"Gila, Bos itu niat ngantor nggak sich?" omel Sinta sang sekertaris. Ia menatap beberapa berkas menumpuk di meja Haslan.
Sinta mulai mengambil BB Cushionnya di tas kecil. Dia mulai sedikit menggunakannya dengan spons yang ada di dalam BB Cushionnya. Kemudian dia hanya menggunakan tipis tipis agar terlihat sedikit segar. Kemudian dia menyemprotkan face mist ke wajahnya.
"Duh, Bos, kenapa kau tidak datang-datang?!" keluh Sinta yang masih berkutik di meja kerjanya, ia sudah mulai sakit kepala, apalagi beberapa klien banyak yang menanyakan kontrak kerjasama.
Suara serak membuat Sinta terkejut, ia melihat seorang pria tampan berbalut setelan kemeja dan celana jins. Di dalam jasnya ada kemeja putih, serta hiasan dasi di leher.
Sinta hanya mampu menelan salivanya sendiri, ia hanya dapat menundukkan pandangannya.
"Sinta kamu masuk ke ruangan saya!"
"Mampus, dech! Ini pasti dapat kultum dari bapak bos killer!" gumam Sinta seraya mengigit ujung bibirnya, ia merasa firasatnya buruk.
*
Di depan kaca rias Lara sedang memakai hijabnya, ia sudah bersiap menuju ke kedai kopi tempat dia bekerja.
"Semoga saja hari ini indah," helaan napas singkat Lara. Ia tersenyum menatap sebuah kaca rias, lalu ia memoleskan lip tint, agar terlihat lebih fresh.
Lara pun mengambil jaket, lalu ia memakai sepatu kets putih yang sudah hampir jebol. Tapi, hanya itu yang dia miliki maklum belum gajian.
Suara ketukan pintu, Lara langsung menuju ke sana, ia memulai meraih daur pintu kamarnya.
"Astaga, Erlan?"
Erlan terlihat sangat buruk keadaannya, ia seperti gembel.
"Kamu kenapa, Lan?"
"Apa kamu ada waktu? Aku mau,-"
"Sorry, aku lagi ada kerjaan, bagaimana kalau kamu menunggu di kontrakan?" tawar Lara.
"Baiklah."
Lara mengulurkan kunci kontrakan ke Erlan, karena ia tidak ingin dipecat bosnya.
"Lan, kalau kamu butuh makan di meja ada sedikit nasi goreng sama telur ceplok! Jangan cari lemari es, karena aku tidak memilikinya. Dan, kalau butuh hiburan ada radio butut, karena aku tak punya televisi."
"Astaga!" respon singkat Erlan, ia merasa kalau kontrakan Lara benar-benar serba minim perlengkapan.
Lara bergegas pergi, sedangkan Erlan masuk ke dalam kontrakan perempuan itu.
Cklek
Pintu kontrakan milik Lara terbuka, ia menatap kontrakan reot dengan bangunan serba mengenaskan.
"Astaga, apa Lara bisa hidup di kontrakan yang model beginian?" Erlan merasa tidak tega melihat sahabat yang tinggal di bangunan yang hampir roboh, ia mendongak ke atas, kalau plafon rumah kontrakan itu terlihat hampir ambruk.
Erlan hanya dapat mengelus dadanya, ia tidak menyangka, kalau tempat tinggal Lara begitu memprihatinkan.
"Bagaimana bisa dia tidur di kontrakan yang seperti ini? Apa dia benar-benar,-"
Erlan pun membuka kamar, ia melihat ranjang yang hampir rapuh, sekali goyang saja bisa ambruk. Lalu, ia pun memikirkan ide untuk kehidupan layak Lara, sahabat terbaiknya.
*
Di ruang bosnya, Sinta hanya mampu tertunduk dan terdiam, ia merasa sangat gugup, apalagi bosnya sedang memeriksa beberapa berkas.
"Aduh, rasanya pengen buang air kecil, gimana kalau ada yang nggak beres?" Sinta mengatakan dalam hatinya, ia tahu kalau Haslan selalu saja bersikap perfect dengan hal-hal berbau pekerjaan.
"Kamu panggil bagian keuangan."
"Sekarang?" tanya Sinta.
"Iya, Sekarang! Atau kamu mau saya pecat tanpa pesangon!" bentak Haslan yang membuat Sinta bergegas keluar dari ruangan kerja bosnya.
Sinta segera menuju ke ruang divisi keuangan. Ia mulai mengatur napas menemui Pak Bara. Ia nyelonong masuk, karena ia sudah buru-buru.
"Pak."
"Iya, kenapa Bu Sinta? Kok kelihatannya seperti ngelihat setan?"
"Bapak, dipanggil Pak Bos," Sinta pun berbicara sambil mengatur napas.
"Pak Boss? Emang dia sudah ngantor?"
Sinta mengangguk cepat.
"Hah? Manusia dingin itu mulai masuk? Gawat, pasti bakalan ada huru-hara," ucap Pak Yohan terlihat sangat cemas, ia pun hanya diam. Apalagi ada penurunan nilai saham perusahaan, serta pendapatan yang melonjak turun drastis.
"Kenapa muka bapak kelihatan pucat gitu?" ujar Sinta dengan terbata-bata karena ia harus naik ke lantai 5 demi menuju ke divisi keuangan. Karena lift kantor mendadak sedang mengalami gangguan, ia terpaksa naik tangga darurat dari lantai 2 menuju ke lantai 5. Apalagi harus memakai high hels dengan ketinggian 15 centimeter. Astaga, ia merasakan kedua kakinya kaku.
"Sumpah demi apa? Punya bos arogat, nyebelin, dan punya kepala batu! Itu bos dulu ibunya nyidam apa coba?" omel Sinta dalam hati, ia menghentak-hentakkan kedua kakinya di atas lantai ruang divisi keuangan dengan bibir manyun. "Untung saja, ini perusahaan ngasih gaji besar, mau bagaimana lagi," dengusnya.
*
"Hai," sapa Lara menatap pria yang dia kenal.
"Kamu?"
"Iya, aku. Kamu masih inget?"
"Iya, aku ingetlah. Kamu yang malam-malam ngumpet di deket kontrakanku, kan?"
Lara pun nyengir, "Ternyata kamu inget kejadian itu?"
Pria itu mengangguk, ia melebarkan senyuman. Ia pun terlihat lebih tampan, apalagi dia mengikat rambutnya yang gondrong.
"Kamu barista di sini?"
Lara mengangguk dengan cepat, ia melihat senyuman yang begitu teduh. Ia melihat tatapan sinar mata pria itu penuh dengan kesejukan.
"Kamu suka kopi juga?"
"Iya."
"Kamu suka kopi yang strong atau yang biasa-biasa saja."
"Strong dong, terus suka yang less sugar. Maklum kebanyakan gula bikin diabetes," ucap Syahid penuh canda. "Emang apa kopi yang paling rekomendasi di sini?"
"Kopi Senja."
"Kopi Senja? Emang ada?"
"Ada donk," ujar Lara dengan pede, ia merekomendasikan kopi senja.
"Baiklah, aku akan buatin kopi senja."
"Okay, aku akan tunggu. Kopi senja," senyuman seindah senja yang pernah ku nikmati kala itu sebelum senja itu benar-benar redup.
*
"Gila kakiku benar-benar kaku," keluh Sinta, ia merasakan otot-ototnya kaku. Ia terpaksa melepaskan sepatu high helsnya.
Sinta pun merasa kedua kakinya pegal-pegal. "Sungguh, terlalu Pak Bos!"
"Bu Sinta?"
"Eh, iya."
"Bengong mulu, nanti kesambet setan."
Sinta meringis menatap Yohan.
"Bapak jalan dulu ya, kaki saya masih pegal."
"Bukankah, kamu tadi,-"
"Naik lift?" potong Sinta. "Liftnya itu mati, jadi saya naik tangga darurat," imbuhnya sambil merasakan sakit dan lecet kedua kakinya.
"Oh," respon singkat Yohan.
"Iya, kalau naik lift saya nggak ngos-ngosan kayak gini, Pak," cicit Sinta yang terpaksa melepaskan sepatu high helsnya.
Yohan memutar balik langkahnya, lalu menuju ke meja kerjanya. Ia mengambilkan sandal jepit dia yang selalu dipakai untuk wudhu.
"Ini, sebaiknya kamu pakai ini," Yohan mengulurkan sepasang sandal jepit ke Sinta.
"Astaga, terima kasih, Pak."
Telepon di meja kerja Yohan berbunyi.
"Itu pasti Pak Bos," tebak Sinta, ia sudah hafal kalau bosnya itu bawel, nyebelin, dan arogant. Apalagi, sehabis menikah dengan ratu bawel bikin makin sadis. Karyawan dan pekerjaan, jadi sasaran ketidak bahagiaannya. "Gila, kapan Pak Bos bisa jadi malaikat, bukan iblis!" cicit Sinta dalam hati kecilnya.
*
"Kopi Senja."
Lara menyajikan secangkir kopi senja di tengah siang bolong. Ia menatap sendu raut wajah tampan pria itu dengan wajah maskulin yang ditumbuhi bulu-bulu tipis di sekitar rahang wajahnya.
"Aku cicipin ya?"
"Ehem, silahkan."
Syahid mulai menyesap kopi senja, ia terlihat tersenyum, ketika merasakan rasa kopi sepekat kehidupan. Rasa biji kopi yang diroasted begitu terasa. Setelah, dimasukan ke mesin espresso begitu terasa, apalagi dicampur dengan susu.
"Gimana rasanya?" tanya Lara menatap Syahid yang merasakan tiap rasa yang disajikan hingga tetesan terakhir.
Syahid pun mengangkat satu jari jempolnya memberikan kode, kalau kopinya mantap sekali.
"Syukur dech, kamu suka. Terima kasih sudah nolongin aku juga, hari ini kopi senja buat kamu gratiss," ujar Lara melukis sebuah senyuman di bibir mungilnya.
"Kopi senja mengingatkanku dengan semua kenangan indah bersama ibu, meskipun hanya sebatas di ambang senja yang pilu. Sungguh, aku tidak peduli, meskipun aku tidak terlahir di rahim ibu," batin Syahid merasakan sensasi rasa secangkir kopi senja.
*