Chereads / A Boy Named Wei Wuxian / Chapter 6 - chapter five

Chapter 6 - chapter five

"Wei Ying, kerjakan tugasmu."

Lan Wangji menatap Wei Wuxian yang lebih memilih merebahkan kepalanya diatas meja.

Saat ini ia tengah melaksanakan titah pamannya untuk mengawasi Wei Wuxian yang dihukum menulis literatur psikologi abnormal di perpustakaan.

Namun bukannya menulis, pemuda Wei itu sedari tadi hanya bermain dengan ponselnya.

"Lan Zhan, apa menurutmu aku perlu melakukannya? Lihat! Sebarapa tebal buku ini? Aku tidak yakin aku sanggup menyalinnya tanpa mematahkan lenganku!" Wei Wuxian merengut sambil menyilangkan kedua tangannya. Ia sedang merajuk!

"Tanganmu tidak akan patah hanya karena menulis." Ujar Lan Wangji kalem.

Wei Wuxian memutar bola matanya. Kenapa dizaman modern ini masih ada manusia sekaku Lan Wangji sih?

Ia tak heran jika seumur hidupnya Lan Wangji akan menjomblo.

Maksudnya, orang normal mana yang akan tahan hidup bersama lemari es berjalan sepertinya? Tiga puluh menit terkurung bersama Lan Wangji saja sudah membuatnya bosan setengah mati.

Meskipun-

Wei Wuxian memangku dagunya dengan sebelah tangan.

Matanya memaku fitur Lan Wangji dalam atensi.

Laki-laki itu memiliki garis wajah yang tegas dan rahang yang tajam. Bibirnya tipis berwarna merah, kontras dengan kulitnya yang putih dan mulus.

Alisnya bagai lukisan sempurna, bulu mata yang lentik, dan bola mata sewarna emas yang menyorot dingin.

Dilihat dari berbagai sisi, Lan Wangji seperti sesuatu yang datang dari dunia berbeda.

Wajah rupawannya hampir setara dewa yunani.

Benar, mungkin ada beberapa orang yang akan mengenyampingkan sifat membosankannya demi parasnya yang luarbiasa itu.

"Ah tidak tidak, aku bisa gila jika hidup bersama manusia es sepertinya."

Wei Wuxian bergumam tanpa sadar. Ia mengetuk-ngetuk kepalanya dengan ujung pena.

"Kau sudah selesai melamun?"

Wei Wuxian tersentak. Ia menatap Wangji yang masih fokus pada sesuatu yang sedang ia tulis dibukunya.

"Eh? He he." Ia tertawa canggung lalu membenarkan posisi tubuhnya.

Wajah Lan Wangji memang sesuatu yang berbahaya.

Apalagi jika dipandang dalam waktu yang lama.

"Berhentilah melakukan hal tidak berguna dan kerjakan hukumanmu." Ia berujar dingin.

Wei Wuxian membuka bukunya sambil merengut kesal.

Untuk beberapa saat ia bisa fokus menulis apapun yang ada dalam buku itu, namun untuk menit selanjutnya ia kembali merasa jenuh.

Wei Wuxian bukannya orang malas. Ia hanya-

Apa ya?

Mungkin dia tipe orang yang gampang bosan dan suka memberontak. Ia tidak suka sesuatu yang mengikat; peraturan, ia adalah manusia yang bebas yang akan melakukan apapun yang dia ingin lakukan.

Wei Wuxian tidak malas apalagi bodoh.

Dia adalah salah satu murid tercerdas yang bahkan saingannya selevel Lan Wangji; sang ketua disipliner sekaligus murid kebanggaan Gusu Akademi.

Yang membedakan ia dan wangji hanya satu.

Wangji adalah orang yang terlampau patuh aturan dan Wei Wuxian adalah biang onar.

Mereka ibarat api dan air.

Saling bertolak belakang.

"Lan Zhan, apa kau pernah mengukai seseorang?" Wei Wuxian bertanya tiba-tiba, membuat fokus Lan Wangji goyah.

Pemuda Lan itu menghentikan gerakan tangannya, bola matanya bergetar kaget.

Ia tidak siap dengan pertanyaan Wei wuxian.

Wei Wuxian tersenyum jahil. Jari-jarinya merayap nakal kearah tangan Wangji yang mengepal diatas meja.

"Ei ei, Wangji Xiong, jawab pertanyaanku." Ujung jarinya mengelus  permukaan kulit tangan Wangji membuat pemuda mono ekspresi itu tersentak dan segera menarik tangannya.

"Wei Ying!!"

Wei Wuxian tertawa. Ini pertama kalinya ia melihat ekspresi lain diwajah kaku itu.

"Lan Zhan, aku bahkan hanya menyentuhmu dengan ujung jari, kenapa reaksimu heboh seperti itu?" Ia masoh beluk berhenti menggoda Wangji.

Wei Wuxian pikir, menggoda Lan Wangji akan menjadi salah satu hobinya mulai sekarang.

"Berhenti bermain-main atau aku akan melaporkanmu pada paman!"

"Lan Er Gongzi, aku bosan! Aku bisa gila jika terus-terusan berada disituasi serius seperti ini. Huh."

"Setidaknya bereskan dua halaman lagi, setelah itu kau boleh pergi."

Mata Wei Wuxian berbinar cerah.

"Benarkah? Apa pamanmu tidak akan  marah?"

Lan Wangji tidak menjawab, iankembali fokus pada tulisannya.

Wei Wuxian mendengus namun juga tak tak berhenti tersenyum.

Tumben sekali Lan Wangji ini meringankan hukumannya?

Tapi ia tidak peduli, yang penting ia bisa pulang cepat dan meminta shijie nya membuatkan sup akar teratai favoritnya.

Wei Wuxian bersenandung ria.

Dan Lan Wangji yang diam-diam menatapnya dsri balik bulu mata lentiknya.

Ia tidak berharap hal yang muluk.

Ia tau kepribadiannya tidak cocok dengan Wei Wuxian yang bebas dan ceria.

Ia mungkin tak akan pernah ada didaftar kebahagian seorang Wei Wuxian.

Akan tetapi, ia cukup puas dengan hanya memandangnya dan mencintainya dalam diam.

Mungkin klise, saat ia bilang kebahagiaan pemuda itu adalah kebajagiannya.

Tapi itu yang dia rasakan.

Meski rasa cemburu kadang datang memaki dirinya yang diam tak berani melangkah mengejar pemuda itu kala orang lain selangkah jauh didepannya.

Ia berpuas diri hanya dengan menyaksikan senyum itu dikejauhan.

.

.

Wei Wuxian meregangkan tangannya yang terasa pegal.

Seharian ditahan diperpustakaan bersama Lan Wangji memang sebuah siksaan tersendiri.

Entah pamannya atau keponakannya, keduanya sama-sama mengerikan bagi Wei Wuxian.

Ia berjalan dikoridor sekolah yang sudah sepi. Jarum jam ditangannya menunjukan pukul 5 sore.

Ia menatap kearah jendela koridor yang menunjukan langit yang telah menguning. Matahari hampir tenggelam dibalik gedung-gedung.

"Eh?"

Wei Wuxian tersentak ketika tangannya ditari begitu saja.

Seseorang menyeretnya kearah kelas kosong dan memenjarakannya dibalik pintu yang ditutup.

"Jin Jixuan!!"ia memekik.

Si tersangka tak bereaksi apapun kecuali menatap tajam kearahnya.

"Kau kenapa?" Wei Wuxian bertanya heran. Tak biasanya pemuda Jin itu bermuka sangat keruh seperti ini.

"Apa yang kau lakukan dengan tuan muda Lan itu?"

Wei Wuxian mengernyit.

"Apalagi? Tentusaja mengerjakan hukuman pak tua Lan." Ia berusaha melepaskan kungkungan Jin Jixuan, namun tentu saja tak berhasil.

Bagaimanapun, Jin Jixuan adalah satu dari jajaran pemain elite basket di sekolahnya yang tentu kekuatan fisiknya tidak bisa diremehkan.

Apalagi oleh manusia yang membenci olahraga sepertinya.

"Kau yakin dia tak melakukan hal lain padamu?"

Suaranya berat dan dingin, seolah menyampaikan perasaan marah juga gelisah Jin Jixuan.

"Ji Xuan, kenapa kau seperti ini?" Jujur saja Wei Wuxian merasa sedikit takut. Jin Jixuan belum pernah seperti ini sebelumnya.

Keheningan merayap disekitar mereka. Baik Wei Wuxian maupun Jin Jixuan memilih bungkam sampai suasana beku mula8 mencair.

Pada akhirnya, pemuda Jin itu memilih mengalah. Mengendurkan sedikit egonya dan membuang napas berat.

"Wei Ying. Kumohon. Tidak bisakah kau menjadi milikku?" Pria itu berbisik lirih disamping telinga Wei Wuxian, membuat pemuda dalam kungkungannya tersentak.

Ini bukan pertamakalinya Jin Jixuan meminta hal serupa. Namun saat ini, dengan raut wajah lemah pria itu dihadapannya membuatnya sedikit tersentuh.

Ada sesuatu lain yang berteriak dalam dirinya untuk mengiyakan apa yang oemuda itu inginkan.

"Ji Xuan-"

"Wei Ying, aku mencintaimu."

Mata Wei Wuxian bergetar ketika bersibobrok dengan mata berkaca-kaca pemuda dihadapannya. Hatinya berdebar aneh.

Sesuatu menggelitik diperutnya.

Ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun kecuali menghamburkan diri kedalam pelukan Jin Jixuan.

Pria Jin tertawa kecil. Kedua tangannya langsung melingkar erat ditubuh Wei wuxian.

"Apa ini berarti 'iya'?"

Wei Wuxian mengangguk dalam pelukannya.

Dan detik ini, tak ada yang lebih membuat seorang tuan muda Jin bahagia selain fakta bahwa Wei Wuxian kini resmi menjadi miliknya.

Setelah penantian lama.

Jin Jixuan meregangkan pelukkan mereka dan menarik Wajah Wei Wuxian.

Menciun pemuda itu dengan dalam.

Sebagai bentuk suka cita atas perasaannya yang bersambut.

Untuk beberapa saat mereka tenggelam dalam gairah.

Wei Wuxian menepuk punggung Jin Jixuan saat pasokan oksigennya berkurang drastis.

"Wei Ying."

Kening mereka bersatu, ibu jari Jin Jixuan mengusap ujung bibir Wei Wuxoan yang merah dan basah.

"Ayo menginap dirumahku."

Dan Wei Wuxian bukanlahborang polos. Ia tau ajakan itu bermakna ganda.

Namun ia tetaplah seorang pemuda dengan jiwa berapi-api.

Yang ketika gairahnya tersulit, maka tidak ada jalan mundur selain menyambut undangan pemuda yang kini telah resmi menjadi kekasihnya.

.

.