Pov Lara.
"Ra.."
"Aku udah nggak punya waktu buat kamu, Lan. Apa lagi yang mau kamu jelasin?! Urus istrimu!"
"Tapi, aku cinta sama kamu."
"Tapi, cintaku sudah mati buat kamu!"
"Ra.."
"Meskipun kamu berlutut hingga memohon aku nggak peduli," aku mulai membuang muka, karena aku nggak ingin mendapati lukaku kembali. "Cukup Haslan! Hubungan kita sudah menjadi abu!"
"Enggak, kita..."
"In your dream!" Aku mulai memutar kedua bola mataku dengan malas. "Kamu nggak cape apa Jakarta ke Semarang bolak-balik?!" Bentakku dengan menggunakan intonasi yang cukup tinggi. Karena sebenarnya aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran dia di dalam kehidupanku kembali. "Sebaiknya kamu tidak usah datang ke sini lagi karena aku tidak pernah mencintai kamu lagi hingga detik itu!
"Mana mungkin aku cape atau bosan. Semua ini karena aku masih mencintaimu, Ra."
"Kamu bilang kalau kamu mencintaiku? "Aku mulai menatap wajah dia dengan kedua mataku begitu pekat. Bahkan aku merasakan rasa sakit yang pernah dia berikan kepadaku saat itu." Kamu tahu apa tentang makna cinta yang sesungguhnya? Bukankah kamu kemarin telah mencampakan aku begitu saja?" Aku mulai tertawa cukup miris mendengar ucapan dari dia. "Seharusnya kamu berpikir dulu sebelum kamu mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Kamu harus tahu kalau semuanya sudah basi!"
"Bohong! Aku tahu kalau kamu masih mencintaiku, Lara. Aku bisa membaca dari kedua bola matamu yang seakan menunjukkan bahwa kamu masih mencintai aku."
"Bohong?" ulangku. "Untuk apa aku berbohong? Cintaku sudah mati terbawa arus penghianatanmu!" Aku mulai mencoba untuk tidak terlihat lemah di hadapannya. "Sebaiknya, kau enyah dari hidupku. Karena aku nggak bakalan sudi untuk menerimamu kembali dalam hidupku.
"Tunggu!" cegah Haslan yang berusaha untuk mencegah mencekal lengan tangan. Namun langsung aku tepiskan begitu saja. Walaupun dia berusaha untuk meraih tanganku kembali.
"Haslan, aku mohon banget. Kamu lupakan aku! Aku hanya ingin hidup bahagia! Sebaiknya kamu jangan pernah menunjukkan wajahmu dihadapanku lagi karena aku sudah muak dengan ucapanmu selama ini yang tidak pernah bisa untuk dipegang! Lupakan aku dan pergilah!"
"Apa kau sudah menemukan penggantiku?" tanya Haslan untuk menghentikan langkahku.
"Ya." Singkatku lalu pergi. Karena aku tidak ingin terbawa perasaan. Aku pun menahan bendungan air mataku. Lalu, aku pun berlari menjauh.
*
Pov Haslan.
"Bagaimana bisa aku melupakanmu?" aku mulai menggumam dalam hatiku karena aku tidak bisa melupakan dia dalam hati dan pikiranku selama ini. Karena dia adalah yang pertama kali aku cinta selama ini.
"Haslan!"
"Mita?"
Mita pun menghampiri Haslan. "Sebaiknya, kamu jangan ganggu dia lagi!"
"Mit, kamu nggak bisa melarangku."
"Tapi, aku nggak ingin sahabatku menderita karena kamu," Mita mendorongku.
"Mit, aku cinta dia!"
Mita menatapku sengit, "Kamu bilang cinta? Terus kamu ke mana saja, ketika dia dalam keterpurukkan? Hah?"
"Mit, tapi aku punya alasan."
"Kamu bilang punya alasan?" ulang Mita, dia terlihat tertawa sedikit meledek. "Aku nggak butuh alasan kamu Haslan! Aku itu nggak pernah percaya dengan omongan pria macam kau!"
Aku mulai berusaha meyakinkan Mita, agar dia membantuku untuk bisa kembali dengan Lara. Tapi, dia tetap saja bersikeukeh tidak membantuku.
"Mit..."
"Haslan sudah ku bilang, kalau aku nggak bisa melakukan semua itu!" Mita terlihat begitu membenciku. Padahal aku tidak bermaksud menyakiti Lara. Bagiku, Lara adalah duniaku. "Maaf, aku nggak bisa."
"Mit, cuman kamu harapanku."
"Tapi, maaf aku nggak bisa, Lan. Semua itu salahmu! Dan, aku nggak bisa berbuat apapun, Lan. Kamu harusnya lupakan dia. Biarkan dia memulai hidupnya," ujar Mita.
"Mit..."
"Lan, maaf aku harus pergi. Aku lagi banyak urusan!" pamit Mita, lalu pergi. Padahal aku masih ingin memintanya membantuku.
Aku tidak bisa mencegah Mita pergi, karena aku juga hari ini ada meeting dengan klien.
*
"Hid!"
"Anya?"
"Kamu lagi apa?"
"Santai aja," singkat Syahid.
"Apa nggak ada rencana buat makan di luar?"
"Enggak."
Anya pun berpikir, "Kenapa dia jadi lebih dingin kayak gini?"
"Woe!"
"Astaga, Dimas! Ngagetin aja!" Anya terlihat sebal. Dimas memang hobi banget bikin jantung copot.
Dimas mulai menyengir.
"Dasar nggak ada akhlak ini anak!" omel Anya.
"Biasa aja, Anya! Kamu kok lebay amat!" balas Dimas dengan santai.
"Dim, gimana kalau aku kena serangan jantung? Emang kamu mau tanggung jawab?!" omel Anya.
"Halah lebay amat!" balas Dimas.
"Nyebelin amat ini anak!" dengus kesal Anya.
Krukkk.
"Kayaknya ada yang lapar?" ceplos Dimas.
"Nggak ada," bantah Anya.
"Katanya kamu lapar, Nya? Itu biar Dimas anterin kamu makan keluar, "ujar Syahid.
"Aku nggak lapar! Nafsu makanku hi-" mendadak perut Anya rasanya ada yang melilit. Bunyi keroncongan seakan nggak bisa membuatnya mengelak lagi.
"Kalau lapar bilang dong. Nggak usah malu!" cetus Dimas.
"Nggak! Aku bisa makan mie instan!"
"Astaga, Anya. Kamu itu dokter, tapi kok hidup nggak sehat! Mie instan itu bikin kanker!" tutur Dimas. "Benerkan, Bro. Kalau mie instan itu nggak sehat?"
"Iya," singkat Syahid.
"Biar aku masakin aja di dapur, "ujar Dimas.
"Emang kamu bisa masak?" Anya terlihat tidak percaya dengan kemampuan Dimas.
"Heleh, ngeremehin. Kalau aku bisa masakin kamu, bagaimana?" ujar Dimas.
"Ya, nggak gimana-gimana," balas Anya dengan sebal.
Dimas hanya tersenyum, "Baiklah aku masakin menu gampang-gampangan buat kamu. Tapi, ada syaratnya," ujar Dimas.
Syahid hanya diam melihat perdebatan mereka berdua yang bagaikan air dan minyak nggak pernah menyatu. Ia hanya duduk bermain game online sebagai penghilang rasa bosannya.
"Emang kamu mau masak apaan? Masak air?" Anya terlihat tidak percaya, kalau cowok selengekan model Dimas bisa masak. Dan, kini menjadi seorang dokter muda.
"Menghina," balas Dimas.
"Udah buktiin aja, bro. Kalau kamu berhasil masakin dia. Nikahin aja Anya," ujar Syahid.
"Males banget, bro. Nikah dengan cewek bawel dan cerewet kayak dia. Yang ada aku malah mati muda!"
"Siapa yang mau kamu nikahi, Dim? Aku sih enggak mau!"
Syahid mulai menahan tawa melihat mereka yang nggak pernah akur sama sekali. Mereka tetap berdebat, sedangkan Syahid memilih tetap ngegame.
"Daripada aku dengerin omelan kamu yang bikin sakit gendang telingaku. Lebih baik aku ke dalam buat makan malam! Bye!" Dimas mulai pergi masuk ke dalam kos an.
"Paling dia masak pop mie," gumam Anya.
"Kamu itu selalu aja ribut sama Dimas, kalau ketemu," ujar Syahid.
"Dia itu selalu aja bikin masalah. Nyebelin banget!" cicit Anya.
Mendadak aroma masakan tercium. Sepiring nasi goreng tersaji di hadapannya. Membuat perut Anya terasa sangat kelaparan.
"Nggak lapar aku!" Mulut Anya bisa berkilah, tapi perutnya tak bisa berdusta. "Itu pasti enak," batinnya.
Dimas tahu kalau Anya memang kelaparan, tapi punya gengsi yang sangat tinggi sekali. Sehingga ia menahan nafsu makannya.
"Udah, nggak usah sungkan. Makan aja," Dimas menyodorkan sepiring nasi goreng.
"Kalau Anya nggak mau, buat aku saja, Bro," sahut Syahid.
"Ok."
Dimas mengulurkan sepiring nasi goreng dengan telur ceplok ke Syahid. Membuat Anya ngerasa ngiler.
Anya hanya mampu terus menatap sepiring nasi goreng yang diambil oleh Syahid. Tapi, Syahid merasa tahu diri, kalau Anya lapar.
Dimas memang sengaja melakukannya, "Sejauh apa kamu mempertahankan gengsi kamu, Anya," batinnya.
"Ini buat kamu aja."
"Enggak, nanti dia."
"Makan aja, Anya. Kenapa kamu keras kepala sekali?" ujar Dimas.
"Okey, kalau kalian maksa banget!" balas Anya dengan sewot.
Dimas mulai tertawa kecil, ia melihat Anya memakan masakannya dengan lahap sekali.
"Seandainya, kamu tahu kalau aku suka sama kamu, Anya," batin Dimas sambil menatap Anya.
"Biasa aja lihat aku. Nanti kamu naksir lagi!" celetuk Anya.
"OGAH! NAKSIR SAMA KAMU BISA-BISA MUSIBAH!" cetus Dimas.
"Terserah! Yang penting nasi goreng kamu enak. Besok bikinin aku lagi," ujar Anya.
"Nggak akan!" Dimas mulai kembali masuk ke kamarnya, sedangkan mereka berdua duduk di luar sambil menikmati suasana malam.
*