Chereads / A Boy Named Wei Wuxian / Chapter 10 - chapter nine

Chapter 10 - chapter nine

Dua tahun berlalu dengan cepat.

Banyak hal mulai berubah meski sebagian lainnya masih berjalan dilingkaran yang sama.

Bagi keluarga Jiang, dua tahun masih belum cukup untuk membuat mereka terbiasa dengan ketiadaan Wei Wuxian di rumah mereka.

Selama ini, pemuda itu seperti halnya matahari di musim panas. Membawa keceriaan dan suasana cerah dikediaman mereka yang terkadang mendung.

Ia seperti halnya bunga yang tumbuh ditengah gurun pasir yang gersang.

Wei Wuxian adalah sebuah alasan kehangatan di rumah mereka.

Dan sekarang, dia menghilang tanpa jejak.

Hari dimana ia pergi adalah badai bagi keluarga Jiang.

Jiang Yanli bahkan enggan keluar kamarnya selama beberapa hari ketika mengetahui kepergian adiknya yang tiba-tiba.

Ia sempat memilih membatalkan pernikahannya sampai Wei wuxian kembali.

Meski pada akhirnya ia tetap menikah setelah bujukan ayah dan ibunya.

Berbeda dengan Jiang Cheng yang lebih memilih menghancurkan barang-barang dikamarnya.

Ia tak percaya pada apa yang ia dengar dari ayahnya, bahwa Wei Wuxian telah pergi tanpa pamit.

Ia merasa marah, namun juga menyesal.

Ia kecewa, pada dirinya sendiri yang tak bisa jujur pada perasaannya.

Ia marah karena telah melontarkan kalimat kasar pada pemuda itu.

Andai saja ia bisa lebih menahan emosinya.

Mungkin ia tak akan kehilangan Wei Wuxian dengan cara seperti ini.

.

.

Dua tahun telah berlalu,

Dan hari ini adalah hari yang paling dinanti baik oleh keluarga Jiang maupun Jin.

Setelah dua tahun pernikahan putra putrinya, akhirnya cucu pertama mereka lahir.

Dengan wajah lelah Jiang Yanli menggendong bayi mungil dilengannya. Bibir pucatnya mengulas senyum lembut, ia merasa bahagia atas kelahiran putranya itu.

"A Li, selamat. Bayimu sangat tampan." Nyonya Jin mengelus rambut Jiang Yanli lembut. Ia meminta untuk menggendong cucu pertamanya.

"Hai tampan, ini grannie." Bayi dalam gendongannya menggeliat kecil membuat dirinya gemas.

Mengingatkannya pada Jin Jixuan saat baru lahir dulu.

"Bukankah dia tampan sepertiku?" Jin Guangshan tersenyum lebar, namun segera disikut oleh nyonya Jin.

"Kau pria tua. Menjauh sana!" Ujarnya galak.

Jin Guangshan berdecak jengkel. Istrinya itu memang selalu menyebalkan.

Pintu ruangan terbuka, Jin Jixuan berjalan menghampiri istrinya dan mengecup keningnya lembut. "Kau baik-baik saja?" Tanyanya. Jiang Yanli terseyum sambil mengangguk lemah.

"Ji Xuan, lihat putramu." Nyonya Jin menghamipiri Jin Jixuan dan memperlihatkan bayinya.

Ayah muda itu meraih si bayi mungil dan mendekapnya dalam pelukan.

"Hai baby." Bisiknya lembut.

Jiang Yanli yang melihat itu tak bisa menahan tangis. Ia merasa terharu.

Meski pada awalnya ia merasa ragu akan perasaan suaminya, namun lambat laun pria itu mulai membuka hati padanya dan memperlakukannya dengan sangat baik dan lembut.

"Kau sudah menyiapkan nama?" Tanya Jiang Yanli. Jin Jixuan masih menatap putranya, "Jin Ling." Jawabnya singkat.

"Jin Ling. Aku suka nama itu." Jin Jixuan menoleh pada Jiang Yanli dan kembali mencium kening ibu dari anaknya.

Dalam hati ia mengucapkan beribu maaf, karena sampai detik ini ia masih belum bisa mencintai wanita itu sepenuhnya.

Seperti apa yang Wei Wuxian inginkan.

Ia hanya harus membahagiakan Jiang Yanli tanpa memikirkan perasaan tak berbentuk miliknya.

Beberapa saat kemudian ruangan itu dipenuhi orang.

Keluarga Jiang baru saja tiba dengan berbagai perlengkapan untuk putri dan cucu mereka.

Madam Yu meraih Jiang Yanli kedalam pelukannya, "A Li, ibu tidak menyangka kau sudah menjadi seorang ibu sekarang." Jiang Yanli hanya terkekeh mendengar ucapan ibunya.

Ketiga wanita disana seketika larut dalam obrolan tentang tata cara merawat bayi.

Jiang fengmian menghampiri Jin Jixuan yang masih menggendong bayinya.

Ia mengelus pipi lembut cucunya.

"A Xuan. Apa kau bahagia dengan kelahiran putramu?" Tanyanya.

Jin Jixuan menatap ayah mertuanya tak mengerti.

"Tentu saja ayah. Ini adalah putra pertamaku"

Jiang fengmian tersenyum miris. Putra pertama?

Bagaimana reaksinya jika ia tau bahwa putra pertamanya ada bersama Wei Wuxian?

Apa yang akan menantunya itu lakukan?

Apakah ia akan pergi dan meninggalkan putri serta cucunga disini?

"Ayah, ayah baik-baik saja?" Jin Jixuan bertanya khawatir.

Jiang Fengmian menggeleng dan meminta bayi itu untuk ia gendong.

Seketika ia mengingat cucunya yang lain.

Ia berharap, suatu saat putranya akan pulang.

Ia berharap, keadaan akan berubah menjadi lebih baik.

.

.

Cahaya matahari menelisik melalui celah-celah jendela yang terbuka. Kicauan burung turut memeriahkan suasana pagi yang cerah.

Hampir disetiap dinding rumah itu terdapat berbagai potret bayi menggemaskan.

Ketika ia baru saja lahir hingga potret dirinya dengan kue ulang tahun dengan lilin angka 1.

Dinding itu seolah bercerita tentang setiap pertumbuhan sang bayi menggemaskan.

Samar-samar, suara rambling terdengar di salah satu ruangan di rumah itu, sosok bayi mungil berusia satu tahun tengah memainkan sendok ditangannya.

Mulut dan tangannya penuh oleh makanan bayi yang ada di mangkuk dihadapannya.

"A Yu, makan dengan benar sayang"

Dan seorang pemuda yang tengah mengenakan apron menghampirinya.

Anak itu masih tertawa lebar, ia menyodorkan sendok belepotan ditangannya ke mulut orang dihadapannya.

"Hap." Pemuda itu memasukan isi dari sendok ke mulutnya.

Ia kemudian terkekeh dan mengambil sendok juga mangkuk itu untuk disimpan ketempat cucian.

"A Yu sudah kenyang ya" ujarnya.

Ia lalu membersihkan pipi gembul putranya dengan tissue basah.

Anak itu kembali tertawa, kali ini kedua tangannya terangkat meminta untuk digendong.

"Ma... ma..." ucapnya terbata dengan suara lucu khas bayi.

Wei Wuxian, pemuda itu merengut dan bersidekap. "A Yu, bilang papa, oke? Bukan mama." Protesnya. Berapa kali ia harus mengajarkan putranya itu untuk memanggilnya papa?

Seolah mengerti, A Yu menggeleng kencang, "ma.. ma..."

Wei Wuxian menghela napas lelah.

Naluri bocah memang mengerikan. Bayi itu seakan mengerti bahwa dirinyalah yang telah melahirkannya sehingga memanggilnya dengan sebutan mengerikan itu.

"No mama, say papa, okay?" Ia menggembungkan pipinya, berpura-pura marah pada putra kesayangannya itu.

Namun bayi itu malah bereaksi lain. Ia mengedipkan matanya lucu sambil menatap Wei Wuxian dengan mata besarnya.

"Ma.. ma.."

Wei Wuxian tidak tahan, ia menggigit bibirnya menahan gemas.

Lalu ia raih bayi itu kedalam pelukannya dan menciuminya gemas. "Kenapa kau begitu menggemaskan, ha? Baiklah, papa rela dipanggil mama oleh bayi lucu ini, kau puas?"

A Yu menjerit senang ketika sang mama menggelitiki perut gembulnya.

Drrt drrt

Wei Wuxian berjalan kearah ponselnya yang berdering diatas meja.

Layar lebar ponsel itu menunjukan alarm jadwalnya hari ini.

"A Yu, saatnya mandi." Ia mengangkat putranya tinggi-tinggi dan membawanya ke kamar mandi.

Setelah selesai, Wei Wuxian mendandani putranya dengan pakaian hangat lucu. Ia memakaikan hoodie bertelinga kucing dikepala putranya.

"A Yu, lihat. Semakin hari pipimu semakin tumpah. Kau persis seperti mochi. Boleh mama menggigitnya?" Ia memainkan pipi lembut putranya gemas.

"No ma.. no.." bayi itu menggeleng, kedua tangannya menangkup pipinya agar tidak digigit sang mama.

Wei Wuxian kembali tertawa melihat tingkah menggemaskan putranya.

Usianya memang sudah menginjak satu tahun, namun putranya itu masih sedikit kesulitan melafalkan kosakata.

Meski begitu, dokter bilang tidak apa-apa. Bahkan menurut hasil tes, putranya itu kemungkinan besar akan tumbuh menjadi anak yang cerdas.

Ia hanya perlu bersabar dan terus mengajak putranya berbicara tentang hal apapun.

Wei Wuxian membereskan tas berisi perlengkapan putranya dan membawanya keluar.

Ia berjalan menuju sebuah kedai kopi tepat disamping rumahnya.

Itu adalah kedai kopi miliknya. dengan dibantu Jiang Fengmian, ia menggunakan uang peninggalan orangtuanya untuk membeli sebuah rumah dan membangun kedai kopi miliknya sendiri.

Ia hanya ingin memiliki perencanaan masa depan yang matang.

Putranya telah kehilangan ayahnya bahkan sebelum pria itu mengetahui keberadaan putranya.

Setidaknya, sekarang ia ingin putranya hidup dengan baik. Terlepas dari masa lalu kelam dirinya, tentang kebodohan dirinya diwaktu lampau.

"Xingchen gege." Wei Wuxian melambai pada seorang pria yang tengah mengelap gelas-gelas di etalase.

Pria itu menoleh dan membalas lambaiannya. "A Xian, kau sudah akan pergi?" Tanyanya.

Ia mengambil alih bayi dalam gendongan Wei Wuxian. "Selamat pagi tampan." Xiao Xingcheng mengecup gemas pipi lembut itu.

"Dimana Song Lan gege?" Tanyamya ketika tak mendapati pria jangkung itu dimanapun.

"Song Lan sedang mengecek persediaan barang digudang. Sepertinya kita hampir kehabisan stok."

Wei Wuxian mengangguk mengerti, "baiklah, aku akan menghubungi suplier kita nanti."

Xiao Xingchen tertawa, "biar aku saja. Kau fokus saja pada kuliahmu."

"Xingchen gege, apa yang bisa kulakukan tanpamu?" Ia berujar berlebihan membuat Xiao Xingchen memutar bola matanya sebelum keduanya tertawa.

"Sudahlah, pergi sana. Aku akan menjaga putrmu dengan baik."

Wei Wuxian pergi setelah mencium pipi A Yu dan meletakan perlengkapan bayinya.

Jam ditangannya menunjukan pukul 10, Wei wuxian berjalan menuju halte bis terdekat.

Ia mendudukan dirinya di salah satu bangku kosong. Sesekali ia memejamkan mata saat cahaya matahari mengusir hawa dingin ditubuhnya.

Sekarang masih pertengahan musim dingin, dan setiap musim ini datang, ingatannya selalu berputar pada hari dimana ia pergi dari negara kelahirannya sendiri.

Ia pergi diam-diam dengan dibantu Jiang Fengmian.

Kala itu ia tak memiliki tujuan, ia hanya menebak kemana ia akan pergi meski tak yakin dengan apa yang akan ia hadapi dimasa depan.

Jerman.

Negara yang kini menjadi rumahnya.

Ia masih ingat bagaimana sulitnya beradaptasi dinegara asing seorang diri. Meski Jiang Fengmian bersedia tinggal bersamanya selama beberapa waktu namun ia menolak.

Pamannya sudah banyak membantunya dan ia hanya ingin melakukan semuanya dengan mandiri.

Selama beberapa bulan ia belajar beradaptasi sambil mengelola kedai kopinya yang baru saja buka.

Sampai suatu saat ia bertemu dengan seseorang yang berkebangsaan sama dengannya.

Xiao Xingcheng.

Seorang pria muda yang lebih tua enam tahun diatasnya.

Itu adalah pertemuan yang tak pernah disangkanya. Apalagi ketika ia menemukan sebuah fakta yang selama ini tak ia ketahui.

Bahwa sang ibu, Changse Shanren adalah seorang anak yang tumbuh di panti asuhan.

Bersama Xiao Xingchen.

Pemuda itu menceritakan bagaimana ibunya merawatnya seperti seorang adik. Meski ia tak terlalu ingat karena waktu itu ia masih sangat kecil.

Dari sana, kedektan mereka terjalin. Xiao Xingchen mengetahui kondisi sulit Wei Wuxian, termasuk kehamilan tak lazim pemuda itu. Namun ia tak merasa jiji, Xiao Xingchen menganggapnya anugrah.

Ia bahkan membantu merawat Wei Wuxian bersama kekasihnya, Song Lan, hingga proses persalinan.

Bagi Wei Wuxian, mereka sudah seperti keluarga.

Wei Wuxian membuka matanya ketika bis datang. Ia mengambil tempat duduk didekat jendela.

Terkadang ia masih merindukan tempat kelahirannya.

Ia merindukan keluarga Jiang, terutama Jiang Yanli.

Jiang Yanli, ia berharap pernikahan shijienya bahagia.

Ia berjarap Jin Jixuan akan mencintai kakaknya sepenuh hati.

Juga..

Enyah kenapa, nama Lan Wangji muncul begitu saja dibenaknya.

Tak ada memori spesial tentang pemuda itu selain hukuman bertubi-tubi yang ia dapatkan.

Namun, nama itu seolah terpatri dalam pikirannya tanpa ia sadari.

Wei Wuxian tersenyum kecil mengingat ekspresi kaku pemuda itu.

Ia penasaran. Apakah sekarang Lan wangji masih seperti manusia es?

Wei Wuxian tak menghiraukan seseorang yang duduk disampingnya. Ia masih bernostalgia dengan Lan wangji dimasa lalu.

Sampai sebuah tangan hangat menarik kepalanya dan menyenderkannya dipundak orang tersebut.

Ia tersentak dan mendapati seorang pemuda dengan taring kecil tersenyum lebar padanya.

"Xue Yang! Apa yang kau lakukan?!" Ia mendesis.

Adik tingkatnya ini selalu melakukan hal mengejutkan seperti ini.

"Xian gege terus melamun dari tadi. Aku khawatir." Cengirnya.

Wei Wuxian memutar bola matanya malas. Ia tak ingin meladeni bocah yanh selalu menempelinya itu.

Sepanjang perjalanan ia tak menghiraukan ocehan Xue Yang.

Bis berhenti di halte kampusnya.

Ia berjalan cepat namun Xue Yang masih tetap mengikutinya.

Ia berbalik dan menatap galak.

"Xue Yang, berhenti mengikutiku!!"

"Aku tidak mengikutimu." Jawabmua polos.

"Laku kenapa kau masih disini?"

Xue Yang malah tertawa, "Xian Gege lupa? Aku juga kuliah disini."

Seketika Wei Wuxian kicep, ia benar-benar lupa jika bocah menjengkelkan itu satu fakultas dengannya.

"Xian gege GR padaku ya?" Ia menggoda, namun Wei Wuxian hanya mendengus dan kembali melangkah menuju gedung kampusnya.

"Xian gege, wo ai ni!!" Xue Yang memang gila, ia berteriak dihalaman kampus yang luas membuat beberapa mahasiswa yang ada disana tertawa mendengarnya.

Wei Wuxian berlari sambil menutup telinganya.

Xue Yang itu memang bocah paling menjengkelkan didunia.

Brukk

"Awh" Wei Wuxian mengaduh ketika ia tak sengaja menabrak dada seseorang.

Ia berlari terburu-buru hingga tak melihat orang dihadapannya.

"Maaf, aku tidak sengaja." Ia membungkik beberapa kali.

"Wei Ying."

Wei Wuxian tersentak.

Suara ini..

Ia mendongak menatap seseorang yang menjulang tinggi dihadapannya.

Seseorang yang baru saja ia pikirkan.

Muncul tanpa diduga.

"Lan Zhan?"

.

.