"Mita!" teriakku menyaksikan dia dalam kondisi berteriak-teriak histeris. Wajahnya sangat suram. Aku langsung memeluknya untuk menenangkan dia.
"Mit, kamu kenapa?" tanyaku kembali dengan lirih.
"Jangan! Jangan!!!" teriaknya histeris seperti orang ketakutan. Aku berusaha menenangkannya.
"Ra, beri dia minum," Syahid membawakan segelas air putih, tapi Mita malah menepisnya hingga pecah di lantai kamar.
Aku pun mengambilin pecahan itu.
Auww! teriakku secara reflek ketika tanganku mengenai pecahan kaca pada gelas. Syahid reflek menghisap darah pada ujung telunjuk jari tangan. Aku hanya bisa mematung menatapnya seolah rasa sakit itu hilang seketika.
Embusan angin itu mendadak datang. Rasanya sangat sejuk sekali bila dekat dengan dirinya. Ingin rasanya aku menghentikan mesin waktu agar aku bisa menikmati wajah teduhnya.
"Apa aku mimpi?" pikirku sambil membuka dan menutup kedua kelopak mataku. Aliran darahku seakan mengalir begitu deras. Getaran terasa lebih kuat. Sungguh aku terjebak dalam sebuah suasana.
Aku benar-benar terpaku akan pesonanya. Dia mampu menyetuh hatiku. Dia memang malaikat tanpa sayap itu. Sehingga membuat detak jantungku semakin kencang sekali ketika berdekatan dengan dia.
Jatuh cinta akan tatapannya yang mematikan. Sungguh aku ingin mengenalnya lebih dari itu. Cintaku bagaikan candu dalam kafein. Kegelisahanku dalam sebuah rasa tanpa tanya dan jawaban.
Rindu ini mengadu dalam sebuah doa yang menyapu keadaanku. Sungguh, ini sebuah rasa dalam hati.
Ehem.
Aku mulai menyungingkan senyuman dalam bibir. Hingga aku tidak mampu menahan gejolak asmara dalam jiwaku yang menari-nari dalam keheningan malam. Apakah kamu mendengarkan lewat bahasa hati yang bisa kau terjemahkan lewat kedua mataku? pikirku.
PRANK!
Aku tersentak mendengar bunyi vas bunga jatuh. Aku lupa kalau di sini ada Mita. Karena aku terhanyut dalam suasana bersamanya.
"Ra, aku akan memberinya suntikan penenang," ujar Syahid memberitahuku. Aku hanya mengangguk menyetujuinya.
Mita mulai memberontak, ketika Syahid memberikan suntikan obat penenang. Hingga Mita pun tertidur. Lalu dia membantuku membopong Mita ke atas ranjang kamarku.
"Terima kasih, Mas," ucapku.
"Ra, aku pamit dulu," ujarnya.
"Tunggu, mas," cegahku.
"Ada apa, Ra?"
"Biar aku buatin kopi dulu."
"Nggak usah, Ra."
"Jangan," cegahku kembali.
"Ra?"
"Aku akan membuatkan kopi. Biar kamu tidak mengantuk waktu mengendarai motor," ujarku.
"Baiklah, aku nggak akan menolaknya," balasnya.
Ku balas dengan senyuman, lalu aku berbalik ke dapur untuk membuat secangkir kopi susu tubruk dengan menyaringnya, agar tidak ada.
Lima menit secangkir kopi susu sudah tersaji dalam piring kecil di bawah cangkir keramik. Lalu aku ulurkan ke dia.
"Makasih," ucapnya, lalu dia menyesapnya hingga habis tanpa sisanya.
"Gimana rasanya?" tanya dia.
Dia hanya mampu tersenyum sambil mengacungkan jempol kanannya dan mangut-mangut.
*
Di rumah Syahid sedang melamun tentang kejadian tadi. Dia bahkan tidak pernah berhenti untuk memikirkan Lara
Semenjak Syahid pulang dari kontrakan Lara. Ia merasa ada sepotong hatinya yang mendadak terbawa oleh sebuah rasa.
Syahid merasakan ada detak jantung yang tidak beraturan. "Astaga, aku kenapa?" gumamnya sambil duduk di depan kamar kosnya.
"Kenapa kamu, bro?" tanya Dimas sambil menyesap putung rokok di tangannya.
"Nggak kenapa-kenapa. Cuman lagi kepikiran sama bocah yang kemarin di UGD," jawab Syahid.
"Oh, si Kemal anak bu Ningsih?" cetus Dimas.
Syahid mengangguk mengiyakan.
"Kemal sudah membaik kondisinya, dia besok sudah boleh pulang."
"Syukurlah," Syahid merasa tenang mendengar bocah tujuh tahun nyaris mengembuskan napas terakhir. Ia tidak tega melihat wanita itu memohon ke pihak pelayanan untuk menyelamatkan putranya.
Wanita itu harus berlutut memohon, karena tidak memiliki uang sepeser pun. Sedangkan, pihak rumah sakit menolaknya karena dia hanya menggunakan kartu pemerintah yang gratisan.
"Ibu di sini cuman pakai kartu yang tidak bayar alias gratisan dari pemerintah. Kita hanya memprioritas pasien dengan asuransi berbayar," ujar bagian pelayanan rumah sakit, beserta dokter wanita yang terkenal lebih mementingkan komersil dibandingkan nyawa.
Kejadian itu menampar Syahid. Padahal memberikan sebuah harapan adalah tujuan utama seorang dokter.
Syahid berusaha membantu wanita itu, lalu dia meminta dia untuk berdiri.
"Saya akan membantu anak ibu," ucap Syahid. "Dan, saya akan menanggung biayanya hingga sembuh total."
Syahid hanya bisa geleng-geleng melihat dokter Mirna dengan menatapnya tajam. "Ini rumah sakit bukan yayasan sosial. Kita dokter juga butuh duit!"
Syahid hanya menyungingkan senyuman tipis," Itu anda, bukan saya. Tujuan saya memberikan harapan. Terutama kepada mereka yang ingin sembuh."
Mirna pun diam mendengar ucapan Syahid, lalu dia pergi membalikkan badannya.
Staff bagian pelayanan hanya diam. Ia hanya menuruti apa perintah Syahid.
"Saya akan membayar semua biayanya. Kamu nggak usah khawatir. Layani ibu ini dengan baik. Jangan sampai mencoreng nama rumah sakit," kata Syahid, lalu meminta perawat membawa bocah laki-laki itu ke dalam ruang UGD untuk dilakukan tindakan. Setelah itu, segera mengoperasi bagian kepalanya yang terdapat pembekuan darah.
Wanita di depan itu terlihat mondar-mandir dengan tetesan air mata yang terurai jelas. Aku berharap operasi yang ku tangani bisa berjalan lancar atas restu Allah SWT.
Beberapa jam Syahid sudah selesai menangani operasi bocah laki-laki yang memiliki nama Kemal. Selesai operasi bocah itu dibawa ke ruang ICU.
Syahid mengalihkan ke Dimas selanjutnya untuk mengecek kondisi Kemal. Ia juga sudah melakukan deposit pembayaran di bagian administrasi.
"Dim, aku mau nitip buat bu Ningsih besok. Apa kamu bisa?"
"Ya, bisalah, bro."
"Tunggu sebentar, aku mau ambil ke dalam."
"Ok, bro!"
Syahid mengambil amplop coklat yang sudah diisi beberapa lembar uang. Ia tidak tega melihat ibu dan anak itu.
"Berikan ke dia," ucap Syahid mengulurkan amplop coklat panjang.
"Siip," kata Dimas.
*
Pukul satu dini hari. Mita terbangun dan berteriak histeris ketakutan hingga membangunkan Lara dari tidurnya.
"Mita! Kamu kenapa?" Tanya Lara.
"Ra, tolongin aku," ujar Mita seraya meremas rambutnya sendiri dengan kedua tangannya.
"Tolongin apa, Mit? Aku nggak ngerti?" Tanya Lara.
Mita hanya berteriak dan terisak tangis. Tubuhnya berkeringat dingin.
Lara mencoba menelpon Syahid. Ia takut kalau Mita kenapa-kenapa.
Sambungan terhubung, setelah itu Lara meminta Syahid datang mengecek kondisi Mita yang kembali histeris.
Lara mencoba menenangkan Mita. Namun, Mita masih sama. Dia seperti depresi akibat tekanan.
Mita hanya mengingat kejadian kelam itu. Ia selalu merasa ketakutan.
*
"Anya!"
"Syahid?"
"Anya, aku butuh bantuan kamu."
"Soal?" tanya Anya yang kebetulan baru saja pulang dari rumah sakit.
"Ikut aku," ujar Syahid. "Pakai mobil kamu."
Anya lalu mengiyakan, meskipun baru saja sampai di kosnya. Ia memberikan kunci mobil ke Syahid. Karena ia sudah nggak sanggup buat nyetir sendiri.
Syahid dan Anya pergi ke kontrakan Lara dengan mobil sedan hitam yang dikendarai Syahid.
Mobil mulai dinyalakan mesin, lalu melaju dengan cepat menyapu jalanan kota Semarang yang sunyi dan sepi.
Anya merasa ngantuk, ia pun tertidur di samping kemudi. Tubuhnya terasa sangat lelah sekali.
*