Chereads / Aroma Surga / Chapter 6 - Kedai Kopi

Chapter 6 - Kedai Kopi

Di sebuah sudut kota Jakarta terlihat sebuah rumah memiliki arsitektur yang cukup klasik sekali. Rumah itu terbilang sangat mewah sekali namun kenyataannya rumah itu berisi seperti di neraka. Di sana tinggallah Alex dan Fiona yang harusnya rumah itu milik Lara.

Alex dan Fiona pun berhasil menguasai rumah dan harta milik Lara. Dia bahkan meminta agar Lara membalik namakan dengan atas nama Fiona.

Setelah melakukan proses penandatanganan surat-surat yang diberikan oleh Alex dan Viona. Kemudian dia mengusir Lara dari rumah tersebut.

"Sayang, kita berhasil menguasai harta dari seekor kelinci kecil," Alex mulai menyeringai dengan sangat licik sekali. Dia menatap wajah istrinya lalu dia berkata, "semua harta milik keluarga Laras Sarasvati akan menjadi milik kita." Dia mempertegas ucapannya.

Fiona melipat kedua tangan,"Iya, kita berhasil menyingkir seekor kelinci kecil dari rumahnya sendiri."

Mereka berdua sangat licik sekali karena mereka telah berhasil memainkan sandiwaranya Semenjak mereka memutuskan untuk menjadi wali dari Lara Saraswati yang kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakaan 20 tahun lalu.

Keluarga Lara Saraswati meninggal dunia di tempat kejadian. Saat itu Lara tinggal di rumah bersama dengan Baby Sister nya. Hanya dia yang selamat dalam peristiwa itu Sedangkan Kakaknya juga meninggal dunia dalam peristiwa itu bersama kedua orang tuanya.

Polisi pun masih menyelidiki kasus itu namun Viona dan Alex pun meminta pihak berwajib untuk menutup kasus tersebut. Mereka berdua pun juga tidak ingin kalau kejahatannya terendus oleh Polisi saat itu juga. Tujuan utama mereka adalah untuk mengambil ahli kekayaan keluarga Lara Saraswati.

Setelah kasus itu ditutup, sepasang suami istri itu terlihat begitu lega sekali. Mereka bisa melakukan rencananya dengan baik sesuai dengan susunannya. Mereka juga mengasuh Lara namun kenyataannya tidak memperlakukan gadis kecil itu dengan baik hingga bertumbuh dewasa. Mereka berdua pun selalu menyiksa gadis kecil itu. Bahkan tidak segan-segan pernah mengurungnya di sebuah ruangan gelap.

"Bodoh sekali anak itu!" kekeh Fiona sambil menyesap secangkir teh hangat. "Kita sudah bisa menyingkirkan dia!"

Alex pun menatap luar dari luar jendela kerjanya sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku.

"Seluruh asset itu menjadi milik keluarga kita, dan kita harus lenyapkan semua bukti yang menuju ke kita tentang kematian keluarganya dua puluh tahun silam."

"Ya, bukti kejahatan kita harus kita lenyapkan, karena kita tidak tahu ke depannya bagaimana."

Alex pun berjalan menghampiri Viona yang yang sedang duduk menikmati secangkir teh hangatnya, lalu kedua tangannya memegang kedua bahu wanita itu.

"Kau harus tahu, Sayang. Siapapun tidak akan pernah tahu tentang kejahatan kita! karena Alex Wijaya tidak akan pernah terkalahkan!"

"Begitu juga denganku sebagai istrimu, maka dari itu aku memilihmu menjadi pendampingku,"Viona memegang tangan kanan Alex yang menempel di pundaknya.

Mereka berdua pun tersenyum puas mendapati kemenangan atas menyingkirkan Lara dari kehidupannya.

-

Sejak Lara Sarasvati Terusir dari rumah mewahnya. Dia segera pergi menuju ke kota Semarang menggunakan sebuah bis umum. Dia tidak ingin tinggal kembali di kota Jakarta yang begitu membuat dia tersiksa. Dia ingin membebaskan diri dari kedua orang itu. Dia tidak ingin bertemu dengan Viona dan Alex.

Sejingga senja mewarnai kota Semarang, Lara dalam sebuah luka kehidupan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menyapa senja sore yang mulai redup.

Lukisan senyuman terlihat dalam lengkungan sudut bibir yang membentuk bulan sabit. Pengunjung mulai berdatangan memesan beberapa varian kopi.

Kota lama di mana letak kedai kopi tempat ia bekerja. Lokasi cukup strategis, jadi tidak jarang banyak kawula muda mudi memadati isi ruang kedai kopi.

Helaan napas Lara,"Semangat Lara kamu pasti bisa melewati semua itu,"seru hatinya dengan menguratkan senyuman untuk beberapa tamu yang memesan kopi.

Senja kini berupa menjadi petang, jam kerja Lara mulai berakhir. Ia pun duduk di pojok ruang loker dengan mengisthirahatkan punggungnya yang lelah. Ia memukul-mukul bahunya yang sedikit kaku akibat dua belas jam kerja.

"Kenapa aku harus bertemu denganmu, mas Haslan!" gumam Lara dalam hati kecilnya, ia seolah tidak ingin kembali bertemu dengan Haslan. Ia sudah lama menutup kisah lama yang sudah lama punah.

Lara mulai melepas apron coklatnya, ia lalu melipatnya. Ia mulai berdiri sambil mencoba mengerakkan punggungnya ke samping kiri dan ke samping  kanan hingga berbunyi kratak. Begitu juga lehernya yang dari tadi kaku dan tegang.

"Semangat Lara! kamu pasti bisa melewati semua ini!" Lara mengepalkan tangan kanannya dengan berseru pada hatinya sendiri.

Kedua kaki Lara melangkah menuju ke loker. Ia pun membuka lemari loker, lalu memasukkan apronnya ke dalam dan mengambil jaket dan tas kecil di dalamnya.

"Semoga esok lebih menyenangkan,"ucap Lara, lalu menutup pintu lemari lokernya. Dia berusaha untuk tersenyum tipis Walaupun dia tidak sanggup lagi menghadapi kehidupan yang begitu berat sekali. Dia harus bisa bangkit dengan kedua kakinya walaupun terasa berat sekali.

Lara pun keluar dari ruang loker dengan wajah yang masih melukiskan senyuman senja, ia yakin seberapa beratnya hari yang akan dia lewati dengan tersenyum semua akan baik-baik saja.

-

Disebuah kawasan mewah Jakarta Selatan. Keluarga Wijaya akan melakukan sebuah acara keluarga. Hari ini adalah pertunangan antara haslan Wijaya dan kara Wulandari.

Sebuah Resort keluarga Wijaya yang terbilang mewah sekali digunakan sebagai tempat pertunangan antara Kara dan Haslan.

Ketika itu haslan merasa sangat berhati-hati sekali apalagi dia tidak pernah mencintai gadis itu sama sekali. Dia hanya mencintai satu perempuan bernama Lara Saraswati yang dia kenal semenjak SMA. Namun sebuah kenyataan keluarga tidak pernah menerima kehadiran perempuan itu. Bahkan dia harus melakukan pertunangan itu atas dasar sebuah bisnis keluarga. Dia terpaksa untuk meninggalkan perempuan itu demi nama baik keluarganya.

"Ma, apa nggak bisa kita tunda dulu acaranya?"

Lira pun hanya mengelengkan kepala dengan tegas, ia malah akan mempercepat menuju ke pernikahan.

"Mama tahu kamu nggak cinta dengan Kara, tapi pikirkan bisnis kita akan semakin maju dan berkembang, jika kau bisa menikahi Kara secepatnya."

"Aku nggak cinta dengan dia, Ma!"

"Masalah cinta kau nggak usah cemas, mama aja sama papa kamu nggak pernah cinta."

Haslan tahu nyokapnya tidak akan pernah merubah keputusannya.

"Ingatlah, Nak. Tidak mudah untuk membuat keluarga dari Kara percaya sama kita! pikirkan baik-baik,"ucap Lira, lalu pergi setelah menepuk pundak kanan putranya.

"Baiklah, hubungan dalam sebuah kepalsuan. Apakah aku akan kehilangan perempuan yang ku cintai selamanya?" kedua kepalan tangannya di atas meja kerja Haslan.

Lara memang perempuan yang pertama lali membuatnya jatuh cinta. Ia tidak bisa mengantikan dengan perempuan mana pun, apalagi dengan Kara yang selalu membuatnya pusing dengan sikap setengahnya. Ceroboh, manja dan seenaknya sendiri.

Dua garis kerutan Haslan memikirkan hubungannya dengan perempuan yang selalu membuatnya emosi. Ia tidak menyangka kalau orang tuanya berambisi menikahkan dia dengan Kara.

Di balik pintu kerja Sinta sedang kesal dengan kerjaan yang diberikan bosnya. Rasanya otaknya mulai panas.

"Kamu kenapa, Sin?"

"Aduh, kepalaku mumet banget! mana udah hampir jam delapan pula, Gus."

Bagus pun hanya menyungingkan senyuman.

"Kamu ngeledek aku?"

"Ye, itu resiko punya bos gila kerja!"

"Gila kerja sich gila kerja, tapi apalah daya aku cuman sekertaris ya juga manusia, Gus," ucap Sinta dengan kesal.

"Emang bos besar udah keluar dari ruang kerja bos?"

"Maksud kamu bu Lira?"

"Iyalah, Sin. Siapa lagi, kalau bukan maknya bos," ucap Bagus setengah berbisik.

"Ya, baru lima menit lalu beliau keluar dari ruangan bos setan itu!" balas Sinta dengan nada dongkol.

"Sabar, Bu."

"Sabar, sabar, sabar! jidat kamu nggak lihat dari tadi aku udah hampir  mumet!" omel Sinta.

"Udahlah, kamu izin pulang, Sin. Ntar abang Bagus traktir kamu es cream."

"Bener juga, ya. Kan, bisa aku kerjaan di rumah aja ya ini tugas dari bos setan!"

"Nggak boleh ngatain bos kamu sendiri entar kuwalat loch."

"Bodoh amat aku mah, Gus."

"Udah, ntar aku bantu ngerjain."

"Sungguhan?" seru Sinta.

"Iya bantu pakai doa," kekeh Bagus.

"Sialan kamu, Gus!" umpat Sinta.

"Udah, kamu interkom bos Haslan. Mungkin aja dia mau bebasin tugas."

Sinta mengangguk, ia pun mengangkat ganggang telepon, lalu ia memencet tombol ext. 2 yang menghubungkan ke ruang Haslan.

Haslan memijat keningnya, ia merasakan pusing memikirkan acara pertunangan dengan Kara. Ia ingin sekali membatalkan acara itu, tapi apa daya dia tidak mampu untuk menolak permintaan nyokapnya dari dulu.

Lira sangat membenci Lara sejak tahu kalau perempuan itu sebatang kara. Ia merasa perempuan itu tidak cocok bersanding dengan putra mahkotanya yang mewarisi perusahaan Wijaya Group. Sebuah perusahaan media periklanan yang memiliki beberapa anak cabang di Indonesia dan Singapura. Ia merasa malu kalau harus mendapatkan putri menantu dari keluarga tidak setara.

KRING! KRING!

Haslan meraih ganggang telepon,"Halo?"

"Pak, saya mau izin pulang."

"Iya, pulang saja kamu Sinta."

"Tapi, bapak,-"

Haslan pun menutup sambungan teleponnya, ia tidak ingin bertele-tele.

Sinta pun menatap Bagus.

"Gimana?"

"Berhasil, ayo!!!"

"Okay, Sin. Cepet beresin. Kita akan mampir ke gelato," ucap Bagus.

"Beneran ke Gelato legendaris di kota lama?"

"Iyalah, aku traktir. Anggap aja buat hibur perempuan jelek kayak kamu."

"Sialan, aku cuman cantik tertunda aja," protes Sinta.

Sinta pun membereskan semua pernak-perniknya ke dalam tas berwarna merah maroon berukuran sedang, ia juga membawa berkas-berkas ke dalam tas kertas untuk ia tenteng.

Helaan napas lega Sinta bisa keluar dari kantor. Jam menunjukkan pukul 08.15. Ia pun menuju ke parkiran motor.

Di ujung sana ada motor vespa butut berwarna hijau tosca yang nangkring. Lalu, ia pun berjalan bersama Bagus teman kerjanya.

Vespa hijau tosca butut milik Bagus siap berkelana menuju kedai gelato legendaris.

-