Wei Wuxian baru saja menuruni tangga ketika pemandangan sibuk di kediaman Jiang tertangkap matanya.
Ia melihat beberapa pekerja tengah mendekorasi beberapa bagian rumah dengan bunga dan beberapa lainnya sibuk menyiapkan vas kristal di meja ruang tengah.
"A Xian, selamat pagi." Jiang Yanli menyapanya.
Wei Wuxian tersenyum lebar dan berjalan kearah kakaknya itu lalu memeluknya. "Shijie, kenapa hari ini kau tampak berbeda?" Ia bertanya manja.
Jiang Yanli tertawa kecil dan mencubit ujung hidung adiknya. "Apa aku tampak jelek?"
"Tidak!! Shijie tidak pernah jelek!! Shijie adalah orang tercantik yang pernah kutemui." Jiang Yanli kembali tertawa. "Kau ini."
Wei Wuxian ikut terkekeh.
"Shijie, apa hari ini akan ada pesta? Kenapa sibuk sekali?" Ia bertanya penasaran.
Jiang Yanli tidak langsung menjawab. Nona muda Jiang itu malah tersenyum malu-malu dengan pipi merah.
"A Xian, kau ingat soal perjodohan yang aku ceritakan waktu itu? Ibu bilang tanggalnya akan dipercepat, dan hari ini mereka akan melamarku secara resmi."
Bagi Wei Wuxian, Jiang Yanli adalah salah satu orang yang paling berharga baginya, dan mendapati kakaknya itu tengah berbahagia mana mungkin ia tidak ikut merasakan?
"Shijie serius? Aku tidak sabar bertemu dengannya! Akan kupastikan dia tidak akan pernah menyakitimu!!"
Jiang Yanli mengelus rambut Wei Wuxian, "jangan melakukan hal yang aneh-aneh."
Wei Wuxian hanya menunjukan cengiran lebarnya.
"Jiejie, kenapa masih disini? Ibu sudah menunggu di mobil." Jiang Cheng datang menginterupsi, pemuda itu tersenyum lembut pada jijie kesayangannya namun beralih dingin ketika matanya bersibobrok dengan Wei Wuxian.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Kalian jangan bertengkar ya?" Ia mengusap pipi kedua adiknya untuk menyusul ibunya. Rencananya, ia akan ke salon dan mengambil gaun di butik langganan ibunya.
"Jiang Cheng-"
Si pemuda Jiang berlalu tanpa mengindahkan panggilan Wei Wuxian.
Ia menatap punggung yang berlalu pergi. Apakah Jiang Cheng benar-benar kecewa padanya?
Deringan ponsel mengagetkan Wei Wuxian, ia melihat caller Id si pemanggil dan menemukan nama kekasihnya disana.
Setidaknya, ia berharap bisa merasa sedikit tenang jika mendengar suara pria itu.
"Ji Xuan." Ia mencoba terdengar ceria, namun malah disambut keheningan cukup panjang.
"Ji Xuan, kau masih disana?"
"Wei Ying, bagaimana kabarmu?"
Wei Wuxian mengernyit, ada apa dengan Jin Jixuan? Tidak biasanya ia begini. Suaranya terdengar lelah dan letih.
"Aku yang harusnya bertanya, apa kau baik-baik saja?"
Keadaan kembali hening. Tiba-tiba rasa cemas merayapi hati Wei Wuxian.
"Ji Xuan, kau mau mendengar sesuatu?" Ia mencoba mencairkan suasana kaku diantara mereka, ia sangat bersemangat ingin memberitau Jin Jixuan perihal kehamilannya sekatang juga.
Namun Jin Jixuan tak menjawab.
"Ji Xuan, aku-"
"Wei Ying, aku akan menikah."
Senyum Wei Wuxian luntur. Pijakannya sedikit goyah, ia bahkan hampir menjatuhkan ponselnya.
"Apa?" Tanyanya pelan.
Ia masih terlalu shock dengan kabar yang baru ia dengar.
"Aku, akan segera menikah. Maafkan aku."
Ritme jantungnya tiba-tiba meningkat, keringat dingin bahkan telah menetes di pelipisnya.
Apa ia salah dengar?
Jin Jixuan bilang ia akan menikah? Lalu bagaimana dengannya? Dengan bayi mereka? Dengan kehamilan tidak normalnya?
Wei Wuxian merasa pusing seketika. Ia menyangga tangannya di undakan tangga.
Suara disambungan telepon masih hening.
"Kau sedang mengerjaiku ya?" Wei Wuxian tertawa dengan terpaksa, bagaimanapun ia hanya berharap pemuda itu tengah mengerjainya saja.
Karena ia merasa buntu jika pada akhirnya apa yang pemuda itu katakan adalah benar.
"Wei Ying."
"Ji Xuan, sepertinya aku harus segera pergi. Nanti kita bicara lagi." Wei wuxian segera mematikan ponselnya dan bergegas kembali ke kamarnya.
Ia mengusap perutnya yang masih datar. Ia tak tau apa yang harus ia lakukan dengan bayinya sekarang.
Jika saja dia perempuan, mungkin ia akan sedikit lega.
Tapi kondisinya adalah seorang pria.
Pria hamil.
Bagaimana dunia akan memandangnya? Ia tak siap jika harus menghadapi penghakiman semesta tanpa seseorang yang akan menguatkan dirinya.
Wei Wuxian memejamkan mata.
Berharap apa yang ia dengar hanyalah kebohongan.
.
Namun memang pada akhirnya, kenyataan adalah hal yang paling menyakitkan.
Mau tak mau, sudi tak sudi, ia tetap harus menghadapinya.
Ia berdiri di lantai dua rumah besar itu.
Menyaksikan Jiang Fengmian dan Madam Yu yang tengah menyambut tamunya. Sedang Jiang Cheng berjalan sambil menggandeng Jiang Yanli menuruni tangga.
Dan disana, seseorang dengan jas hitam yang mewah berdiri kaku sambil menatapnya.
"A Li sayang, kenapa kau bisa secantik ini?" Nyonya Jin menarik Jiang Yanli kedalam pelukannya, ia mengelus pipi lembut Jiang Yanli yang memerah.
"Ji Xuan, lihat. Bukankah calon istrimu ini sangat luar biasa?"
Jin Jixuan tersenyum singkat, ia kembali menatap ke arah Wei Wuxian yang masih berdiri kaku.
Jika saja bisa, ia ingin pergi kearah pemuda itu dan memeluknya erat.
Jiang Fengmian menggiring tamu-tamunya ke arah ruang tengah, begitupun dengan Jin Jixuan yang segera memalingkan wajah dan berlalu pergi.
Wei Wuxian tidak pernah tau, jika calon suami yang selama ini selalu kakaknya singgung adalah kekasihnya sendiri.
Andai ia tau dari awal, Ia tak akan pernah menerima perasaan laki-laki itu.
Wei Wuxian meremat teralis didepannya.
Hatinya dihinggapi perasaan bersalah juga sakit hati.
Ia merasa bersalah pada Jiang Yanli, wanita yang sudah merawatnya dengan baik dan memberikannya banyak cinta. Bagaimana jika dia tau bahwa orang yang selama ini ia anggap adik pernah tidur dengan calon suaminya bahkan sampai memiliki anak?
Bagaimana dengan paman Jiang yang sudah mengangapnya seperti anak sendiri?
Ia telah mengkhianati keluarga yang telah berbelas kasihan dengannya.
Wei Wuxian merasa kotor.
Ia roboh dengan kedua tangan yang mendekap dadanya.
Hatinya terasa sesak oleh rasa sakit.
Bagaimanapun ia tidak ingin munafik, bahwa dirinya juga merasa sakit hati ketika orang yang dia cintai pergi begitu saja.
Wei wuxian berusaha keras menahan isakan yang mendesak diujung tenggorokannya. Ia tak ingin orang-orang melihat dirinya yang menyedihkan.
Ia bangun dan hendak kembali ke kamarnya, namun seseorang telah lebih dulu menariknya menuju balkon rumah besar itu.
"Wei Ying, kau tidak apa-apa?" Tanya orang itu khawatir.
Wei Wuxian tentu kaget dan mendorong orang itu menjauh. "Apa yang kau lakukan disini?" Ia bertanya kasar, tangannya mengusap air mata yang menggenak di sudut matanya.
Jin Jixuan menatap bersalah padanya, ia mengusap pipi yang tampak pucat namun segera ditepis.
"Kenapa kau disini? Yang lain akan curiga. Kembalilah."
"Wei Ying, aku minta maaf, aku-"
"Lupakan."
Wei Wuxian membuang wajahnya, tak ingin menatap si pemuda Jin yang menatap dirinya penuh luka.
"Apa?"
Wei Wuxian mendelik pada Jin Jixuan, "kubilang lupakan. Lupakan kita pernah bersama. Kau akan menikah dengan kakakku, artinya kau harus melupakanku."
Jin Jixuan meraih tangan Wei Wuxian dan menggenggamnya erat. "Wei Ying, tidak bisakah kita mempertahankan hubungan kita saja? Nona Jiang tidak akan tau apapun selama kita-"
Plak!
Wajah Jin Jixuan terasa berdenyut panas.
Ia tak percaya, apa Wei Wuxian baru saja menamparnya?
"Jin Jixuan. Dengarkan aku." Wei Wuxian meraih kerah jas mantan kekasihnya dan mencengkramnya dengan kuat.
"Jangan pernah berpikir hal sekotor itu. Kau akan menikah dengan kakakku artinya kau harus membahagiakannya. Jika kau berani membuatnya menangis, aku adalah orang pertama yang akan menghajarmu sampai mati."
Ia menatap tajam pemuda itu.
Wei Wuxian tidak akan pernah membiarkan Jiang Yanli terluka, meski harus mengorbankan hidup dan perasaannya sendiri.
"Apa drama ini belum berakhir? Kakak ipar, bukankah kau harus segera kembali? Mereka akan curiga jika kau terlalu lama di toilet."
Keduanya tersentak dan mendapati Jiang Cheng yang bersidekap mengintimidasi keduanya.
Wei Wuxian melepaskan cengkramannya.
"Ji Jiang Cheng."
"Jin Gongzi, sebaiknya kau kembali ke bawah. Ada sesuatu yang harus kukatakan pada mantan kekasihmu."
"Tapi-"
Jiang Cheng mendelik membuat mau tak mau Jin Jixuan harus menurutinya.
Setelah pemuda Jin pergi, Jiang Cheng mulai mendekati Wei Wuxian.
"Jadi, selama ini kau mengencani calon suami kakakmu sendiri?" Ia bertanya sinis.
Wei wuxian menggeleng, "Jiang Cheng, aku tidak tau jika dia calon suami shijie."
"Kau bahkan berani tidur dengannya." Namun Jiang Cheng tak mau dengar.
"Bagaimana jika shijie tau hal ini?"
"Jiang Cheng!"
"Apa?!!"
Jiang Cheng ikut membentak. Hatinya masih merasa sakit akibat melihat orang yang dicintainya telah disentuh orang lain, dan fakta bahwa orang itu adalah calon suami kakaknya sendiri membuat dirinya makin marah.
"Wei Wuxian. Aku tidak pernah melihat orang semenjijikan dirimu!! Berapa kali kau tidur dengannya? Kau tau bahwa shijie sangat mencintai pria itu meski belum pernah bertemu, kan?!"
Wei Wuxian tidak menjawab.
Pikirannya penuh oleh rasa bersalah.
Juga, apa dirinya memang semenjijikan itu?
"Aku, aku tidak tau." Bisiknya lirih.
"Kau manusia tidak tau malu. Kau bahkan berani menggigit tangan orang yang memberimu makan...
...sampah."
Mata Wei Wuxian melebar.
Diantara semua kalimat Jiang Cheng, itu adalah kata yang paling menyakitkan yang pernah dia dengar.
Apa dirinya sudah sehina iti dimatanya?
Jiang Cheng berlalu begitu saja, meninggalkan Wei Wuxian yang masih tak bergeming setelah mendengar kata terakhirnya.
Sebenarnya, dirinyapun kaget karena berani mengatakan hal itu. Tapi untuk saat ini, ia tak peduli.
Ia membutuhkan waktu untuk menata hatinya.
Wei wuxian mengepalkan tangannya dan berjalan ke arah kamarnya. Ia mengunci pintu dan duduk termenung.
Ia tidak bisa tinggal disini lagi.
Rasa bersalahnya pada Jiang Yanli begitu besar, juga ia tak bisa terus menyembunyikan perutnya yang akan semakin membesar dari waktu ke waktu.
Ia menatap koper yang tersimpan rapi disudut kamarnya.
Sepertinya, ini memang waktunya untuk pergi.
.
.