Cahaya matahari mengintip melalui celah tirai yang tak tertutup sempurna.
Dua orang pemuda masih bergelung nyaman dibalik selimut yang kusut.
Salah satu pemuda bergerak tak nyaman, punggung polosnya terasa panas tersentuh cahaya matahari yang mulai meninggi.
Matanya terbuka perlahan, menatap sekelilingnya dengan linglung. Baju berserakan, beberapa bantal dan guling terlempar keatas lantai.
Juga, seseorang yang memeluk dirinya dengan erat dibalik selimut.
Pipi Wei Wuxian memerah parah.
Hari ini tepat sebulan mereka mulai berkencan, dan tentu saja bukan pagi pertama pula ia bangun dalam keadaan begini.
Namun tetap saja, ia masih belum terbiasa.
"Kau sudah bangun?"
Suara serak Jin Jixuan menyapa telinganya. Wei Wuxian berbalik dan menemukan pemuda itu tersenyum sambil mengelus rambutnya lembut.
"Morning kiss."
Wei Wuxian tertawa kecil dan memukul bibir tipis itu dengan tangannya.
"Mandi sana. Aku harus segera pulang sebelum Jiang Cheng kembali mengomel kenapa aku tidak pulang semalaman."
Jin jixuan berdecak. "Kenapa kau tidak jujur saja kalau habis bermalam denganku? Cepat atau lambat dia harus tau bahwa aku adalah kekasihmum"
Wei Wuxian kembali memukul pria itu, "berhenti bicara omong kosong." Ia berjalan ke arah kamar mandi dengan tubuh polosnya.
Sebulan mereka berkencan dan rasa malu sudah sirna dari diri Wei Wuxian.
Ia tak peduli dengan siulan menggoda kekasihnya ketika tubuh polosnya terpampang jelas.
.
.
"Kau dari mana?" Baru saja ia membuka pintu kamarnya, namun suara Jiang Cheng telah menunggunya di atas kasur.
"Pagi A-Cheng!" Ia berusaha menyapa seceria mungkin, enggan dionterogasi lebih jauh oleh si pemuda Jiang.
"Kali ini apalagi alasanmu?" Jiang Cheng bersidekap. Matanya menyorot dingin Wei Wuxian yang salah tingkah.
"Akhir-akhir ini kau lebih sering bermalam diluar bahkan mematikan ponselmu. Apa yang kau lakukan diluar sana?"
Wei Wuxian tidak menjawab, ia merasa tidak enak pada Jiang Cheng karena terus-terusan membohongi pria itu.
"A A Cheng-"
"Apa kau sudah berubah menjadi jalang?"
"JIANG CHENG!!"
Jujur saja, ia tak oernah menyangka kalimat itu akan keluar dsri mulut Jiang Cheng.
Ia- merasa sakit hati.
Bagaimana mungkin Jiang Cheng berani berkata seperti itu padanya?
Sedang Jiang Cheng tersenyum sinis, ia menarik tangan Wei wuxian kasar dan melemparnya kearah ranjang.
"Jiang Cheng, apa yang kau lakukan?"
Pemuda itu tidak menjawab melainkan merangkak kearah Wei Wuxian yang kini terpojok. Dengan kasar menarik kaus pemuda Wei itu, memperlihatkan ruam merah di tulang selangkanya.
"Lihat dirimu. Benar-benar jalang." Jiang Cheng berdesis, hatinya terasa panas mengetahui orang yang dicintainya melakukan hal sejauh ini dengan orang lain.
Ia telah dibutakan oleh amarah sehingga memaksa Wei Wuxian.
Jiang Cheng berusaha melepas pakaian Wei Wuxian yang memberontak, menarik wajah pemuda dibawahnya untuk dicium.
"JIiang Cheng, sadarlah!!"
Namun ia tak mendengar.
Dirinya dilahap api cemburu berlebihan. Ingin menelan pemuda Wei itu dan menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Plak!
Wei Wuxian terengah.
Ia baru saja menampar Jiang Cheng dengan keras.
"Jiang Cheng. Kau menakutiku." Bisiknya lirih.
Jiang Cheng terdiam. Matanya melihat kearah lain selain Wei Wuxian.
"Kau tidak tau? Selama ini aku mencintaimu. Dan kau malah tidur dengan orang lain."
Mata Wei Wuxian melebar.
Jiang Cheng mencintainya? Sejak kapan?
"Jiang Cheng. Aku kakakmu."
"Kau orang lain!! Kau bukan kakakku!"
"Tapi-"
Wei Wuxian tak melanjutkan kalimatnya ketika pemuda itu menatapnya dengan sorot dingin.
Tanpa kata, pemuda Jiang itu beranjak dari kamar Wei Wuxian dengan membanting pintu.
Si pemuda Wei menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca.
Bagian terdalam dirinya merasa sangat bersalah karena telah menyakiti dan membohongi pria itu.
Apalagi fakta bahwa Jiang Cheng mencintainya, semakin membuat rasa bersalahnya berkali lipat.
"Jiang Cheng, maafkan aku."
.
.
Baik Jiang Fengmian maupun Jiang Yanli merasa aneh dengan suasana dirumahnya kali ini.
Biasanya, rumah luas ini akan dipenuhi teriakan Jiang Cheng dan Wei Wuxian. Entah heboh saat bermain game atau saling berteriak ketika salah satu dari mereka bertindak jahil.
Namun akhir-akhir ini rumah mereka terasa sepi.
Jiang Cheng yang bersikap dingin dan Wei Wuxian yang terkesan menjauhi Jiang Cheng.
"A Xian, kau baik-baik saja? Wajahmu tampak pucat."
Jiang Yanli meraih pipi Wei Wuxian yang lebih pucat dari biasanya. Ia sangat khawatir, bagaimanapun Wei Wuxian sudah menjadi salah satu adik kesayangannya, sama dengan Jiang Cheng, terlepas dari status tak sedarah mereka.
"Shijie, aku baik-baik saja." Wei Wuxian tersenyum lebar, berusaha mengabaikan gejolak diperutnya yang terasa diaduk.
"A Xian, apa tak sebaiknya ke dokter? Kau tidak biasanya begini." Jiang Fengmian turut buka suara. Selama dirinya mengurus Wei wuxian, anak itu sangat jarang sekali sakit. Sekalipun sakit, ia tak pernah sampai sepucat dan selemah ini.
Anak itu akan selalu hyperactive dalam keadaan apapun.
"Tidak!" Ia menjawab cepat dan terburu-buru, membuat Jiang Fengmian dan Jiang Yanli mengernyit bingung.
Wei Wuxian yang ditatap aneh tersenyum kikuk.
"Maksudku, aku baik-baik saja paman. Hanya butuh sedikit istirahat. Hehe." Ia mencoba menjawab seceria mungkin lalu pamit untuk undur diri ke kamarnya.
Sesampainya dikamar Wei wuxian segera menuju kamar mandi dan memuntahkan isi dalam perutnya.
Pusing dan mual, ia sangat tidak tahan dengan kondisinya ini.
Setelah membersihkan wajah dan mulutnya ia menuju ranjangnya dan meraih amplop cokelat dari dalam laci.
Selembar kertas ia keluarkan, sederet tulisan hasil diagnosis ia baca dengan teliti.
Hari ini, sepulang sekolah ia memberanikan diri untuk datang ke sebuah klinik.
Dan dokter bilang, ia adalah satu dari beberapa keajaiban yang tuhan ciptakan.
Ia laki-laki, namun tuhan memberikannya kepercayaan untuk mengandung seorang bayi dalam perutnya.
Pada awalnya, tentu saja ia shock.
Tapi ketika mengingat bahwa itu adalah buah cintanya dengan Jin Jixuan, sedikit rasa bahagia terbit dihatinya
Meski, ia tidak tau reaksi apa yang akan lelaki itu tunjukan. Apakah ia akan bahagia? Mengingat afeksi yang selalu laki-laki itu berikan padanya.
Apakah ia pantas percaya diri bahwa Jin Jixuan akan mengucap syukur atas berita yang akan ia sampaikan?
Wei Wuxian meremat amplop ditangannya lalu meraih ponsel hitam yang tergeletak diatas kasur.
Ia ragu, namun juga tak sabar ingin memberi tahu Jin Jixuan.
Wei Wuxian menghembuskan napas berat sambil memejamkan mata, mencari kekuatan agar ia mampu memberitau kekasihnya akan berita besar yang ia pegang.
Suara sambungan menggema panjang, namun tidak juga diangkat.
Wei Wuxian kembali mencoba menghubungi laki-laki itu.
Namun tetap sama, hanya suara operator yang menjawab panggilannya.
Wei wuxian menggigit bibirnya kecil. Merasa khawatir.
"Mungkin dia sedang mandi."
Ia mencoba berpikir positif.
Wei Wuxian merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamarnya.
Entah bagaimana ia akan memberitau keluarga Jiang tentang kehamilannya nanti. Entah menerima atau tidak.
Ia merasa optimis pada rekasi Paman Jiang dan Jiang Yanli, tapi bagaimana dengan Madam Yu...
Apalagi Jiang Cheng?
Dengan memikirkannya saja dirinya sudah merasa sangat pusing.
Rasa kantuk sudah menyerangnya, Wei Wuxian jatuh terlelap tanpa mendengar suara panggilan dari Jin Jixuan.
.
.
"Kau sudah berjanji akan memenuhi permintaan mama yang satu ini!"
Seorang wanita berusia sekitar 40 an berkata tajam.
Penampilannya yang glamour menunjukan status sosialnya yang tak bisa dipandang remeh. Wanita itu menyesap ujung cangkir berisi teh camomile yang khusus diracik koki rumahnya.
"Ma! Aku sudah dewasa dan bisa menentukan pilihanku sendiri."
Sang anak mencoba membujuk mamanya.
Ia merasa tak berdaya jika harus berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu.
Apalagi jika itu menyangkut pembicaraan tentang masa depannya. Sang mama tak akan memberinya pilihan kecuali apa yang telah ia siapkan.
"Ji Xuan, turuti saja mamamu. Nona Jiang adalah wanita cantik yang cerdas, ia akan menjadi menantu sempurna untuk keluarga kita."
Sang papa ikut buka suara, meski kedengarannya lebih santai dibanding mamanya yang sangat berambisi menjodohkannya dengan anak sahabat kentalnya.
"Pa!"
"Kau sudah dewasa bukan berarti kau bisa memilih dengan benar. Anak muda sepertimu hanya mengedapankan sentimentil."
"Lagipula-" wanita itu meletakan cangkirnya ke atas meja.
Ia menatap Jin Jixuan yang memelas.
"Jika kau keras kepala mempertahankan siapapun yang kau kencani saat ini, bukan tidak mungkin aku tidak akan melakukan sesuatu yang buruk padanya."
Bibirnya tersenyum licik ketika wajah putranya memucat.
Ia tak akan susah menebak jika sang putra pasti tengah berkencan dengan seseorang saat ini. Dan karena itu, sebelum putranya jatuh lebih dalam pada siapapun yang mengisi hati putranya, ia lebih baik mengambil langkah dengan memajukan waktu perjodohan putranya dengan putri sahabat baiknya.
Nyonya Jin tidak munafik. Ia memang mampu melakukan segala hal demi memuluskan rencananya.
Termasuk menyingkirkan kerikil kecil yang menghalangi jalan emas masa depan putranya.
Ia tak mempercayai siapapun pantas bersanding dengan putranya kecuali pilihannya.
"Mama bisa mencarinya dan menghancurkannya didepan matamu. Kau mau itu terjadi?"
Jin Jixuan kehilangan kata-kata.
Ia tau, jika seumur hidupnya ia hanya tau dua orang paling licik di dunia ini.
Papa dan mamanya.
Dua orang itu seperti kombinasi pas. Yang akan melakukan apapun demi ambisinya.
Jika ia tak menerima perjodohan ini, bukan tidak mungkin bahwa hidup Wei Wuxian akan terancam.
Dan ia tidak mau itu terjadi.
Jin Jixuan tak bisa bisa berkutik.
"Mama harus janji tak akan mencari tau apalagi melakukan apapun padanya."
Nyonya Jin tersenyum puas.
Jin Jixuan segera meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya.
Tangannya mengepal. Ia sangat benci hidupnya.
Orang lain mungkin silau padanya, merasa iri karena dirinya terlahir dalam kemewahan.
Mereka tak tau, bahwa hidup Jin Jixuan tidaklah sebahagia itu.
Ia mungkin adalah seorang tuan muda, tapi hidupnya tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Ia dikendalikan oleh orang tuanya.
Jin Jixuan hanya seperti marrionette bagi papa maupun mamanya.
Ia mengambil ponsel yang ia simpan di atas meja samping tempat tidurnya dan mendapati dua panggilan tak terjawab dari kekasihnya.
Jin Jixuan segera menelepon Wei Wuxian, namun tak ada jawaban.
Ia menjatuhkan dirinya ke atas ranjang, mengurut keningnya yang terasa pusing.
Apa yang harus ia katakan pada kekasihnya itu?
Ia tak sanggup melihat wajah terluka Wei Wuxian.
"Wei Ying, maafkan aku."
.
.