Hanan langsung memintaku mendorong kursi rodanya ke teras belakang usai kepergian Ryan.
Sungguh, aku ingin menyingkirkan laki-laki manja ini dari dunia. Tapi apa daya, aku tidak punya kuasa.
Belum apa-apa, rasanya sudah ingin marah. Mungkin sudah bawaan setiap kali melihatnya emosi dan kesalku meningkat tanpa alasan.
Dia adalah laki-laki manja yang jauh dari tipe ideal semua perempuan.
Bagaimana tidak, dokter sudah menyarankannya untuk menggunakan tongkat tapi dia masih memilih kursi roda hanya demi kenyamanannya tanpa memedulikan percepatan proses penyembuhan.
Di area belakang terdapat sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu jati, bertengger kokoh di dekat kolam renang.
Aku duduk di sana usai memindahkan salah satu kursi supaya Hanan bisa duduk dengan kursi rodanya.
Untung saja, suasana rumah itu cukup nyaman untuk melepaskan energi-energi negatif yang terakumulasi; kejenuhan, kepenatan, dan meredam emosi yang melecut keluar.
Aliran air dari dinding yang sengaja didesain untuk menghadirkan suasana alam membawa sedikit ketenangan ke dalam hati.
Di ujung sana ada kolam ikan hias yang diapit oleh air mancur; menjadi sumber suara percikan air. Suara itu memberiku sedikit kedamaian dan kesan seperti tengah berada di alam terbuka.
"Ara bawa apa ?" tanya ibunya yang baru menghampiri kami.
"Breakfast untuk Hanan", jawabku.
"Untuk apa susah-susah, dekat rumah ada banyak makanan", jawabnya.
Seandainya Hanan pengertian seperti ibunya, aku akan ikhlas merawatnya. Aku akan bersikap lebih baik jika saja dia tidak selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan keadaanku.
"Kamu pun satu, suka sangat kenakan Ara", lanjut ibunya.
"Hanan cuma nak rasa air tangan Ara", sanggahnya.