Waktu menunjukan pukul 1 dini hari.
Wei Wuxian membuka pintu kamarnya pelan dan memastikan rumah itu sudah sunyi.
Ia berjalan mengendap menuruni anak tangga.
Dihadapannya berdiri sebuah pintu yang terbuat dari kayu mahoni yang kokoh. Lampu didalamnya masih menyala, dan ia bersyukur akan hal itu.
Tok tok
Ia mengetuk pintu itu pelan.
"Masuk." Sahut suara didalam sana.
Wei Wuxian membuka pintu dan menemukan Jiang Fengmian yang tengah duduk dikursi kebesarannya.
Selama ini, tuan besar Jiang itu memang jarang sekali tidur dikamar utama bersama Madam Yu.
Ia lebih sering menghabiskan waktunya di ruang kerja seperti ini.
"A Xian, kau darimana saja tadi? Kenapa tidak bergabung?" Tanya Jiang Fengmian, lelaki itu tersenyum hangat dan mengisyaratkan pemuda dihadapannya untuk duduk.
Wei Wuxian menurutinya, ia hanya tersenyum canggung sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Aku ketiduran. Lagi pula aku harus menyelesailan hukuman yang guru Lan berikan padaku." Ia menjawab dusta.
Jiang Fengmian tertawa kecil, sudah paham dengan tabiat nakal putra angkatnya itu.
"Dan apa yang kau inginkan? Tidak biasanya kau menemui paman disini."
Mendengar itu Wei Wuxian kembali gelisah.
Ia ragu akan permintaan yang ingin ia sampikan.
"A Xian?" Jiang Fengmian bertanya khawatir ketikapemuda itu hanya diam sambil menggigit bibirnya kecil. Tampak kalut akan sesuatu.
"Paman, kau pernah bilang bahwa kau akan memberikanku kuasa atas peninggalan orangtuaku ketika aku sudah dewasa." Ia mencicit, merasa tak enak karena telah berkata demikian pada Jiang Fengmian.
Pria itu tertawa kecil, "apa kau pikir kau sudah dewasa?"
Wei Wuxian semakin menggigit bibirnya gugup.
"Paman pikir A Xian masih anak-anak. Kau masih seperti A Xian berumur 9 tahun." Pria itu kembali tertawa kecil.
Wei Wuxian memberanikan diri menatap paman Jiang, dan perasaan bersalah semakin menenggelamkannya tatkala senyum lembut itu tertuju padanya.
"Tentu saja paman akan memberikannya. Tapi apakah kau sudah siap?" Jiang Fengmian mulai serius.
Wei Wuxian mengangguk.
"Apa yang akan kau lakukan dengan semua itu? Paman bahkan masih bisa membiayai sekolahmu. Kau bisa menyimpan itu untuk nanti, saat kau sudah benar-benar matang."
Wei Wuxian memilin ujung bajunya diam-diam.
"Paman. Izinkan aku pergi."
Ini adalah permintannya yang paling berat.
Ia sudah memperhitungkan reaksi Jiang Fengmian yang akan shock seperti ini.
"Apa?"
"Paman kumohon. Aku sangat berterimakasih pada paman yang sudah merawatku dengan baik. Tapi sekarang, kumohon, izinkan aku pergi."
Jiang Fengmian menatapnya tak mengerti. Kenapa putranya meminta hal mengejutkan ini secara tiba-tiba?
"Tapi, kenapa?"
Wei Wuxian tak menjawab.
Ia malah terisak pelan membuat Jiang Fengmian panik.
Pria itu menghampiri Wei Wuxian dan memeluknya erat.
"A Xian, kenapa?"
Dan ia bimbang. Haruskah ia ceritakan keadaannya? Dan apa yang akan pria itu lakukan jika ia jujur padanya?
"Paman, aku sudah sangat bersalah. Maafkan aku."
"A Xian, apa yang kau katakan?"
Ia masih memeluk pemuda itu erat. Berusaha menenangkannya.
"Paman, aku hamil."
Jiang Fengmian membeku seketika. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Ia menatap Wei Wuxian yang masih menangis.
Dirinya tak ingin percaya, namun melihat ekspresi menderita Wei Wuxian membuatnya menelan ludah.
"A Xian, apa yang kau katakan?"
Wei Wuxian tak menjawab. Ia memberikan kertas yang terlipat kusut dari saku piyamanya.
Jiang Fengmian tentu merasa shock berat. Ini adalah fakta paling mengejutkan baginya.
Wei Wuxian adalah laki-laki.
"A A Xian, ini?"
Wei Wuxian masih tenggelam dalam isakan. Ia bahkan tak berani menatap wajah teduh itu lagi.
Jiang Fengmian kembali duduk ditempatnya semula, kembali membaca isi surat itu berkali-kali namun hasilnya tetap sama.
"A Xian, bisa kau ceritakan pada paman semuanya?"
"Paman akan membenciku jika aku katakan semuanya."
Jiang Fengmian merasa terpukul mendengar kalimat itu. Ekspresi tersiksa Wei Wuxian juga suara ceria yang berubah menjadi parau, tatapan kosong yang mengisi pupil abu-abunya.
Bagaimana bisa ia membenci anak ini?
"Kau harus jujur pada paman jika ingin pergi dari sini."
Wei Wuxian memajamkan matanya, ia pasti sudah menjadi pendosa menjijikan sekarang.
Disisa malam itu Jiang Fengmian mendapatkan fakta mengejutkan bertubi-tubi.
Bagaimana mungkin calon menantunya memiliki hubungan sejauh itu dengan putra angkatnya sendiri? Hingga membuahkan janin tak bersalah.
"Paman akan membatalkan pernikahan shijie mu."
Putus Jiang Fengmian final.
"Tidak, paman!" Wei Wuxian segera meraih kaki Jiang Fengmian dan memeluknya erat.
"A Xian, jika tidak seperti itu lalu bagaimana denganmu? Dengan bayimu?" Ia bertanya frustasi.
Ia menyayangi putrinya tapi juga tidak bisa membiarkan Wei Wuxian menanggung beban seorang diri.
"Paman, cukup biarkan aku pergi."
Jiang Fengmian tentu merasa terpukul dengan fakta ini. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Baik Wei Wuxian maupun Jin Jixuan, mereka hanya anak muda yang dibutakan perasaan.
Ia meraih Wei Wuxian dalam pelukannya.
"A Xian." Bisiknya.
Ia tak pernah menangis seperti ini.
Akan tetapi, melihat anak dari seseorang yang ia cintai mengalami kejadian seperti ini membuatnya teriris.
"Baiklah, kau akan pergi kemanapun yang kau inginkan. Tapi kau harus membiarkan paman tau setiap kondisimu, mengerti?"
Wei Wuxian mengangguk dalam pelukan Jiang Fengmian. Ia merasa lega karena tuhan telah mengirim orang sebaik pamannya ini.
.
.
Lan Wangji baru saja memasuki perpustakaan ketika seseorang menutupi pandangannya dengan selembar kertas berisi lukisan.
Itu adalah lukisan dirinya.
"Lan Zhan!" Lalu sebuah wajah muncul dari balik lukisan itu dengan cengiran lebarnya.
"Wei Ying." Ia mendesis kesal.
Wei Wuxian terkekeh lalu menarik tangan Wangji menuju meja yang ada disudut perpustakaan.
"Lepaskan." Ujarnya dingin. Namun Wei Wuxian tak mendengar. Ia mendudukan Lan wangji di kursi dekat jendela sementara ia duduk dihadapannya.
"Lan Zhan. Apa kau tidak bisa tersenyum sedikit saja?"
Wangji hanya mendelik dan membuka buku yang ada ditangannya.
Wei Wuxian mendengus.
Ia kembali mencorat coret kertas yang tadi ia tunjukan pada Wangji sambil tertawa jahil.
"Ini. Untukmu." Ia menyodorkan kertas itu kehadapan Lan wangji, pria itu meletakan bukunya dan mengambil kertas dihadapannya.
Itu adalah lukisan yang indah. Ia harus mengakui bahwa Wei Wuxian adalah seorang jenius. Tak hanya teori dan logika, laki-laki itu bahkan pintar dalam bidang seni.
Namun matanya memicing tatkala ia menyadari siluet sketsa bunga tersampir ditelinganya dalam lukisan, seketika Wei Wuxian tertawa.
"Lan Zhan, bukankah itu indah?"
Lan Wangji menggeram sinis, "kekanakan!"
Wei Wuxian masih tertawa, menggoda Lan Wangji memang semenghibur ini ternyata.
Ia membenarkan posisi duduknya. "Lan Zhan, kau pasti akan merindukanku jika kita berpisah nanti. Orang sepertiku kan hanya satu, jadi kau harus baik-baik padaku."
Ia berkata setengah bercanda, meski dalam hatinya ia telah mengucapkan perpisahan pada lelaki itu.
Mereka memang tak memiliki hubungan yang baik.
Lan Wangji yang selalu membidik Wei Wuxian sebagai target hukumannya dan Wei Wuxian sang pembuat onar yang tak menyukai hal-hal kaku seperti Lan Wangji.
Namun entah mengapa, Wei Wuxian sangat ingin menghabiskan hari terakhirnya dinegara ini bersama pria kaku itu.
"Lan Zhan, apa menurutmu aku semenjengkelkan itu?" Ia bertanya sambil menyangga dagunya.
"Ya." Jawabnya singkat.
"Ah, Lan Er Gege, padahal aku berusaha bersikap manis. Kenapa kau selalu dingin seperti ini?" Ia merengek, namun Lan Wangji tak bergeming.
Ia masih fokus pada buku yang ia baca.
"Lan Zhan"
"...."
"Lan Wangji"
"....."
"Wangji Xiong"
"...."
Wei wuxian memutar bola matanya. Ia merangkak mendekati Lan Wangji, telunjuknya menurunkan buku yang menutupi wajah tampan itu perlahan dan berbisik, "Lan Er Gege." Disertai senyuman memikat.
Otomatis Lan Wangji membeku, telinganya memerah parah.
Apa Wei Wuxian barusaja menggodanya?
"Wei Ying!" Lan wangji was was, jantungnya berdegup kencang akibat jarak mereka yang terlampau dekat.
"Lan Zhan, lihat ekspresimu haha." Wei Wuxian kembali ke bangkunya sambil tertawa kencang.
Untung saja perpustakaan sedang sepi jadi tidak ada yang menegurnya.
Lan Wangji segera membereskan bukunya dan pergi dari sana.
"Lan Zhan."
Ia tak mendengar panggilan itu dan meraih knop pintu.
"Terimakasih." Ia terpaku, wajahnya menoleh kecil dan mendapati pemuda Wei itu tersenyum kecil sambil melambaikan tangan padanya.
Ia tidak tau. Tapi perasaannya mengatakan bahwa ada hal yang salah.
Ia seolah merasa tak akan bisa bertemu pemuda itu lagi.
Wangji mengabaikan semua itu dan berlalu pergi.
Itu mungkin bukan sesuatu yang berarti.
.
.
Namun pada akhirnya, apa yang ia takutkan tempo hari adalah sebuah firasat nyata.
Sejak hari dimana ia bersama Wei Wuxian sampai hari kelulusan tiba, pemuda itu menghilang tanpa jejak.
Bukan hanya dirinya, orang-orang yang selalu bersama Wei Wuxianpun mempertanyakan kepergian pemuda itu.
Kecuali Jiang Cheng yang kian dingin.
Emosi pemuda Jiang makin tak terkontrol dan bisa memaki siapapun dengan mudah bahkan karena masalah sepele.
Pun demikian Jin Jixuan. Kabar pernikahannya yang telah digelar tiga bulan sebelum kelulusan dengan nona muda Jiang sudah tersebar, semua orang mengucapkan selamat, tapi pemuda itu bahkan tak merasa bahagia.
Gurat kekhawatiran memenuhi wajah rupawannya.
Lan wangji menghela napas, ia segera pergi dari aula perayaan dan mengurung diri diperpustakaan.
Ia menyentuh bangku yang diduduki Wei wuxian terkahir kali.
"Wei Ying, kau kemana?" Bisiknya lirih.
Wangji tak berharap akan kehilangan pemuda itu secepat ini, dengan cara seperti ini.
.
.
Lain hal dengan keadaan di kediaman Jiang.
Madam Yu melempar tas mahalnya keatas sofa. "Fengmian, apa kau tidak tau keberadaan anak itu? Ini bahkan sudah hampir setahun!!" Ia bertanya marah pada suaminya.
Jiang Fengmian melonggarkan dasinya, ia membuka jas hitam yang ia kenakan dan menyampirkannya di atas sofa.
"Dia bahkan pergi tanpa pamit!"
"Sayang, sudahlah. Biarkan anak itu pergi. Bukankah itu yang kau mau?" Jawabnya kalem.
Namun Madam Yu malah semakin memberang. "Apa maksudmu? Kau pikir aku sangat ingin mengusir anak itu? Begitu?"
Jiang Fengmian menghela napas lelah, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya.
"Selama ini kau selalu menunjukan ketidak sukaanmu pada A Xian. Dan setelah dia pergi kau menanyakan keberadaannya, jadi apa yang kau mau? Kau ingin dia terus tertekan diperlakukan seperti itu olehmu? Bahkan belakangan Jiang Cheng juga mengabaikannya. Dia pergi dari rumah ini adalah pilihan terbaik. Setidaknya dia bisa menemukan kebahagiaannya sendiri."
Madam Yu tak menjawab, ia merasa kaget atas ucapan yang baru saja suaminya lontarkan.
Jiang Fengmian berlalu menuju ruang kerjanya.
Jiang Cheng yang sedari tadi tak bersuara berlari menyusul.
Ia mengetuk pintu dihadapannya kemudian masuk.
"A Cheng?" Tanya ayahnya heran.
Jiang Cheng berjalan kehadapan Jiang Fengmian. "Ayah tau keberadaan Wei Wuxian?" Tanya nya to the poin.
Jiang Fengmian tak menjawab. Ia menatap putranya lekat.
"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu. Hari ini kau pasti lelah."
"Ayah!"
"Jiang Cheng. Pergilah."
Jiang Cheng menggeram marah, "dimana Wei Wuxian?"
"Apa yang akan kau lakukan jika aku memberitaumu dimana dia?" Tanya Jiang Fengmian dingin.
Jiang cheng tersentak.
Iapun tak tau apa yang akan ia lakukan jika bertemu pemuda itu.
"A Cheng, biarkan dia pergi. Kita tidak bisa terus menahannya disini. Dia juga pasti ingin bahagia."
Kata-kata ayahnya menohok ulu hatinya.
Ia kembali mengingat sikap juga kata-kata keji yang pernah ia lontatkan pada pemuda itu.
Dan kini ia merasa amat menyesal.
Jiang Cheng tak tau jika pada akhirnya akan seperti ini.
Pada akhirnya, Wei Wuxian akan pergi dari hidupnya dengan cara seperti ini.
.
.