Sudah seminggu berlalu sejak kejadian dimana ia dimarahi Madam Yu. Keadaan rumah berangsur-angsur kembali normal.
Dalam artian, atmosfer dingin mulai mereda.
Apalagi semenjak kepulangan Jiang Yanli dari kediaman neneknya. Putri satu-satunya keluarga Jiang itu seolah menjadi katalis dalam suasana kelabu yang sedang menyelimuti kediaman Jiang itu.
"A Xian, makan yang banyak." Jiang Yanli menambah lauk ke atas piring Wei wuxian, ia mengusap sudut bibir Wei Wuxian yang sedikit belepotan.
Wei Wuxian tersenyum lebar hingga kedua matanya menghilang, ia sangat merindukan perlakuan manis kakaknya itu.
"A li, berhenti melakukan itu. Kau bukan pengasuhnya." Madam Yu berujar dingin. Wanita Yu itu mengusap bibirnya dengan saputangan, "kau adalah nona muda di keluarga ini jadi bersikaplah seperti nona muda. Jangan bertingkah layaknya pelayan, apalagi untuk orang lain." Lanjutnya.
Jiang Yanli menunduk dan kembali melanjutkan sarapannya, tak berani menatap mata sang ibu yang menyorot berbahaya.
"Istriku, cukup." Jiang Fengmian mencoba menenangkan istrinya, ia hanya tak ingin wanita itu melontarkan kalimat-kalimat yang pasti akan menyakiti Wei Wuxian.
Bagaimanapun, ia telah berjanji untuk merawat anak itu dengan baik.
Demi sahabatnya, dan demi seseorang yang ia cintai dalam diam.
"Terserah."
Derit kursi terdengar kasar, Madam Yu berlalu pergi meninggalkan meja makan yang hening.
"Aku berangkat."
Jiang Cheng yang sedari tadi tak bersuara ikut beranjak. Mencium pipi kakaknya dan membungkuk pada ayahnya.
Ia masih mengabaikan Wei Wuxian.
"A Cheng, kau tidak menunggu A Xian?" Tanya Jiang Yanli, ia khawatir pada hubungan kedua adiknya yang terlihat seperti tengah perang dingin itu.
Jiang Cheng mendelik pada Wei Wuxian yang berusaha menghindari tatapannya kemudian berlalu begitu saja.
"A Cheng-"
"Shijie, aku bukan anak kecil. Aku bisa berangkat sendiri." Wei Wuxian menyenderkan kepalanya dibahu sang kakak, ia bertingkah seimut mungkin untuk membuat Jiang Yanli berhenti khawatir padanya.
"Tapi tetap saja, bukannya kalian selalu pergi bersama?" Jiang Yanli merapikan rambut Wei Wuxian, ia selalu suka menyentuh rambut yang bahkan lebih halus dari miliknya.
"Jiang Cheng harus menghadiri rapat ekskul pagi ini, jadi kita tidak berangkat bersama." Ia beralasan.
"Kalau begitu, ayo berangkat dengan paman." Jiang Fengmian beranjak dari kursinya dan mengambil tas kerjanya.
"Bukankah arahnya berbeda? Aku bisa pergi naik bus, paman."
"Tidak apa-apa, kau akan terlambat jika naik bus."
Jiang Yanli mendorong punggung Wei Wuxian kearah pintu, "ayah benar, lebih baik kau pergi bersama ayah."
"A Li, ayah berangkat." Jiang Fengmian mengusap rambut putrinya, Jiang Yanli tersenyum kecil dan melambai kearah mobil yang telah melaju pergi.
.
.
Sudah seminggu berlalu dan hubungannya dengan Jiang Cheng masih mendingin.
Pemuda Jiang itu sangat keras kepala dan lebih memilih menghindarinya dibanding berbicara baik-baik.
Jiang Cheng memang memiliki temprament buruk seperti ibunya, berbeda dengan Jiang Yanli yang berkepribadian lembut dan anggun seperti ayahnya.
Duk
"Ah!" Wei Wuxian memekik kecil ketika ia tak sengaja menabrak seseorang.
Barusaja ia melamun sambil berjalan. Pikirannya benar-benar sedang tidak fokus.
"Kau baik-baik saja?"
"Jin Gongzi!"
Jin Jixuan memutar bola matanya malas. "Berhenti memanggilku dengan sebutan itu."
Wei Wuxian tertawa kecil, melihat sikap angkuh Jin Jixuan yang tak pernah berubah sejak pertama kali mereka bertemu, berbanding terbalik dengan intonasi khawatirnya membuat ia geli.
"Apa kau sakit?" Jin Jixuan menempelkan punggung tangannya di dahi Wei Wuxian. Untung saja suasana koridor cukup sepi, jadi pemuda Jin itu tidak sungkan untuk menunjukan kekhawatirannya.
"Aku baik." Wei Wuxian menjauhkan wajahnya dari tangan Jin Jixuan.
Si pemuda Jin melipat kedua tangannya, matanya menyipit mendapati wajah yang selalu ia puja itu dipenuhi gurat kesedihan.
"Apa Madam Yu masih mengintimidasimu?"
"Aku sudah kebal." Sudut bibirnya terangkat kecil.
Jin Jixuan tidak tahan dengan wajah murung itu. Ia ingin wajah ceria Wei Wuxian.
Si pemuda Wei tersentak ketika Jin Jixuan mendorongnya ke dinding dan memenjarakan tubuhnya disana.
Si tuan muda Jin tengah memeluk erat dirinya di tempat umum?
Oh, ia rasa ini bukan ide yang baik.
"Jixuan, lepaskan. Bagainana jika ada yang melihat?" Wei wuxian berusaha melepaskan diri, ia mendorong oelan dada Jin Jixuan.
"Sebentar saja." Jawabnya singkat.
Wei Wuxian menghela napas pasrah, tak mungkin rasanya ia melawan si angkuh Jin Jixuan.
"Aku tau kau sedang tidak akur dengan Jiang Cheng" ujarnya, suaranya teredam oleh pelukan erat mereka. Wajahnya telah tenggelam dalam leher Wei Wuxian yang memabukan.
"Tapi kuharap kau tidak marah" Wei Wuxian mengernyit, apa maksudnya?
"Karena aku senang saat kau tidak akur dengannya. Artinya kau tidak akan menempel terus-terusan pada Jiang satu itu."
Wei Wuxian memutar matanya malas kemudian menyentak tubuh besar Jin Jixuan. Ia tidak merespon melainkan hanya mengerucutkan bibirnya kesal dengan wajah merengut lucu.
Dan pada saat itu Jin Jixuan merasa bisa khilaf kapan saja untuk melakukan 'macam-macam' pada wajah menggemaskan itu.
"Ji Xuan, kenapa masih disana?" Keduanya tersentak, mereka menoleh ke samping dan mendapati sepupu Jin Jixuan, Jin Jixun, tengah berjalan kearah mereka dengan wajah sedikit kesal.
Semoga pria itu tidak melihat apa yang mereka lakukan tadi. Wei Wuxian berharap.
Jin Jixuan berdecak dan berjalan malas kearah Jin Jixun, "aku tak tau kau seakrab itu dengan Wei Wuxian."
Lamat-lamat terdengar suara penasaran Jin Jixun. Ia masih menatap kepergian kedua pemuda Jin itu, "bukan urusanmu." Balas Jin Jixuan dingin.
Wei Wuxian terkekeh kecil dan kembali melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.
Tak banyak memang yang tau interaksinya dengan Jin Jixuan. Bahkan Jiang Cheng sekalipun.
Berawal dari sifat gengsi Jin Jixuan yang enggan terang-terangan mengakui bahwa ia naksir Wei Wuxian sampai akhirnya mereka memulai hubungan rumit ini secara diam-diam.
Wei Wuxianpun tak protes.
Karena ia masih menganggap bahwa apa yang diutarakan Jin Jixuan bukanlah hal serius.
Mengingat betapa menyebalkannya lelaki itu. Ia sanksi bahwa si pemuda Jin benar-benar memiliki perasaan padanya.
.
Disisi lain, disebuah ruangan luas terdapat dua orang rupawan yang tenggelam dalam hening.
Lan Xichen, seseorang yang dinobatkan sebagai ketua yayasan termuda itu tengah sibuk membolak-balik sebuah dokumen; laporan bulanan tentang perkembangan yayasan yang dikelola dirinya.
Sementara itu sang adik, Lan Wangji, fokus pada buku tebal ditangannya. Ia memang lebih sering menghabiskan waktu luang di ruangan kakaknya dibanding berbaur dengan teman-teman segenerasinya.
Lan Wangji memang tumbuh menjadi anak yang berbeda dari kebanyakan.
Ia lebih pendiam dengan pembawaan yang serius. Ia menghindari pergaulan dan lebih memilih menenggelamkan diri ditumpukan buku-buku tebal miliknya.
Sekali waktu sang kakak pernah memintanya untuk keluar dan bermain, mencari kesenangan layaknya anak muda lainnya. Namun Wangji menolak mentah-mentah dan malah kembali mengurung diri di kamarnya.
Namun begitu, yang membuat Lan Xichen tak habis pikir, tak peduli seberapa dingin dan kaku sikap Lan Wangji, orang-orang tak pernah membencinya.
Lebih dari itu, Lan Wangji adalah sosok yang paling disegani dan dikagumi oleh sebagian besar orang.
Ia merasa lega sekaligus khawatir. Ia lega karena kepribadian Lan wangji tidak menjadi penghambat bagi kehidupan adiknya, namun juga ia khawatir karena kepribadian Lan wangji yang itu, anak itu terlampau tertutup.
Ia khawatir adiknya memiliki kesulitan dan lebih memilih memendamnya sendirian.
Karena itu, ia belajar memahami Lan Wangji sedalam mungkin.
Ia tak bisa bertanya, pun dengan ekspresi Lan Wangji yang selalu datar hingga ia tak bisa menebak apa yang adiknya rasakan.
Namun bagaimanapun, mereka memiliki koneksi kuat sebagai saudara sedarah.
Ia belajar memahami Lan Wangji melalui nalurinya sebagai kakak.
"Wangji, apa ada yang mengganggumu?"
Lan Xichen menatap Lan Wangji yang sedari tadi melihat keluar jendela.
"Tidak." Jawabnya singkat dan kembali fokus pada bukunya, namun Lan Xichen malah tersenyum ketika melihat mata adiknya sedikit, sangat sedikit, bergerak tak fokus.
Seolah ingin kembali mengalihkan pandangan pada jendela disampingnya.
"Apa ada sesuatu di luar sana?"
"Tidak."
Lan Xichen menghela napas kecil, ia meninggalkan dokumen miliknya dan berjalan ke arah jendela disamping Lan Wangji.
Jendela yang mengakses halaman luas akademi gusu juga koridor penghubung gedung utama dan gedung perpustakaan.
Segera ia mengerti ketika sebuah objek tertangkap retinanya.
"Sepertinya Jin Gongzi dan Wei Gongzi cukup akrab ya?" Ia melirik adiknya yang tetap tenang, namun ia tau, Lan wangji hanya sedang berusaha menutupi perasaan sebenarnya.
Sudut bibirnya sedikit terangkat.
Ini pertamakalinya adiknya seperti ini, dan ia merasa senang.
Ia berharap Lan Wangji menemukan seseorang yang bisa menariknya keluar dari dunianya yang sunyi itu.
Ia juga ingin melihat adiknya bahagia bersama seseorang. Siapapun itu.