Pov Lara.
Sejak tadi aku hanya duduk di belakang meja barista sembari menunggu pengunjung kedai kopi. Aku pun mulai menatap pintu keluar masuk yang nyatanya belum ada sama sekali pengunjung yang datang.
Kebetulan Hari ini aku sedang shift pagi. Aku pun mulai menyibukan diri untuk membersihkan beberapa apa meja yang kemungkinan kotor. Lalu aku merapikan di bagian dapur juga. Aku juga menunggu temanku yang belum juga datang.
Beberapa menit kemudian aku melihat sosok lelaki yang pernah menyakitiku dalam masa lalu. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengan dia sama sekali bahkan memiliki urusan dengan dia lagi. Rasanya hidupku sudah damai ketika dia pergi jauh dariku bersama dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya.
Aslan datang kembali ke kedai kopi tempat aku bekerja. Rasanya aku sudah lelah berurusan dengan lelaki itu. Dia benar-benar keterlaluan sekali telah menghancurkan kehidupanku berulang kali.
"Haslan?" Aku memekik melihat kedatangan dia yang tidak ku harapkan sama sekali di kehidupanku. "Mau apa lagi kamu?!" lanjutku yang tidak kuasa menahan perasaan kesalku.
Haslan hanya tersenyum menatapku.
"Apa lagi yang kau harapkan dariku?!" Bentakku dengan sangat kesal sekali.
"Aku akan berjuang mendapatkan kamu, karena hanya aku yang pantas untukmu," balas Haslan menatapku.
"Pantas?" ulangku dengan penuh penekanan. Sungguh aku hanya bisa tersenyum pahit, sumpah dia itu nggak pernah mikir pakai otak tentang perselingkuhannya. Ditambah lagi dia menikah dengan wanita lain. "Kamu ngomong begitu, apa sudah kamu pikirkan? Aku cuman Lara seorang barista dari kedai kopi kecil yang tidak setara dengan CEO sepertimu, Haslan! Lucu kamu!" Kekehku.
Haslan pun menatapku dengan penuh harapan, tapi tidak denganku yang sudah terluka tersayat-sayat begitu dalam. Apalagi penghinaan ibunya yang selalu merendahkan aku.
"Aku sudah tidak mencintaimu lagi, dan aku nggak berminat untuk menjalin hubungan dengan suami wanita lain," ucapku dengan tersenyum. "Kalau kamu ke sini hanya ngomong yang nggak penting, sebaiknya kamu pergi saja. Karena, aku nggak ada urusan sama kamu tuan CEO yang terhormat."
Haslan pun tersenyum,"Kalau begitu aku mau secangkir kopi Senja dengan double shoot."
"Sebaiknya, kamu tunggu di meja sana. Karena, aku sibuk," aku menatapnya dengan mengangkat satu alisku. "Aku tidak punya waktu untuk meladeni lelaki seperti kamu!" Tegasku langsung pergi menjauh darinya.
"Okay," balas Haslan, lalu memutar badannya menuju ke meja di dekat jendela kedai kopi.
Aku tidak sanggup sebenarnya, melihat Haslan seperti merobek luka yang sudah dijahit rapi. Ku helakan napas cukup kasar, ku coba bendung air mataku. Namun, apalah daya aku tidak mampu melakukan semua itu. Cintaku, sudah menjalar hingga ke uluh hati yang tidak dapat ku rubah menjadi rasa benci.
Please, Lara. Kamu nggak boleh cengeng ataupun lemah. Dia hanyalah masa lalu yang nggak boleh kamu ingat kembali, kataku dalam hati kecilku sambil berusaha menahan air mata yang siap untuk memecahkan bendung di kedua kelopak mata.
"Apa kau benar-benar membenciku Lara Sarasvati?" Tanya Haslan sekali lagi.
Jantungku mendadak berhenti, ketika Haslan melemparkan pertanyaan itu. Sungguh, aku merasa sangat dilema, tapi rasa sakit hatiku masih terasa perih.
"Ya." Singkatku dengan menatap kedua manik matanya.
*
"TIDAK! INI TIDAK MUNGKIN!"
Kara berdecak begitu sangat besar sekali. Dia merasa kalau haslan begitu keterlaluan sekali tidak pernah nah menatapnya atau melihat dirinya. Bahkan menyentuhnya pun tidak pernah. Dia sudah berusaha memakai sebuah lingerie yang cukup tipis berwarna hitam.
"Kamu memang seksi, tapi aku tidak bernafsu sama sekali untuk melihat maupun menyentuh mu! Karena aku tidak tertarik dengan dirimu sama sekali! " kata-kata Haslan benar-benar menyakiti hati Kara. Dia tidak menyangka atas penghinaan yang diberikan oleh Haslan. Dia ingin sekali membuat pria itu tunduk kepada dirinya. Dia akan melakukan seribu satu cara untuk bisa membuat Haslan tunduk kepada dirinya.
"Aku tidak akan pernah bisa untuk mencintaimu dan menerima kamu sebagai istriku secara sah. Walaupun hubungan kita hanyalah sah dimata hukum saja tapi aku tidak akan pernah Sudi untuk menyentuhmu sama sekali." Haslan pun memalingkan pandangannya ketika berhadapan dengan Kara saat itu. " Karena kamu bukan Lara Sarasvati sosok perempuan yang aku cintai! Semua ini gara-gara kamu hingga aku harus meninggalkan perempuan yang benar-benar aku cintai selama ini!"
Kata-kata Haslan terus berulang kali dalam kepalanya, Kara merasa tidak terima karena dibandingkan dengan perempuan lain. Dia benar-benar merasa direndahkan oleh suaminya sendiri. Padahal dia merasa lebih sempurna dibandingkan perempuan yang sudah menjadi mantan kekasih suaminya.
"Kenapa kau mencintai dia? Apa kurangnya aku dibandingkan dia?!" Teriak Kara berulang kali, dia memporak-porandakan meja riasnya. Dia sangat marah sekali karena sikap haslan yang tidak pernah memperdulikannya sama sekali. Lelaki itu hanya menganggapnya sebatas istri di atas kertas saja atau hubungan bisnis keluarganya saja.
Kara merasa sangat frustasi. Pernikahan tidak sesuai dengan ekspetasinya. Dia hanya menikah sebagai status, bahkan secuil pun Haslan tidak pernah menyentuhnya.
Pernikahan yang terlihat sempurna di hadapan publik, tapi keropos di dalamnya. Sungguh, Kara akan memikirkan cara membuat Haslan bertekuk lutut padanya. Dia hanya ingin pria itu.
Kara semakin terjebak dalam situasi pernikahan dengan Haslan. Padahal sebenarnya dia hanya menjalankan rencananya demi menghancurkan keluarga Wijaya Karena dendamnya di masa lalunya. Tapi dia terjebak dalam sebuah perasaan.
Kara berjalan menuju ke kamar mandi, lalu ia menyalakan kran shower. Dia pun duduk di bawahnya sambil terisak tangis, dia merasa kalau Haslan tidak pernah baik kepadanya, kecuali saat bersama keluarga atau kerabat dekat. Bahkan, dia sengaja pindah ke mansionnya, karena tidur mereka terpisah walaupun status mereka adalah suami istri yang sah.
"Kenapa kau lakukan ini kepadaku Haslan? Kenapa kamu tega nodai pernikahan kita dengan bercinta wanita - wanita jalang? Bahkan, cintamu masih untuk perempuan udik dan kampungan itu?!"
Kara benar-benar frustasi akan sikap Haslan, dia merasa diabaikan. Bahkan Haslan tidak akan pernah menyentuh dirinya dan menganggapnya hanyalah sebagai istri di atas kertas aja.
"Semua itu, karena perempuan itu! Akan aku beri dia pelajaran!" Kara merasa tidak terima sama sekali dengan perilaku haslan. Dia juga merasa tidak terima harus dibanding-bandingkan dengan perempuan lain yang jelas-jelas hanyalah seorang barista di sebuah kedai kopi kecil.
Seluruh isi ruang kamarnya bak kapal pecah. Ia merasa kesal apalagi Haslan tidak mengangkat ponselnya atau sekedar memberikan kabar. Dia membanting ponselnya ke lantai kamar. Tubuhnya beringsut seketika, dia memeluk kedua lututnya sambil terisak tangis di dalam kamarnya.
Suara ketukan dari luar kamar Kara, tapi dia tetap saja pura-pura menuli.
"Non, bibi bawakan makan malam," pelayan rumah berusaha untuk mengetuk pintu kamar Kara. Namun sayangnya karena tidak membukakan pintu itu sama sekali.
"Nggak usah, Bi. Aku tidak lapar sama sekali!" Bentak Kara dengan kesal, dia merasa tidak sanggup bila suatu hari nanti Haslan meninggalkan dia. Namun dia tetap saja akan menjalankan sebuah rencananya. Ia berusaha untuk mengontrol perasaannya. "Aku tidak boleh lemah dengan perasaanku sendiri." Dia menggumam dalam hati kecilnya.
*