Kara masih terbaring lemah di ruang ICU, ia kehilangan banyak darah. Ia masih koma.
PLAK!
Sebuah tamparan itu mulai melesat begitu saja di pipi kanan Haslan hingga terasa begitu panas sekali.
"Mama?!"
Di luar terjadi percekcokan, Haslan baru saja datang. Ia sudah mendapatkan sebuah tamparan dari wanita yang dia sebut sebagai mama.
"Mama, nggak ajarkan kamu untuk mengabaikan tanggung jawab kamu sebagai seorang suami!"
"Ma, aku..."
"Tutup mulut kamu, Haslan! Kara itu istri sah kamu, dan kamu sebagai suami masih saja kepikiran wanita lain!"
"Ma, Aku sudah jelaskan, kalau aku nggak cinta sama Kara!"
Mendadak Lira pingsan hingga Haslan mulai berteriak meminta tolong agar membantu ibunya menuju ke ruang gawat darurat. Dia tahu kalau ibunya sedang mengidap penyakit jantung yang cukup kronis sehingga tidak dapat mendengarkan sesuatu yang buruk.Haslan sangat panik sekali saat itu. Dia meminta Seorang perawat untuk membantunya membawa ke ruang gawat darurat agar ibunya segera mendapatkan tindakan dari dokter.
"Mama!"
"Ma, bangun!"
"Suster!"
Haslan mendadak kebingungan melihat ibunya jatuh pingsan, karena serangan jantung dadakan.
Seorang perawat laki-laki datang membawakan sebuah brankar dorong untuk membawa Lira menuju ke ruang gawat darurat.
"Ma, Bangun," Haslan mencoba menggoyang-goyangkan tubuh ibunya yang sedang terbaring pingsan di atas brankar dorong.
Seluruh peralatan medis lalu dipasang di tubuh wanita itu. Mulai dari selang infus hingga alat detak jantung. Kondisi jantung wanita itu makin melemah hingga dokter mengharuskan memberikan alat tegangan pada defiblator yang diberikan beberapa volt tekanan.
"Ku mohon selamatkan mamaku Ya Allah, aku akan melakukan apapun demi mama," lirih Haslan, ia berharap kalau mamanya baik-baik saja.
*
Pov Lara.
Di kedai kopi aku hanya duduk terdiam lalu aku menatap kearah pintu keluar masuk. Aku mengingat Kejadian beberapa hari yang lalu saat aku pingsan dan terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit. Mendadak bayangan lelaki itu mulai mengusikku seketika.
"Nona?!"
"Hah?
Seorang lelaki memanggilku berulang-ulang kali namun aku tidak mempedulikannya saat itu karena aku hanya hanyut dalam sebuah lamunanku saat itu. Lamunan tentang dia yang membuat aku mulai merasa ada sebuah getaran yang cukup aneh sekali.
"Nona melamun?" tanya seorang pelanggan dari ojek online.
"Oh, maaf," runtukku dengan tersenyum, sungguh aku merasa sangat bodoh sekali melamun di jam kerja.
"Nona, saya mau ambil pesanan," ujar ojek online sambil tersenyum menatapku.
Rasanya bayangan lelaki itu mulai mengusik diriku hingga aku benar-benar tidak sadar kalau di hadapanku ada seorang ojek yang ingin mengambil sebuah pesanan.
"Okay, tunggu sebentar, Pak," ucapku sambil menghela napas sejenak, sungguh hari ini memang bayangan Syahid terus menerorku. Mungkinkah, aku mulai menyukainya. Atau hanya sebatas simpati saja, pikirku sambil membuatkan satu single espresso dengan mesin.
Suara mesin espresso memproses yang ditampung dalam sebuah cangkir, setelah selesai hingga tetes terakhir. Aku pun menambahi susu cair hingga mencampur dalam satu cangkir.
Aku mulai berjalan dengan membawa nampan yang berisi secangkir kopi latte dengan satu single espresso ke sebuah meja nomer dua belas. Aku mulai berjalan perlahan dengan menyajikan secangkir kopi latte hangat.
Sehangat sebuah pertemuan, sepekat aroma kopi latte dengan single shoot espresso. Sungguh, aku membuatnya sesuai dengan suasana hatiku. Jatuh cinta memang sebuah perasaan yang sulit dipungkiri.
Kadang aku nggak tahu harus tersenyum untuk siapa? Tapi, sebuah perasaan itu nggak bisa tertahan oleh setiap kata-kata cinta.
Sejauh ini aku terlarut dalam sebuah perasaan yang nggak bisa dihentikan oleh sang waktu. Aku memang pengecut yang mampu berlari dalam sebuah rasa yang terdapat luka penghianatan. Kini aku kembali menemukan seberkas senyuman hingga rasa yang dulu pernah mati.
Astaga, apa aku benar-benar jatuh hati? pikirku dalam sebuah angan-angan. Sungguh, dia membuatku tersenyum-senyum.
"Hey!"
"Erlan?!"
"Bengong mulu kamu kerjanya," cetus Erlan dengan meringis.
"Kamu datang sejak kapan?" tanyaku sambil memincingkan kedua mata.
"Baru aja aku datang," balasnya.
"Terus tunangan kamu bagaimana?"
"Udah kandas," Erlan terlihat memaksakan senyuman dari raut wajahnya.
"Oh, mungkin belum jodoh."
"Iya, sepertinya begitu," Erlan mengatakan dengan nada datar.
"Kopi?"
"Enggak dech," tolaknya.
"Kenapa?"
"Aku cuman mau ajak kamu jalan aja."
"Lan, tapi aku sedang..."
"Sedang kerja?" potong Erlan. "Aku tahu, tapi bentar lagi jam shift kamu berakhir, kan?"
Aku mengangguk jelas.
"Temanin aku cari tempat buat pelarian," pintanya.
"Oh, begitu," kataku.
"Jadi, kamu ke Semarang buat move on dari tunanganmu."
"That's right, kamu memang benar, Ra."
"Heem."
"Tenang aku nggak akan merepotkanmu banyak, cuman dikit aja."
"Males banget harus ketemu dan direpotkan cowok semacam kamu," kataku.
"Ih, nggak boleh gitu kamu sama aku. Kita kan sahabat."
"Heem, kalau lagi susah ngaku sahabat. Pas lagi sama dia aja, sahabat nggak dianggap."
Erlan hanya tersenyum, ia merasa kalau kataku memang benar.
"So, mau kan sedikit aku repotin?"
"Aku pikir-pikir dulu, karena aku sibuk," balasku, sambil mengetuk meja barista.
"Jangan gitu dong, Ra. Kamu kan teman terbaikku."
"Nggak usah merayu pakai muka polos kamu," ujarku.
"Temen macam apa kamu, Ra? Masa kamu..."
"Bodoh amat dech sama kamu, beban hidupku saja udah berat, apalagi kalau kamu nambahin," helaan napas kasarku.
"Ya Ya Ya aku paham kok, kamu memang terlalu kalau sama aku."
Aku mengangkat satu alisku, lalu menahan tawaku melihat muka bete Erlan. Tapi, dia memang sahabat terbaikku yang selalu ada. Bagaimana pun dia juga pernah berarti dalam hidupku.
"Astaga, kamu tega, Ra," dengusnya menatapku.
"Budu amat!"
"Kamu memang ratu te-"
"Erlan! Lara!" suara itu benar-benar tidak asik untukku Lalu aku mulai menoleh kebelakang bersamaan dengan Erlan.
*
Pov Haslan.
Aku merasa benar-benar libur keterlaluan sekali. Dia lebih membela perempuan itu yang jelas-jelas memiliki ketidakwarasan. Bahkan aku tidak terima dengan pernikahan yang seperti neraka ketika bersama dengan perempuan itu.
Haslan mulai terlihat sangat kesal sekali dengan perilaku ibunya yang selalu saja menekan dia agar bersikap baik kepada Kara. " Kenapa Mama lebih membela perempuan itu yang jelas-jelas dia hanyalah bersandiwara? " dia mulai menggerutu atas tingkah ibunya. Dia menjalani pernikahan itu hanyalah sebatas di atas kertas saja tidak lebih dari itu. Bahkan rasa cintanya pun masih untuk Lara Saraswati.
Senja mulai menjingga seketika saat itu. Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat untuk menenangkan diriku. Karena aku sudah merasa suntuk sekali dengan permasalahan yang datang silih berganti dalam kehidupan ku.
Aku mulai menghentikan dan menepikan mobilku ke sebuah Cafe. Lalu aku mulai memarkirkan mobilku di sana, aku segera keluar dari mobil dan mengujinya dengan alarm keamanan. Kemudian aku pun melangkahkan kedua kakiku segera menuju kedalam Cafe tersebut."Mungkin Secangkir Kopi Americano akan membuat pikiran ini sedikit tenang. Seharusnya aku tidak menerima perjodohan itu, bila akhirnya akan terjadi seperti ini. " Dia menggerutu dalam hati kecilnya bahkan dia benar-benar tidak ingin sebenarnya bersama dengan perempuan.
Aku juga masih mengingat kejadian kemarin sama. Bahkan masih mengingat kuat Bagaimana aku begitu bodoh sekali untuk meninggalkan perempuan yang sangat aku cintai.
Langkah kakiku pun masih melangkah masuk kedalam kafe tersebut yang terbilang masih sepi. Lalu aku pun duduk disebuah meja dekat jendela Cafe agar aku bisa melihat jalan raya.
Suasana Cafe Love Story benar-benar menyenangkan sekali. Lalu aku duduk dan mengeluarkan satu pak rokok. Kebetulan aku sedang berada di outdoor Cafe tersebut. Karena tidak akan pernah mungkin aku masuk ke dalam ruangan yang ber-ac.
Aku mulai mengambil satu potong rokok lalu aku menyalakan dengan pemantik elektrik. Lalu aku menyesapnya dan menggembuskannya perlahan-lahan.
*
Aku dan Erlan pun terkejut ketika melihat sosok Mita ada di hadapan aku dengan Erlan. Padahal dia bilang kalau akan pergi pemotretan ke Singapura dalam seminggu ini. Namun kenyataannya Mita malah menghampiri aku dengan Erlan yang sedang berbincang-bincang.
Semenjak 6 bulan yang lalu aku dan Mita memang jarang sekali untuk berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Aku juga sedang mengurus izin ada beberapa hal yang ingin aku capai dalam waktu dekat ini. Dan aku juga terlalu malas untuk melakukan hal apapun itu jika tidak menguntungkan aku.
"Mita!" pekikku.
"Gila, kamu makin cantik, Mit," Erlan boleh memuji kecantikan wanita yang memang terlihat sangat cantik sekali. Perempuan itu selalu menjadi brand Ambassador dari salah satu produk kosmetik yang terkenal di kota Jakarta.
"Iya, kamu sekarang jadi model papan atas, bahkan kamu susah dihubungi!"
"Ye, aku memang sibuk kalee!" cetus Mita sambil tersenyum kepada aku dan Erlan.
"Sibuk mulu kamu, Mit," kata Erlan.
"Ya, namanya aja kerja harus extra!" balas Mita.
"Sombong kamu, Mit. Eh, gosip kamu bakalan nikah sama pengusaha muda yang duda itu gimana?"
"Sialan, kamu Erlan. Mana mungkin aku sama dia, pria duda itu cuman sebatas patner kerja aja enggak pernah lebih."
"Kalau lebih nggak apa-apa. Lagian kalian sama-sama single, kan? Apa salahnya menikah menyempurnakan ibadah kepada Allah semata?" ujarku.
"Cie, gaya kamu sekarang kayak ustadzah, Ra. Sumpah, nggak nyangka semenjak kamu hijrah dan berhijab. Kelakuan kamu menjadi berubah, aku sungguh salut," ujar Mita.
"Ya, apa salahnya berhijrah berproses menuju istiqomah. Bagiku, bukan hanya hijab di kepalaku, tapi juga di hatiku. Setidaknya, aku belajar tuk menuju jalan terbaik dan benar. Meskipun, aku pernah menjadi manusia dalam titik rendah di mata Allah," kataku.
"Aku ingin seperti kamu, tapi aku masih berproses," balas Mita.
"Semuanya sudah ada waktunya. Kita tidak dapat memaksa seseorang memilih dosanya. Mereka berhak memilih dosanya, bahkan jalan hidupnya. Setidaknya, kamu nggak merugikan, atau menyakiti hati orang lain yang bisa membuatmu malah berdosa. Menjaga setiap kata, meskipun kamu nggak suka sama orang lain. Karena, jika kata-katamu menyakiti hati orang lain, maka Allah tidak akan pernah membiarkanmu masuk dalam surganya, meskipun ibadahmu sudah baik, tapi kamu masih membuat orang lain sakit hati. Itu akan mempersulit jalanmu menuju istiqomah," kataku.
Mita tercengang melihat perubahan Lara.
"Terus apa kamu sekarang sudah memiliki kekasih?"
Aku pun mengelengkan kepalaku.
"Jadi,-"
"Aku memutuskan menjadi singlelillah, semenjak aku berhijrah. Meskipun, aku memiliki perasaan menyukai seseorang yang hanya mampu ku sebut dalam sujudku."
"Emang siapa yang kamu sebut? Haslan?"
"Bukan, tapi seseorang yang aku sendiri belum tahu."
"Itu, sama aja bohong, Ra," cetus Erlan.
"Ya, aku yakin. Kalau Allah sudah menyiapkan satu nama, meskipun aku belum menemukan siapa dia. Janji Allah nggak akan ingkar, janji manusia banyak dusta. Lihat aja Erlan terkena janji manis pasti patah hati. Sedangkan, Allah akan menjaga hati kita dari patah hati," ucapku.
"Sungguh, aku merasa tersindir," cetus Erlan.
"Ya, karena kamu pacaran menahun berujung patah hati," kekeh Mita.
"Sialan, kalian sekongkol ledekin aku," dengus kesal Erlan.
Aku dan Mita hanya dapat tertawa melihat Erlan.
*
Syahid terlihat sangat sibuk sekali dengan beberapa pekerjaannya yang kini sudah menumpuk sebagai dokter muda. Dia kebetulan ditempatkan di sebuah rumah sakit umum Kota Semarang. Kebetulan di bagian divisi UGD membutuhkan banyak orang untuk penanganan kasus virus yang kini telah beredar.
Virus ini terlalu berbahaya sekali untuk siapa saja. Termasuk nyawa seorang dokter-dokter yang telah menangani pasien mereka. Namun bagi Syahid jiwanya terpanggil saat itu sehingga dia tidak pernah takut akan sebuah kematian atau segalanya. Baginya tujuannya hanyalah sebatas membantu orang lain memiliki sebuah harapan untuk tetap hidup.
"Kamu yakin akan tetap bertahan di sini, Syahid?" Dimas menatap wajah Syahid yang terlihat benar-benar tulus untuk membantu siapa saja yang menjadi korban dari virus tersebut.
Kemudian Syahid hanya mengiyakan karena dia benar-benar ingin sekali menolong nyawa banyak orang yang memiliki sebuah harapan untuk tetap hidup. Walaupun takdir tidak akan pernah menyentuh hidup ataupun mati seseorang karena dia juga seorang manusia yang dipercaya oleh Allah untuk bisa memberikan sebuah harapan kehidupan bagi siapa saja walaupun atas kehendak Allah semata juga.
"Aku yakin dengan keputusanku untuk membantu siapa saja yang membutuhkan. Tujuan aku sebagai dokter bukan sebatas komersil saja tapi ini adalah sebuah panggilan hati. " Syahid menatap wajah Dimas yang terlihat dalam kebimbangan untuk menerima tawaran dari dokter senior di Rumah Sakit Umum Semarang.
" Kamu benar sekali Syahid. Ketika kita memutuskan menjadi seorang dokter maka kita harus bersiap untuk bisa menerima apapun resikonya. Karena menjadi dokter adalah sebuah panggilan dari dalam hati. "Dimas mulai yakin untuk menerima tawaran dari dokter senior itu karena ucapan dari sahabatnya.
Kemudian mereka berdua memutuskan untuk menerima tawaran tersebut dari dokter senior sebagai tenaga medis yang menangani pasien yang terpapar sebuah virus yang mematikan.