Pov Lara.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar pintu ruang tamu kontrakan. Lalu aku mulai melangkahkan kedua kaki ku berjalan menuju ke pintu utama kontrakan.
Kedua langkah kakiku berhenti seketika di depan pintu kontrakan. Sementara aku meninggalkan Mita yang sudah mulai tenang di dalam kamar.
Kemudian jemari tangan kananku mulai meraih gagang pintu. Cklek! Suara pintu terbuka seketika. Kedua mataku melihat seorang pria dan wanita ada di depanku. Mereka adalah Syahid dan teman perempuannya.
" Silakan masuk dulu kalian. "Perintah dariku mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam kontrakan yang begitu kecil dan sederhana.
Kemudian mereka berdua masuk ke dalam kontrakanku.
Aku mempersilahkan mereka untuk duduk di sebuah kursi plastik. Kemudian aku meminta izin ke sebuah dapur untuk membuatkan minuman.
Syahid dan teman perempuannya masih duduk di sofa ruang tamu kontrakanku.
Setengah membuatkan minuman untuk mereka lalu aku menyajikan di sebuah meja plastik. Dua cangkir kopi hangat yang telah aku buat sesuai dengan takarannya. Lalu akupun duduk dihadapan mereka berdua.
"Silakan kalian minum dahulu. Karena kopinya masih hangat," kata aku sambil menatap kedua mata mereka berdua yang sedang melemparkan sebuah senyuman.
Kemudian mereka berdua menikmati secangkir kopi hangat.
Setelah selesai mereka menikmati secangkir kopi hangat. Kemudian Syahid menatap kedua mata Aku begitu sangat tajam.
"Maaf aku lupa belum perkenalkan dia siapa. "Kata Syahid menatap kedua mataku. Dia kemudian melanjutkan ucapan yang sempat terjeda. "Perkenalkan dia adalah Anya temanku. Dia seorang dokter pisikiater yang kemungkinan bisa tahu tentang kondisi temanmu. "
" Oh begitu." Aku hanya mengangguk-angguk saja karena aku hanya ingin sahabatku cepat sembuh. Aku juga sangat cemas sekali dengan kondisi sahabatku setelah kedatangannya kemarin lusa. Sejak itu kondisinya sangat buruk sekali bahkan selalu terbangun di malam hari dengan berteriak-teriak. Namun dia tidak pernah sama sekali untuk menceritakan tentang semua yang terjadi sebelum malam itu dia datang ke kontrakan ku dalam kondisi busana yang sudah terlihat begitu berantakan.
" Apakah aku boleh untuk melihat kondisinya dan memeriksanya dulu?" tanya Anya kepadaku.
Aku hanya mengangguk dan mengiyakan lalu menuntunnya menuju kekamar Mita yang kini terlihat lebih tenang.
Sahid pun juga mengikuti kami berdua menuju ke kamar Mita. Dia juga sudah mengingatkan untuk rutin memberikan obat penenang ketika dalam kondisi histeris dan ketakutan.
Kemudian Anya langsung memeriksa kondisi Mita yang sebenarnya. Sementara aku hanya berdiri di belakangnya.
Aku tidak bisa melihat Mita seperti ini. Rasanya sangat tertampar sekali. Aku mulai mencari jawaban atas sikap Mita yang mendadak menjadi aneh. Dia terlihat histeris apabila melihat seorang pria.
"Bagaimana kondisi dia?" Tanyaku menatap Anya di sebelah Syahid.
Anya hanya terlihat mengembuskan napas berat, lalu menatapku, "Ada satu hal yang membuat dia trauma," ujarnya dengan lirih.
"Suatu hal?" ulangku.
"Iya, mungkin dia mengalami sesuatu," ucap Anya dengan lirih. "Tapi, aku anjurkan kamu bawa dia ke Psikiater. Dia memerlukannya."
Aku hanya mengangguk mengiyakan, lalu dia memberikanku obat penenang untuk Mita.
" Tolong kamu berikan obat ini ini secara rutin saja. Dia mengalami depresi berat karena suatu hal. Mungkin dia membutuhkan terapi dari pisikiater." Ucap wanita itu sambil menatap kedua mata Lara.
"Aku pamit dulu," ucap Anya sambil menatapku sambil tersenyum.
"Ra, kalau terjadi sesuatu kamu langsung hubungin aku saja," kata Syahid.
"Iya, Mas. Aku akan hubungin kamu. Terima kasih sudah membantuku," ujarku.
"Sama-sama," balas Anya.
"Permisi saya pamit dulu," ujar Anya dokter yang menangani Mita.
"Aku juga, Ra. Soalnya aku harus mengantar Anya," sambung Syahid. "Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," balasku sambil mengantar mereka hingga ke depan pintu rumah.
*
Pov Haslan.
Masih adakah hati untukku? pikirku seraya menatap bingkai foto dalam kenangan bersama dengan dia.
Lara melambaikan tangan ke arahku.
"Kita mau ke mana?" tanya dia kepadaku.
"Heem, aku lagi pengen nonton," ujarnya.
"Emang ada yang bagus?" tanyaku.
Dia mengangkat bahunya, "Mana aku tahu Haslan! Emangnya aku mbak-mbak penjaga karcis?"
Aku melirik dia yang terlihat mengembungkan pipinya. Dia nampak mengemaskan sekali kalau sedang cemberut. Ia memang wanita yang selalu menempati ruang hatiku.
"Ra, apa kamu mau es krim?" tanyaku.
Dia hanya mengelengkan kepalanya.
"Tumben?"
"Lagi nggak pengen aja!" bibir Lara mengerucut. Dia terlihat sangat ngambek.
"Udah donk ngambeknya. Ntar wajah kamu nggak cantik lagi loh."
"Jadi, kamu bilang kalau aku jelek?" Lara mendengus kesal. Ia mengembungkan kedua pipinya.
Aku mulai mencubit pipinya yang mengembung.
"Terus kamu mau apa, La?" tanyaku sambil menangkupkan kedua telapak tanganku ke pipinya.
Kedua mata Lara menatap ke atas langit. Ia mulai melipat kedua lengannya di depan dada.
"Maafin aku, Ra," ucapku dengan nada menyesal. Ia tetap saja ngambek wajahnya terlihat suram. "Kalau begitu aku akan ajak kamu ke suatu tempat."
"Di mana?" tanya dia dengan antusias.
"Di tempat yang nggak akan pernah kamu lupakan," jawabku menatap dia yang masih memalingkan mukanya.
Lara mulai mendongakkan kepalanya ke arahku, "Baiklah, aku setuju."
"Ayo kita berangkat!" Perintah Haslan.
Lamunanku buyar, ketika aku mendengar suatu ketukan dari luar. Lalu aku memasukkan kembali bingkai foto ke dalam laci meja kerja.
"Masuk!" perintahku.
Ehem.
"Pak, ini pengganti Sinta," ujar Bara yang kini mengurusin pekerjaan Sinta.
Aku pun menatap dia dari atas ke bawah. Lalu, aku pun menatap wanita itu yang dandanannya menor sekali.
"Silahkan duduk!" ujarku.
Dia mulai duduk di hadapanku dengan memakai baju super ketat. Hingga terlihat jiplak di bagian depannya.
Aku mengembuskan napas, lalu aku pun menatap wanita itu terlihat tidak sesuai standard sebagai sekertaris pribadiku.
Aku mulai mengetuk-ketuk jemari kuku di atas meja. Lalu, aku pun menatap dalam wanita itu yang menggunakan lipstik merah merona.
"Perkenalkan diri anda!"
"Saya Alina Putri Yahya dari Bandung. Tapi, belum pernah bekerja. Cuman kerja ibu rumah tangga," katanya.
"Hah?" aku mulai melongo mendengarkan penjelasannya. Rasanya aku ingin menahan tawa seketika melihat calon pelamar sekertaris baruku.
"Ada apa ya, Pak?" tanya dia.
"Apa kamu punya pengalaman di Perusahaan lain?" tanyaku.
Dia hanya mengelengkan kepalanya. Rasanya aku nggak bisa berkata apapun lagi.
"Ok. Sekian interviewnya. Kalau kita cocok, maka HRD saya akan menghubungi anda," kataku sambil berjabat tangan dengan Alina.
"Baik, Pak," balas Alina, lalu beranjak pergi dari ruang kerjaku. Aku hanya bisa geleng- geleng kepala aja melihat calon pelamar itu.
"Bagaimana bisa wanita seperti itu memenuhi standar perusahaan kami," ujarku dengan memijit kening yang mulai pening, setelah melihat calon pelamar kerja.
*
Bagus terlihat sangat cemas, ia bingung harus masuk ke dalam ruangan Haslan, atau tidak. Karena foto di berkas lamarannya terlihat sangat cantik dan meyakinkan, tapi sayangnya tidak sesuai dengan ekspetasi yang Bagus bayangkan.
"BAGUS!"
"Apa, Don?"
"Kamu dipanggil big bos," jawab Doni.
"Emang ada apaan?" tanya Bagus memincingkan kedua matanya, ia merasakan perasaannya seperti naik roller coster dengan kecepatan tinggi meluncur.
Doni hanya mengangkat bahunya, lalu pergi dari hadapannya.
"Apa yang akan terjadi? Apa karirku akan sudah sampai di sini?" Bagus mengembuskan napas berat. Diiringi detak jantungnya mulai berdegup kencang sekali. Mukanya memucat.
Bagus mulai melangkahkan kedua kakinya ke depan pintu kramat ruang bosnya. Ia pun memejamkan kedua matanya sejenak untuk berdoa.
TOK! TOK! TOK!
Bagus mulai mengetuk pintu ruangan dengan lambat seolah tubuhnya terasa sangat lemas sekali. Hatinya pun tidak tenang.
"Masuk!" perintah Haslan dari dalam ruangan.
Bagus berkomat-kamit membaca doa sambil menelan salivanya sendiri. Ia pun mulai meraih gangang pintu ruangan itu.
CKLEK!
Pintu ruang kerja Haslan mulai terbuka, lalu ia menutupnya kembali. Ia berjalan dengan sangat gugup sekali. Di sana terlihat bosnya sedang duduk singasananya.
Bagus melangkahkan kedua kakinya, lalu ia pun berdiri di hadapan meja kerja bosnya.
"Duduklah!"
Bagus terlihat sangat gugup, ia hanya bisa mengangguk dan duduk berhadapan dengan bosnya yang masih berkutak bersama laptop di hadapannya.
CKLEK!
Pintu ruangan terbuka. Mereka berdua menoleh ke belakang.
TUK! TUK! TUK!
Suara suatu high heels berirama. Mereka pun menatap ke pemilik arah sepatu high heels itu.
Dahi Haslan mulai berkerut dahi. Wajahnya berubah terlihat lebih merah padam. Kedua telapak tangannya terkepal kuat di atas meja. Hidungnya mulai kembang kempis. Hingga terasa menguap isi kepalanya ke ubun-ubun.
Senyuman hanya segaris terlihat di Bagus. Ia merasa kalau sebentar lagi akan ada perang dunia ketiga.
Bagus hanya menunduk, ia mulai fokus dengan satu titik sudut ruangan kerjanya.
Suara langkah kaki itu berhenti, lalu Haslan pun mulai mengangkat satu alisnya.
"Mau apa kamu ke sini?" Haslan mulai menyungingkan sedikit senyuman kecutnya.
"Selamat siang, Pak Haslan," sapanya. "Masih ingat dengan siapa aku?" dia mulai menyeringai ke Haslan.
Perempuan itu pun berjalan condong ke Haslan dengan langkah kedua kakinya. Dia mulai menatap lekat-lekat wajah Haslan yang kini ditumbuhi bulu-bulu halus.
Haslan mengerakkan rahangnya yang terasa sangat kaku. Ia menatap sengit perempuan dengan dress hitam pekat. Make up blood yang dikenakan terkesan perempuan itu terlihat sangat tegas.
Bagus hanya mampu duduk terdiam mematung. Ia rasanya ingin segera meninggalkan ruangan yang mulai terasa sangat panas sekali.
BRAK!
Haslan mulai mengebrak meja kerjanya. Namun, perempuan itu hanya mengangkat senyuman yang terlihat sangat kaku.
*