"Jelaskan!"
Wei Wuxian menunduk, ia tak berani menatap madam Yu; ibu Jiang Cheng dan Jiang Yanli, Yu Ziyuan.
Madam Yu melempar sebuah buku catatan kotor, buku Jiang Cheng yang 'tak sengaja' Wei Wuxian siram tempo hari, ke hadapan Wei Wuxian.
"Apa maksudmu melakukan itu pada putraku?" Suaranya dingin dan sinis, menunjukan betapa tidak sukanya ia pada Wei Wuxian.
"Ibu, bukan Wei Wuxian. Aku tidak sengaja menumpahkan cola pada bukuku."Jiang Cheng duduk disamping ibunya, mencoba membujuk ibunya agar berhenti memarahi kakak angkatnya itu.
"Kau membelanya?!" Madam Yu mendelik sinis, kemudian menggebrak meja didepannya hingga membuat Jiang Cheng dan Wei Wuxian terlonjak.
"A Cheng, kau harusnya sadar dan berhenti bergaul dengan Wei Wuxian! Dia selalu memberi pengaruh buruk padamu!" Madam Yu berteriak emosi. Tidak habis pikir pada putranya yang selalu menempel pada pemuda Wei itu.
"Kau terus saja menghabiskan waktu dengan hal-hal tidak berguna! Kau selalu kalah darinya dalam segala bidang!"
Madam Yu menyentak bahu Jiang Cheng dan mencengkramnya, "dengar, kau adalah penerus bisnis keluarga Jiang. Kau harusnya sadar dan bekerja keras agar kau bisa melampaui Wei Wuxian!! Tunjukan pada ayahmu bahwa kau adalah putra kandungnya, bukan Wei Wuxian!"
Wajah Madam Yu memerah, emosinya selalu saja memuncak setiap kali mengingat perlakuan tak adil suaminya pada putra kandungnya sendiri.
"Istriku, apa yang kau lakukan?"
Jiang Fengmian baru saja tiba dan sudah disambut teriakan istrinya itu. Ia meletakan tas kerjanya di atas sofa. Melihat Wei Wuxian yang duduk di atasĀ karpet dengan kepala menunduk, sementara istrinya mencengkram bahu Jiang Cheng dengan wajah penuh emosi.
Jiang Fengmian menghela napas lelah, selalu begini.
"A xian, apa yang kau lakukan disana. Berdiri." Ia hendak menarik Wei Wuxian untuk mendudukannya diatas sofa.
"Berhenti memperhatikannya! Putramu adalah Jiang Cheng maka perhatikan dia!!"
Nyonya Yu membawa Jiang Cheng kehadapan suaminya, "lihat baik-baik!! Dia adalah putramu! Meskipun dia lahir dari seorang wanita yang tidak kau cintai, dia tetap putramu! Satu-satunya orang yang akan menggantikan posisimu kelak!"
Nyonya Yu melepaskan bahu Jiang Cheng dengan kasar, satu tanyannya memijat keningnya yang terasa pening.
Ia juga benci selalu ada disituasi ini. Namun egonya benar-benar tak bisa terkontrol.
Tiap kali Jiang Fengmian memberikan perhatian pada putra angkatnya itu, jiwa keibuannya meronta.
Ia tak sanggup melihat putranya yang kadang disisihkan oleh ayahnya sendiri.
"Istriku, aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Tentu saja A Cheng adalah putraku, dan tidak ada yang akan merebut posisinya. Pun dengan A Xian, dia putra sahabatku dan aku sudah berjanji untuk merawatnya dengan baik."
Nyonya Yu tidak menjawab, ia sudah lelah dengan semua alasan suaminya itu.
"Tidurlah, kau pasti lelah." Jiang Fengmian menyentuh bahu Madam Yu namun segera ditepis.
Nyonya Yu berlalu tanpa sepatah katapun.
Jiang Fengmian kembali menghampiri Wei Wuxian dan mengusak rambutnya, "tidurlah, kau juga pasti lelah." Ia tersenyum dan menghampiri Jiang Cheng yang masih berdiri ditempat semula.
"Kau juga sebaiknya pergi tidur." Ia menepuk bahu Jiang Cheng pelan kemudian berlalu.
Ruang tengah yang luas itu hening. Wei Wuxian mencoba menenangkan perasaannya yang berantakan.
Ia menepuk dadanya berapa kali, menahan suaranya yang serak akibat tangis yang ia coba tahan.
Bibirnya mengulas senyum kecil, ia beranjak menghampiri Jiang Cheng dan merangkul bahunya.
"Jiang Cheng, kau tidak harus memikirkan apa yang Madam Yu katakan. Tentusaja kau adalah putra paman Jiang. Kau-"
Jiang Cheng menepis tangan Wei Wuxian dan berlalu pergi.
Ia sedang tak ingin mendengarkan ocehan Wei Wuxian.
Apa yang ibunya karakan memang benar. Ayahnya lebih menyukai Wei Wuxian dibanding dirinya.
Dan ia selalu marah dengan fakta itu.
Wei Wuxian terdiam. Ia berdiri sendirian ditengah ruangan yang luas.
Wei Wuxian tidak munafik. Tentusaja dirinya sakit hati mendengar perkataan pedas Madam Yu.
Namun, ia juga tidak bisa berbuat apapun.
Ia sadar jika ketidaksukaan Nyonya Yu terhadap dirinya itu beralasan.
Nyonya Yu merasa iri karena paman Jiang lebih perhatian padanya dibanding pada anak kandungnya sendiri.
Itu wajar.
Tapi tetap saja, apa itu salahnya? Ia tak pernah meminta semua perhatian itu dari Jiang Fengmian.
Wei Wuxian membuang napas berat, ia mengambil ponselnya dari saku celana dan mengirim pesan pada seseorang.
Sepertinya ia butuh udara segar.
.
.
Ketika pertamakali Jiang Fengmian membawanya ke rumah, Jiang Cheng menolaknya dengan keras.
Ia benci melihat ayahnya menggendong orang lain dengan wajah bahagia, sementara dirinya tak pernah merasakan gendongan itu.
Ia menghancurkan barang-barang dikamarnya untuk melakukan protes.
Bamun Jiang Fengmian tetap kekeh.
Satu-satunya yang menyambutnya di rumah itu adalah Jiang Yanli, putri sulung Jiang Fengmian.
Gadis kecil yang terpaut usia 3 tahun lebih tua darinya berlari dan memeluknya.
Jiang Yanli bahkan sudah menganggap Wei Wuxian adiknya sendiri dihari pertama mereka bertemu.
"Kau melamun"
Wei Wuxian tersentak ketika sesuatu yang dingin menyentuh pipinya.
Ia melihat seseorang mengulurkan sekaleng soda padanya. Ia hendak mengambil kaleng itu namun kembali ditarik si empunya.
Wei Wuxian mendengus kecil.
"Hanya mengenang masa lalu." Ujarnya acuh.
Orang itu kembali memberikan kaleng yang telah ia buka. Wei Wuxian mengambilnya dan meneguk sedikit isinya.
Matanya kembali fokus menatap langit kelam yang menggantung. Pikirannya kembali berkelana, melayang-layang pada sebuah pengandaian.
Jika saja orangtuanya masih hidup, mungkin ia tak harus merepotkan orang lain. Mungkin saja Jiang Cheng akan merasakan kasih sayang ayahnya secara penuh, mungkin paman Jiang dan Nyonya Yu akan hidup harmonis.
Wei awuxian tersentak ketika seseorang menariknya dan menjatuhkan kepalanya pada sebuah pundak.
Rasa hangat melingkupi tubuhnya tatkala sebuah tangan merangkul bahunya.
Ia tak menolak, melainkan menyamankan dirinya dalam sebuah pelukan hangat.
"Apa Madam Yu memarahimu lagi?" Tanya orang itu.
Wei Wuxian mengangguk.
Helaan napas berat terdengar. "Tawaranku untuk mengajakmu tinggal bersama masih berlaku." Ujarnya.
Wei Wuxian terkekeh. "Kau tau jawabanku."
"Dan kau akan terus dibayangi kemarahan Madam Yu, begitu?" Ia bertanya sinis. Merasa kesal dengan sikap keras kepala pemuda dalam pelukannya ini.
"Kenapa kau ingin sekali aku pindah? Lagipula Madam Yu bukan orang jahat. Dia mungkin tidak menyukaiku, tapi dia tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk padaku." Ia menatap pria yang memeluknya, menangkup pipi pria itu dan memainkannya.
Ia kembali terkekeh, "berhentilah berwajah kesal. Kau akan cepat tua."
Pria itu melepaa tangan Wei Wuxian dari pipinya dan menariknya mendekat. Mengecup bibir Wei Wuxian sekilas, membuat pemuda Wei itu terkejut dan merengut.
"Kau-"
"Madam Yu adalah alasan kedua, alasan pertama adalah aku tidak suka kau terus menempel pada pemuda Jiang itu." Pria itu berbisik ditelinga Wei Wuxian.
"Ppfft" ia menahan tawa, melepaskan rangkulan pria itu untuk menatap wajah kesal pria didepannya.
"Itukah alasanmu membuat kegaduhan di kantin?"
Wei Wuxian mengerling nakal. "Jin Gongzi, apa kau cemburu?" Wei Wuxian memainkan jarinya dipipi pria itu, Jin Jixuan.
Ia tertawa ketika Jin Jixuan menepis tangannya. Ia benci dipermainkan
"Ayolah, aku tumbuh besar bersama Jiang Cheng. Kami sudah seperti anak kembar. Kenapa harus cemburu padanya." Wei Wuxian menyandarkan kepalanya dipundak Jin Jixuan yang duduk dengan sikap angkuhnya.
Jin Jixuan tidak menjawab. Pria itu lebih memilih membisu dibanding harus berdebat dengan pria disampingnya. Ia akan selalu kalah dan dongkol sendiri karena ketidak pekaan 'teman'nya itu.
Ya, teman.
Mungkin bisa dibilang begitu.
Wei Wuxian tidak pernah menerima pernyataan cintanya, namun juga tidak menolak tindakan romantis Jin Jixuan.
Selama ini mereka berjalan diatas hubungan tak jelas.
Abu-abu.
Pada awalnya ia selalu menuntut kepastian. Namun Wei Wuxian selalu mampu berkelit.
Pada akhirnya, Jin Jixuan harus puas dengan hubungan mereka yang seperti ini.
Setidaknya, ia masih bisa dekat dengan pemuda itu. Dan berharap suatu saat Wei Wuxian menyambut perasaannya.
.
.