Chereads / Aroma Surga / Chapter 25 - Seharusnya

Chapter 25 - Seharusnya

Dua minggu kemudian setelah keluar dari rumah sakit. Kara langsung menemui seseorang di sebuah kafe. Dia ingin melancarkan semua rencana yang telah dibuat bersama dengan Bagus.

Kara melangkahkan kedua kakinya menggunakan sepatu berhak tinggi. Dia masuk di sebuah kafe mewah yang hanya dia saja datang sebagai kamu.

"Aku harus membuat cara ini agar aku bisa bertahan di keluarga Wijaya hingga Rencanaku bisa berjalan dengan lancar. Apapun caranya aku akan melakukannya, asalkan aku bisa membalas dendam ku di masa lalu tentang keluarga aku yang diinjak-injak oleh keluarga Wijaya! Aku akan membuat mereka membayarnya dengan mahal! " Kara menggumam dalam hati kecilnya karena dia masih belum bisa melupakan beberapa keping masalah antara keluarganya dengan keluarga Wijaya. Bahkan dia rela menikah dengan Haslan demi rencananya berhasil. "Tidak akan pernah bisa yang menghentikan langkahku untuk membuat keluarga Wijaya dalam masalah! Lihat saja nanti siapa yang dihadapi oleh keluarga Wijaya saat ini!" Dia mulai berjalan dengan angkuh. Kedua langkah kakinya berhenti di sebuah meja bernomor tujuh.

Di meja nomor tujuh ada seorang pria yang duduk di sana sambil menikmati secangkir kopi. Kemudian kedua langkah kaki cara berhenti di meja nomor tujuh.

"Selamat siang, Tuan Yohan." Kara tersenyum sinis melihat seorang pria muda yang memakai setelan kemeja berwarna Navy dan celana kain berwarna hitam. Kemudian dia langsung duduk dihadapan pria tersebut yang bernama Yohan Prasetya.

"Bu Kara, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Yohan menatap Kara yang mendadak memintanya bertemu. Padahal di kantor mereka berdua hanyalah sebatas karyawan dan atasan saja. Tapi ada yang aneh dari Kara.

"Yohan, tidak usah memanggil saya dengan sebutan nama ibu. Cukup kamu panggil saya dengan sebutan Kara! Karena untuk saat ini kita tidak berada di kantor,"Kara mengucapkan dengan penuh penegasan sambil mengangkat sedikit salah satu alisnya.

" Maaf, karena saya sudah terbiasa memanggil dengan sebutan Bu Kara," Yohan terlihat sangat gugup sekali ketika berhadapan langsung dengan Kara sambil menelan salivanya sendiri, dia merasa kebingungan karena mendadak perempuan itu memintanya untuk bertemu. Hal yang paling ditakutkan ketika dia salah membuat sebuah laporan keuangan.

"Saya meminta kamu bertemu di sini karena ada urusan yang penting ingin saya bicarakan kepada kamu. Saya ingin memberi kamu sebuah pekerjaan khusus dan saya akan menggantinya dengan nilai yang cukup tinggi. Kalau kamu bersedia untuk bisa menghamili saya maka saya akan membayar kamu senilai dua miliar rupiah tunai." Kara menatap wajah Yohan yang terlihat kebingungan sekali."Jika kamu berhasil melakukan semua itu maka uang itu akan segera ditahan kamu. Tapi saya menginginkan setelah itu kamu segera pergi dan resign dari perusahaan. Terserah kamu mau pergi ke luar negeri dan saya akan memberikan tiketnya. "

" Kenapa harus saya? "Tanya Yohan.

"Aku ingin kamu hamilin aku, dan aku ingin membuat seolah-seolah anak ini adalah anak Haslan, karena hasil tes Haslan menunjukkan dia mandul. Jadi, aku nggak akan pernah bisa memiliki keturunan dengan dia," jawab Kara sambil menatap Yohan.

"What?" Yohan terkejut, ia tidak menyangka, kalau pria seperti Haslan mengalami kemandulan.

"Apa kamu bersedia memberikanku benih tuk kau tanamkan di rahimku? Tapi, aku akan membayarmu dengan dua miliar asalkan kau mampu membuatku hamil," Kara mengucapkan kembali tentang apa yang dia mau.

"Aku akan membayarnya dua miliyar, tapi kau harus meninggalkan negara ini, bagaimana?" Kara mengangkat satu alisnya menatap Yohan yang terlihat makin kebingungan dengan tawaran yang diberikan olehnya.

"Aku nggak akan keberatan, asalkan ada uang sebagai pengganti tutup mulutku," balas Yohan dengan tersenyum.

"Baiklah, aku akan melakukannya setelah melakukan bersama suamimu, agar dia tidak curiga dengan kehamilanku nanti," kata Kara menatap Yohan yang terlihat menyetujuinya.

"Kau memang licik, Kara. Kau memang biangnya," Yohan tersenyum menatap Kara.

"Baiklah, aku akan kabarin kamu lagi. Sekarang aku harus pergi, jangan sampai kau bicara dengan orang lain, jika semua ini bocor, aku nggak akan segan-segan melenyapkanmu," Kara memberikan sebuah penegasan terhadap Yohan agar dia tidak macam-macam dan buka mulut. Dia memberikan sebuah peringatan khusus kepada Yohan.

"Siap." Yohan tersenyum dan menyetujui semua itu. Dua miliar merupakan jumlah yang cukup untuk dia bersenang-senang dan pergi dari negara ini. Dia akan pergi ke suatu negara dimana dia bisa menghabiskan beberapa uangnya dan menggunakannya sebagian untuk investasi.

Kara pun pergi meninggalkan Cafe tersebut dengan tersenyum. Lalu dia keluar menuju ke pintu keluar masuk sedangkan Yohan masih duduk di mejanya sambil menikmati secangkir kopi hangat.

"Dua miliyar, cuman tanam benih di rahim. Cara yang mudah," batin Yohan. Setidaknya dengan uang dua miliyar ia dapat menikahi Sinta dan membawa jauh ke Sydney.

*

Lara terpaksa dirawat di sebuah rumah sakit, karena ia membutuhkan banyak perawatan tuk mengembalikan kondisinya kembali.

"Lara?"

Erlan dan Mita menemukan sahabatnya sedang tertidur di atas ranjang rumah sakit. Mereka berjanji akan mencari penyebab kebakaran itu.

"Bagaimana bisa semua terjadi seperti ini?" ujar Mita.

"Pasti ada dalangnya," cetus Erlan.

"Kita akan mencari tahunya segera, Erlan."

"Bagaimana dengan kakimu?" tanya Erlan.

"Kakiku sudah baik, mungkin aku akan pergi sementara untuk menyelesaikan kerjasamaku dengan perusahaan di Jakarta."

"Kapan?"

"Besok pagi."

"Kok mendadak banget?"

"Semua sudah diatur pihak manajemen."

"Baiklah, aku mengerti."

*

Dunia ini penuh dengan intrik dan drama, bahkan aku nggak tahu rasanya. Cinta terlalu menyakitkan bila diingat. Kisah yang telah usai berakhir dengan sebuah luka-luka kehidupan.

Rasanya aku tak bisa hidup dalam sebuah nostalgia, kehidupanku tidak seindah negeri dongeng. Bahkan, hidup dalam sebatang kara itu tidak enak.

Ya, aku hanya mampu diam dalam bisunya suasana kafe tempatku bekerja. Diam dengan merenungi kisah-kisah yang telah lama pergi. Belajar dalam sebuah rasa ikhlas hingga mengobati sayatan-sayatan luka dalam kehidupan. Tiada hal lebih indah selain keluarga yang aku impikan.

Dia telah pergi dalam hidupku, bahkan itu mauku. Ya, tapi sayangnya aku belum bisa melupakan dia. Kini hanya tangisku dalam sebuah luka-luka yang mengangga. Sejauh apapun aku berlari.

"Ra!"

"Hah?"

Aku pun terkejut menatap Mita yang berkaca pinggang di hadapanku, sungguh aku hanya menatap dalam kebisuan hati ini.

"Gila, kamu ngelamunin apaan sich? Haslan?" cetus Mita dengan sinis.

Aku pun hanya terdiam saja, rasanya aku memang bodoh masih saja terjebak dalam luka-luka masa laluku. Belum juga sirna rasanya berkecamuk dalam jiwaku semua tentang dia.

"Astaga! Sampai kapan kamu masih mikirin cowok model dia yang otak mesum dan sakit jiwa, Ra?!"

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, karena aku terlalu bodoh sekali. Seharusnya, aku memulai ulang hidupku kembali. Tapi, sayangnya aku memang masih mencintai dia.

Aku menarik napas sangat kasar kala itu, sungguh hatiku terasa sangat sepi.

"Apa yang kamu tangisi dari pria seperti dia? lihatlah, Haslan sudah mempunyai Kara, sedangkan kamu..."

Kehidupan terlalu pekat untukku, bahkan cinta sudah membumi hanguskan perasaanku yang dulu. Dia terlalu pekat untukku, bahkan sisa-sisa puing-puing luka penghianatan masih ada untukku. Berlari sejauh mungkin, tidak akan pernah bisa membuatku dalam pengobatan luka-luka yang sudah mendidih. Menitik beratkan masa lalu yang pernah sirna mengubah sebagian duniaku. Ya, aku terlalu malas dalam melakukan sebuah pengobatan.

"Apa kamu masih berpikir kembali?" selidik Mita dengan memincingkan kedua bola mata ke arahku. "Aku nggak setuju, jika kamu kembali bersamanya. Sumpah Ra, aku nggak mau kamu kembali dengan pria sebrengsek dia!"

"Tenang saja, aku nggak akan kembali bersama dengan dia," kataku menatapnya.

"Baiklah, aku pegang kata-katamu, Ra," ucapnya penuh tekanan, pandangannya bak elang menerkam mangsanya.

Dalam hatiku seakan ada sebuah rasa yang terbesit begitu cepat. Sungguh aneh rasanya saat itu. Dia berhasil meluluh lantahkan aku ke sebuah ombak yang mengulungku begitu cepat. Dia yang ku cinta dan ku percaya hanya meninggalkan luka-luka dalam kehidupan.

"Ingat loch, Ra. Jangan pernah kembali ke sebuah lubang neraka jahanam. Dia tidak baik untukmu."

"Iya, Mit. Tenang aja, aku nggak akan mungkin jatuh ke kesalahan yang sama," ujarku dengan tersenyum. "Ngomong-ngomong aku kok nggak lihat Erlan, ke mana dia?" tanyaku.

"Erlan sedang ada urusan, Ra."

"Oh," respon singkatku. "Terus gimana urusanmu dengan perusahaan sponsor?"

"Oh, aku batalin aja."

"Kenapa?"

"Karena ownernya mantan kamu."

"Lah, bukannya bekerja harus profesional? Bukannya, perusahaan itu yang dulu pernah kamu impikan?"

"Sekarang udah enggak, karena Haslan owner perusahaan itu. Aku menolaknya, karena aku nggak ingin kerjasama dengan orang brengsek," ujar Mita dengan mendesis.

"Oh," Lara melebarkan senyuman. "Thank's my best friend," lanjutnya.

"Iya, tapi awas kalau kamu masih berharap kembali dengan dia," ujar Mita.

"Iya, Mit. Janji, Aku Lara Sarasvati nggak akan pernah mengenal kata kembali untuk pria seperti Haslan," kataku.

"Baiklah, aku percaya. Kamu nggak akan pernah kembali lagi," ujar Mita kepadaku.

Sejenak aku pun terdiam, ketika pintu kedai kopi terbuka. Seseorang yang membuatku kagum telah datang berkunjung sebagai pelanggan setia kedai ini.

Pria itu terlihat sangat tampan dan penuh kharismatik. Dalam hatiku menyelinap sebuah perasaan yang cukup aneh sekali.

Langkah kedua kakinya perlahan-lahan menuju ke meja baristaku. Dan, aku mulai terhipnotis akan pesona ketampanannya. Aroma parfum ciri khasnya tercium menyusup ke kedua rongga hidungku.

"Ra!"

"Hah?"

"Kamu ngelihatin apaan sich? bengong sampai segitunya," cetus Mita, lalu menoleh sedikit ke belakang.

Mita menatap pekat pria yang kurang selangkah lagi mendekat. Ia terlihat tepaku menatap pesona pria itu.

-

Aku berjalan memasuki kedai kopi tempat perempuan itu bekerja. Dia Cukup menarik, bahkan dia beda dari yang lainnya.

Perempuan yang memiliki hati yang begitu kuat. Dia sangat cantik hanya menggunakan lipstik tipis. Aku mulai menyukai perempuan cantik di belakang meja barista itu.

"Ra, pesen seperti biasa," ujarku.

"Ok," respon singkat Lara, perempuan yang mampu membuatku selalu mengingatnya. Sungguh, aku benar-benar dimabuk asmara. "Aku akan mengantarnya."

"Baiklah."

Aku pun berjalan menuju meja nomer delapan. Tempat di dekat jendelai kedai kopi. Sambil menunggu pesanan, lalu aku pun mengotak-atik ponselku sejenak, agar aku tidak bosan.

*