Chereads / A Boy Named Wei Wuxian / Chapter 5 - chapter four

Chapter 5 - chapter four

Sebenarnya, Jiang Cheng tidak marah pada Wei Wuxian.

Ia hanya, sedikit kesal.

Fakta bahawa ayahnya lebih memperhatikan Wei wuxian memang selalu menjadi hal yang paling mengganggu baginya.

Sebagai seorang anak, tentu saja ia sangat iri ketika ada orang lain yang mengambil perhatian ayahnya begitu saja.

Sementara ia harus bekerja ekstra untuk mendapat apresiasi ayahnya, Wei Wuxian akan selalu mendapatkan dukungan ayahnya kapanpun.

Bahkan tanpa bekerja keras, kakak angkatnya itu bisa meraih peringkat tertinggi dikelasnya.

Jiang Cheng marah, tapi ia tak bisa menyalahkan siapapun.

Entah ayahnya, apalagi wei Wuxian.

Bagaimanapun, ia masih sangat menghormati ayahnya dan berharap suatu saat ia akan mengakui kemampuannya.

Dan Wei Wuxian, adalah orang yang diam-diam telah mengambil hatinya.

Entah sejak kapan.

Namun yang pasti, debaran aneh selalu ia rasakan ketika pemuda Wei itu ada didekatnya.

Tok tok

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Jiang Cheng.

Ia beranjak dari sofa dikamarnya dan berjalan ke arah pintu.

"Jiejie, ada apa?"

Raut khawatir Jiang Yanli adalah hal yang ia tangkap ketika daun pintu terbuka. Wanita cantik itu menatap gelisah pada Jiang Cheng.

"A Cheng, A Xian belum kembali." Suara Jiang Yanli bergetar, ia benar-benar sangat khawatir pada adiknya yang satu itu.

Ia melihat jam yang menempel didinding kamarnya.

22.30

"Mungkin dia ketiduran di rumah Huaisang." Ia mencoba menjawab setenang mungkin.

"Aku sudah menelepon Nie Gongzi, tapi dia bilang A Xian sudah pulang sejak sore." Jiang Yanli meremas ujung piamanya, ia takut hal buruk terjadi pada Wei Wuxian.

"Jiejie kembalilah ke kamar, aku akan mencari anak itu."

Jiang Yanli mengangguk, sementara Jiang Cheng bergegas mengambil jaket dan kunci motornya.

Terkadang, Wei Wuxian memang semerepotkan ini.

.

.

Hampir satu jam Jiang Cheng menyusuri area yang biasa ia dan Wei Wuxian datangi, namun nihil.

Ia memarkirkan motornya di slot parkir taman. Menyusuri taman luas itu berharap menemukan jejak si pemuda Wei.

Ini adalah taman paling terkenal di Yunmeng, kota tempatnya tinggal. Selain karena keunikannya yang memiliki sungai yang luas, juga terdapat variasi bunga teratai yang mempercantik tempat itu.

Saat musim panas, ketika mereka kecil, ia dan Wei Wuxian diam-diam berenang di sungai itu, memetik banyak polong teratai untuk mereka bawa pulang. Terkadang sampai dimarahi oleh penjaga taman jika ketahuan, dan mereka hanya akan berlari sambil tertawa.

Jiang Cheng tersenyum kecil ketika mengingat itu.

Dirinya dan Wei Wuxian memang senakal itu dulu.

Woof! Woof!

Jiang Cheng memutar badan ketika mendengar gonggongan anjing.

Suaranya terdengar dekat.

Ia berjalan mencari sumber suara itu, dan menemukan seekor anjing husky tengah menggonggong pada sebuah pohon yang lumayan tinggi dan rimbun.

Ia mendekati anjing itu dan mengusirnya. Ajing itu mendengking tak terima, namun aura menakutkan Jiang Cheng membuatnya ciut dan berlari pergi.

Dia memang sudah seperti pawang anjing.

"Wei Wuxian, kau disana?"

Ia mendongak, menatap siluet yang bertengger di dahan pohon.

"J jiang Cheng?" Suaranya bergetar, ia bahkan bisa mendengar isakan kecil dari atas sana.

"Turunlah, anjingnya sudah pergi."

Hening, ia memengernyit. Apa benar yang diatas itu Wei Wuxian?

Apa jangan-jangan?

Ah tidak tidak. Jiang Cheng itu jantan, hantu tak ada dalam kamus hidupnya.

"Aku tidak bisa turun?" Cicit Wei wuxian setelah sekian lama.

Jiang Cheng melongo kemudian memutar bola matanya malas. "Lalu bagaimana kau bisa naik jika tidak bisa turun?" Ia mendumal kesal.

"A aku takut."

Jiang cheng menarik napas kecil, ia memaklumi alasan ketakutan wei Wuxian. Sejak kecil, pria itu memang sangat takut pada anjing.

"Kalau begitu lompat saja. Aku akan menangkapmu."

Awalnya ia hanya bercanda.

Namun tanpa diduga, Wei Wuxian benar-benar melontarkan dirinya ke arah Jiang Cheng yang tanpa persiapan.

Alhasil keduanya ambruk ke atas tanah dengan Wei wuxian diatas tubuhnya.

"KENAPA KAU TIDAK BILANG JIKA INGIN MELOMPAT?!" Jiang cheng berteriak marah. Punggungnya terasa ngilu akibat benturan ditambah beban tubuh Wei Wuxian yang tentu tidak ringan.

Wei Wuxian tidak menjawab, ia malah memeluk Jiang Cheng dengan erat.

Akhirnya Jiang Cheng pasrah dan membiarkan mereka dalam posisi itu selama beberapa saat.

"Sampai kapan kau akan memelukku?" Ia bertanya ketus.

"Kau keberatan?" Wei Wuxian malah balik bertanya, membuatnya mendengus kecil.

"Kau memang berat bodoh."

Wei Wuxian akhirnya beranjak dari tubuh Jiang Cheng. Ia menatap heran pemuda Jiang yang malah berjongkok didepannya.

"Naik." Perintahnya.

"Kau mau menggendongku?"

"Kau jalan saja." Ia hendak berdiri namun Wei Wuxian segera menhannya dan naik kepunggung Jiang Cheng.

"Jadi, kau tidak pulang sampai membuat Jiejie khawatir hanya karena seekor anjing?"

"Anjing itu menakutkan, jadi jangan katakan hanya." Wei Wuxian protes, baginya  anjing tak jauh beda dengan monster.

Hening.

"Jiang Cheng. Kau masih marah padaku?" Wei wuxian bertanya penasaran.

"Aku tidak marah." Jawabnya singkat. Wei Wuxian merengut.

"Kau mengabaikanku."

"Aku tidak mengabaikanmu."

Wei Wuxian menjewer telinga kanan Jiang Cheng hingga lelaki itu memekik.

"Hey, lepaskan!sakit!!" Ia menggoyangkan gendongannya heboh. Jeweran Wei Wuxian memang benar-benar pedas.

"Kau mau membuat telingaku putus, ha?" Jiang Cheng berteriak jengkel.

Namun Wei Wuxian tidak marah. Ia malah tersenyum lebar.

Artinya, Jiang Cheng sudah kembali seperti semula.

"Jangan mengabaikanku lagi"

Jiang Cheng ber-humm pelan.

"Aku tidak bermaksud merebut perhatian paman Jiang"

"Aku tau."

"Aku berjanji akan pergi setelah lulus, jadi Madam Yu tidak akan khawatir lagi aku akan merebut posisimu."

Jiang Cheng tidak menjawab, namun ia mengeratkan gendongannya.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

"Apa?"

"Tetap diam di rumah dan jangan pergi kemanapun."

"Tapi-"

"Kau ingin aku lempar ke kandang anjing?"

"Jiang Cheng!!" Wei wuxian berteriak panik. Ia memeluk leher Jiang Cheng sangat erat membuat pemuda itu memekik kecil.

Namun untuk kali ini, ia tidak marah.

Ia merasa lega pemuda Wei itu aman dalam gendongannya.

.

.

Hari senin di jam pertama adalah kelas yang paling dibenci oleh hampir seluruh siswa akademi gusu.

Bagaimana tidak, jika jam pertama mereka harus berhadapan dengan seorang guru paling killer di sekolah mereka.

Siapa lagi jika bukan Lan Qiren.

Dengan gelar Doctor dibidang psikologi, sang mantan Pengurus Yayasan; yang sekarang dipegang oleh keponakannya,

Yang selalu membidik Wei Wuxian yang terkenal dengan sifat rebels nya ketika dikelas.

Seperti hari ini, dimana matanya terus tertuju pada Wei Wuxian yang asik cekikikan dibangkunya.

Entah apa yang pemuda itu lihat dibalik bukunya itu.

Saat semua orang tunduk patuh padanya, Wei Wuxian adalah satu-satunya murid yang berani mendobrak peraturannya.

"Buka halaman 472 tentang studi penyimpangan kepribadian pada remaja." Ia sudah bersiap dengan tongkat rottan yang seperti sudah menjadi senjata wajib yang selalu ia bawa ketika kelasnya dimulai.

Semua orang membuka bukunya masing-masing.

Senua orang, kecuali Wei wuxian.

"Wei Wuxian! Berhenti bermain ponsel." Jiang Cheng berbisik gemas. Ia menyiku teman sebangkunya itu pelan ketika mata awas Lan Qiren masih setia membidik kearah mereka.

"Hihi, sebentar lagi." Wei Wuxian masih asik dengan ponselnya. Jiang Cheng mengintip apa yang sedang anak itu lakukan.

Kemudian merebut ponsel mahal itu ketika saudara angkatnga itu malah asik membahas hal tak penting dengan huaisang.

Ya, mereka mengambil kelas berbeda.

Huaisang kapok mengambil kelas psikologi Lan Qiren dan akhirnya pindah ke kelas kesenian.

Panggilan hidup, katanya.

"Jiang Cheng!!" Tanpa sadar si pemuda Wei berteriak, tak terima ketika ponsepnya disita Jiang Cheng.

"Wei Wuxian."

Sontak ia membeku. Suara dingin Lan Qiren menggema diseluruh kelas.

Disampingnya, Jiang Cheng sudah menepuk jidat lelah.

Sedangkan diujung kelas, Jin Zixuan menahan tawanya melihat wajah kaget Wei Wuxian yang menggemaskan itu.

"Kau bisa tertawa?" Jin Zixun, sang sepupu menatap heran.

Seumur hidupnya tumbuh bersama Jin Zixuan, baru kali ini ia melihat sepupunya itu seperri ini.

Jin Zixuan yang ia tau adalah pemuda arogan yang kaku. Jangankan tertawa, tersenyum saja sudah menjadi barang mahal yang langka.

"Kau pikir aku robot?" Tanyanya sinis lalu kembali ke mode arogan.

"Kau sudah bosan berada dikelasku?" Ia bertanya sinis, tongkat rottan tengah ia mainkan dikedua tangannya.

Wei Wuxian menelan ludah gugup.

"Jika kau bosan, kau boleh meninggalkan kelasku."

"Benarkah?"

Lan Qiren memberang, kenapa ia bisa mempunyai murid sebebal ini?

"Jadi kau akan benar-benar meninggalkan kelasku ketika kusuruh? Begitu?"

"Guru Lan, jika kau menyuruhku keluar maka artinya aku harus keluar. Jika kau tidak ingin aku keluar, lalu kenapa kau menyuruhku keluar?" Ia malah berargumen absurd.

Lan qiren mendadak migrain.

Kenapa tuhan harus menciptakan manusia seperti Wei Wuxian?

"Selesai kelas kau harus menyalin literatur psikologi abnormal diperpustakaan." Perintahnya.

"Guru Lan, apa aku melakukan kesalahan? Kau menyuruhku keluar maka aku keluar, bagian mana yang salah?" Ia protes, merasa Lan Qiren sudah sangat tidak adil terhadap dirinya.

"Wangji, awasi dia."

Lan Qiren tidak menjawab. Ia malah menyuruh murid kesayangannya sekaligus keponakannya untuk menjadi pengawas sibandel Wei Wuxian.

Wangji tentu saja tak keberatan.

Lain hal dengan Jin Zixuan dan Jiang Cheng yang sudah menahan umpatan diujung lidah.

Siapapun tidak menyadari, kecuali mereka berdua, jika Lan Wangji adalah ancaman lain yang bisa membuat mereka kehilangan kesempatan bersama si pemuda Wei.

Bahkan mungkin, Wei Wuxian sendiri tidak sadar jika dirinya tengah dalam rebutan.

.

.