hanya dengan membenarkan setiap perkataannya.
"Take care, drive elok-elok", ucapnya sesaat sebelum aku pergi.
Dia kembali memanggilku setelah aku berjalan beberapa langkah. Aku bertanya-tanya, apalagi sekarang. Aku menoleh ke belakang dan mencoba tetap tersenyum, meski batinku mengumpatinya.
"Betul cakap ibu, kereta puteh adalah benda kesayangan saya. Tapi saya lebih sayangkan Ara", ucapnya.
Aku merinding seketika mendengar ucapannya. Dia sangat menakutkan, meski aku hanya menganggap ucapannya sebagai angin lalu.
Tanpa mengatakan apapun aku berlalu pergi dan membatin, "It's only in your dreams".
Untuk bisa bertahan di dunia yang jauh dari keadilan, terkadang menjadi tidak adil adalah pilihan.
Mungkin tidak adil baginya jika aku memperlakukannya dengan baik tanpa melibatkan hati. Tapi, itu juga satu-satunya cara bagiku untuk bertahan sampai kondisinya kembali membaik.
_________________
Aku kembali ke rumah sebelum berangkat ke restoran setelah menyelesaikan banyak drama di rumah Hanan.
Sesuai permintaan, aku mulai mengendarai mobil putihnya untuk kegiatan sehari-hari, termasuk ke restoran. Meski tidak merasa nyaman, tapi harus kuakui itu memudahkanku untuk bepergian.
Setelah tiba di restoran, aku beralih ke ruangan Tante Lusi dan dikagetkan oleh kehadiran Ryan yang sengaja menungguku di ruangan itu.
"Why you always skip your medicine ? ", ucapnya setengah marah.
Aku langsung menggeleng, keberatan, aku benci semua jenis obat-obatan dan sengaja melewatkannya ketika Ryan lengah.
Pada akhirnya, dia menyerah karena penolakan yang keras dariku. Kemudian, dia menghampiriku yang masih berdiri di depan pintu dan menarikku ke sofa agar bisa mengganti perban lama dengan perban baru.
"Don't be sick! Don't get hurt! As you can't deal with medicines", ucapnya.
"I've to go. Mungkin nanti malam abang pulang telat", lanjutnya.
Aku hanya menatap Ryan yang kini telah berlalu pergi. Untuk kesekian kalinya, aku terjatuh semakin dalam bersama kebaikan dan perhatiannya.
Meski aku tahu bahwa seseorang telah mengambil tempat di hatinya, diam-diam aku masih berdoa semoga saja waktu akan mengembalikannya padaku.'