Chereads / Aroma Surga / Chapter 33 - Sunyi

Chapter 33 - Sunyi

Di ruang rawat inap Bougenvile terlihat Lara sedang merenung dengan kondisinya saat ini. Dia menatap sangat kosong sekali ke arah sudut kamar ruang rawat inapnya.

Lara merasa sangat bahagia sekali ketika Fiona sudah pergi dari hadapannya dan keluar dari kedai kopi tempat dia bekerja. Dia sangat kesal sekali dengan keadilan Fiona yang selalu saja meneror dia, padahal dia sudah memberikan semuanya.

Nina langsung mengambilkan segelas air mineral untuk Lara. Dia tahu apa yang telah dirasakan Lara saat itu.

Hari ini kedai kopi terpaksa ditutup karena kejadian yang menimpa larah hingga terluka. Nina terpaksa menghubungi atasannya dan menceritakan kejadian tentang rekan kerjanya. Kemudian atasannya mengizinkan mereka berdua untuk sementara menutup kedai kopi.

Lara tidak menyangka sama sekali Jika Fiona masih saja ingin membuat kehidupannya menderita. Dia sudah menyerahkan semua aset keluarga ke Fiona dengan menggunakan tanda tangannya. "Bagiku harta tidak akan pernah mungkin membuat seseorang akan bahagia karena dengan harta itu aku menderita." Dia menggumam dalam hatinya sambil meneguk segelas air mineral yang diberikan oleh Nina.

"Sabar. Ini mungkin cobaan untuk kamu Lara. Tapi seseorang yang memakan harta dari anak yatim piatu maka dia akan mendapatkan azabnya. Kamu tidak perlu membalas seseorang itu tapi seseorang itu akan terbalaskan sesuai dengan kadarnya. " kata Nina menatap wajah Lara yang terlihat sangat menyedihkan sekali.

Lara terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka di bagian kepalanya sedikit. Syahid sudah menjahit luka tersebut di ruang UGD dan meminta agar dia tetap tinggal di ruang rawat inap.

Sebenarnya Lara merasa tidak enak sekali untuk meninggalkan kedai kopi yang tadinya sudah mulai rame. Dia masih sangat kesal sekali dengan tantenya yang suka saja menteror dia bahkan mengambil semua hak yang seharusnya menjadi miliknya.

"Nina , Sumpah aku merasa tidak enak sekali dengan si Bos. Karena aku juga anak baru yang kerja di kedai kopi milik si Bos."

" Kamu tidak usah khawatir Lara kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku sudah mengurus semuanya dan mengatakan kepada bos tentang kondisimu sekarang. Bos juga sudah setuju kalau kita untuk sementara menutup Kedai Kopi."

Lara merasa tidak enak sekali dengan atasannya karena dia baru saja bekerja sudah meminta izin bahkan terpaksa untuk menutup kedai kopi milik bosnya.

" Oh ya. Tadi dokter Syahid harus pergi menjalankan tugasnya di ruang IGD dan dia meminta aku untuk menemanimu di sini. Lagian aku juga nggak tega sama sekali melihat kamu sendirian karena aku tahu kalau kamu tidak memiliki saudara sama sekali."

Lara langsung memeluk Nina dengan begitu hangat sekali lalu dia mengatakan, "Aku sungguh berterima kasih sekali bisa memiliki teman di kedai kopi seperti kamu Nina."

*

Pov Syahid.

Betapa berharapnya aku tentang siapa orang tua kandungku selama ini? Apa dia masih hidup? Atau sudah tiada?

Aku melihat sebuah pemandangan di depanku. Betapa cemasnya seorang ibu melihat anaknya terbaring lemah.

"Dok, tolong putra saya," pinta wanita itu berlutut di hadapanku.

Hatiku terasa tidak berdaya melihat tangisan seorang ibu. Rasanya dadaku sesak sekali seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk.

Bocah laki-laki yang usianya masih tujuh tahun itu bersimbah darah. Karena habis jatuh dari sepeda menabrak pohon.

Aku tidak sampai hati, lalu aku pun meminta ibu itu untuk berdiri.

"Saya akan membantu ibu," ujarku. "Masalah biaya tidak usah ibu pikirkan. Biar saya yang menanggung semua biayanya."

Ibu itu langsung memelukku dengan hangat," Kamu dokter yang berhati mulia. Semoga Allah yang membalas kebaikan hatimu."

Aku pun menepuk-tepuk pundak Ibu itu.

"Terima kasih, Dok."

Aku tersenyum.

"Dok, bagaimana dengan biayanya?" Tanya seorang perawat.

"Saya yang akan menanggungnya," balasku.

"Baik, Dok."

"Tolong, segera siapkan ruang operasi. Kemungkinan pasien mengalami pembengkakan darah di kepalanya," perintahku.

Dua perawat membawa bocah laki-laki itu ke dalam UGD dulu untuk digantikan pakaian dan dibersihkan lukanya. Setelah itu, akan dibawa ke dalam ruang operasi.

"Bu, tunggu di sini. Saya akan berusaha menyelamatkan nyawa putra anda," ujarku menatap nanar wanita itu yang mengenggam kedua tangannya. Tidak henti-hentinya wanita itu membaca doa.

Aku segera ke ruang UGD untuk melakukan tindakan untuk bocah laki-laki itu.

-

Pov Lara.

Rasanya sangat sakit sekali bagian perutku dan kepala tadi terbentur ujung meja. Aku hanya mampu berbaring dan menahan sakitnya.

Mengingat kejadian tadi siang membuat diriku kagum dengan pesonanya. Dia bagaikan super hero.

Dia memang selalu menjadi pahlawan di hatiku. Dalam sujudku selalu ku sebut namanya. Hatiku terasa bergetar bila di dekatnya.

Apa mungkin dia adalah bagian dari garis tangan yang telah Allah tuliskan? pikirku.

Ku pejamkan kedua mataku, lalu ku ingat semua tentang dia selama ini.

Ddrrrttt.

Suara ponselku bergetar, aku melihat ke layar ponselnya. Sebuah pesan chat dari Syahid.

Bagaimana kondisimu sekarang? Apa kamu baik-baik saja? Apa masih sakit?

Aku pun langsung membalas pesan chat dari Syahid.

'Kondisiku sudah membaik. Aku baik-baik saja'

Pesan langsung aku kirimkan ke Syahid.

Syahid  membalas chat-nya kembali.

Alhamdulilah. Kondisi kamu sudah membaik.

Aku tersenyum, ketika saling membalas chat. Dia benar-benar sangat perhatian. Tapi, aku tidak ingin terbawa perasaan.

Sementara Nina yang tadi sedang menjagaku, dia izin untuk kembali ke kedai kopi karena dia juga tidak enak dengan pemilik kedai kopi tempat mereka bekerja.

*

Pov Haslan.

Aku sudah muak dengan menikahi wanita ular berbisa seperti dia. Seharusnya aku berjuang dalam hubunganku dengan wanita yang ku cintai. Tapi, sayangnya aku nggak bisa melakukan semua itu.

"Haslan, aku hamil!" Seru Kara menunjukkan dua garis biru dalam alat pengukur kehamilan.

Aku hanya tersenyum tipis, ketika mendengar kabar itu. Seharusnya aku bahagia dengan kehamilan dia. Bagaimana pun juga dia istriku.

Dia mulai melangkah memelukku di atas ranjang, lalu dia mulai duduk di pangkuanku dan saling berhadapan. Dia sangat kegirangan. Sedangkan aku biasa saja.

Kara mulai mengalungkan kedua tangannya di leherku. Ia terlihat sangat bahagia.

"Sebentar lagi kamu akan menjadi ayah untuk calon anak dalam kandunganku," ujar Kara.

"Iya, sayang. Aku bahagia," balasku seraya mengecup keningnya.

*

Tadi sore Lara memaksa untuk pulang ke rumah karena dia sudah merasa baik-baik saja. Dia memang sangat keras kepala sekali bahkan tidak dapat untuk diatur.

Syahid juga sudah mengingatkan kepada Lara tentang kondisinya yang masih membutuhkan waktu untuk Istirahat di ruang rawat inap.

Lara merasa Jika di rumah sakit dia malah tidak bisa untuk beristirahat karena dia terlalu bosan dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Dia tetap bersikeras untuk meminta istirahat di rumah saja karena dia juga memikirkan berapa banyak biaya yang akan dia tanggung. Karena uang gajinya juga sudah menipis untuk biaya sehari-hari.

Sore itu terjadi perdebatan antara Lara dan Syahid, namun kemudian Syahid mengizinkan Lara untuk pulang dengan syarat agar besok dia tetap untuk izin tidak masuk kerja. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi Lara.

Lara akhirnya istirahat untuk di rumah saja sesuai dengan anjuran dari Syahid.

Mendadak terdengar suara ketukan pintu kontrakan rumah Lara pukul dua dini hari.

TOK! TOK! TOK!

Suara ketukan pintu dari luar kontrakan Lara.

"Astaga, jam segini siapa yang datang?" Gumam Lara yang terbangun dari tidurnya. Ia baru saja bisa memejamkan kedua matanya. Ia terpaksa bangun pukul satu malam lewat lima menit.

Lara mulai berjalan menuju ke depan pintu kontrakan. Ia mulai membuka kunci pada slot pintu. Ia mulai menarik napas dengan kesal. Ia mulai mengumpulkan nyawa kembali.

CKLEK!

Pintu mulai terbuka lebar.

"Lara!" Spontan Mita memeluk Lara dengan kencang. Ia terisak tangis. Tubuh Mita gemetaran.

"Mit, kamu masuk dulu," ucap Lara menuntun Mita masuk ke dalam kontrakannya. Mita hanya menjawab dengan sebuah anggukan sebagai tanda menyetujui.

Lara kembali menutup pintu dan mengunci rapat-rapat. Ia menuntun Mita menuju ke ruang tamu untuk duduk di sebuah bangku.

"Kamu kenapa, Mit? Apa yang terjadi dengan kamu, Mit? Apa ada yang menyakitimu?" desak Lara yang penasaran melihat kondisi Mita yang berantakan. Rambutnya acak-acakan. Bajunya terlihat ada bekas sobekan.

Mita hanya menangis tanpa henti. Ia terlihat sangat hancur.

Lara tidak bisa memaksa Mita bercerita, ia pun mengantar Mita ke kamarnya lalu memberikan baju ganti.

"Kamu ganti baju kamu dulu, Mit. Maaf kalau bajuku tidak sebagus yang kamu miliki," ujar Lara memberikan satu setel piyama panjang. Ia memang tidak memiliki baju lengan pendek lagi semenjak dia berhijrah.

Mita menerima setelan piyama milik Lara.

"Aku tunggu di luar dulu, Mit. Kalau sudah kamu panggil saja aku," ujar Lara ke Mita.

Mita hanya menjawab dengan satu anggukkan, lalu Lara pergi menunggu di kursi kayu kamar tamu.

Mendadak Mita berteriak sangat histeris hingga Lara terpaksa masuk ke kamarnya, lalu memeluk Mita.

"Mit, ada apa dengan kamu?" tanya Lara memeluk Mita.

Mita hanya diam dan terisak tangis dalam pelukan Lara.

Lara pun berpikir, "Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Mita? Kenapa dia terlihat sangat ketakutan sekali?"

*

Ketika malam hari telah mendengar suara teriakan dari Mita yang sedang mengikuti.

"Jangan! Jangan! Jangan!"

Mita melihat sosok pria itu mendekat ke dia. Lalu, menghempaskan tubuh Mita ke sebuah ranjang.

Keringat dingin Mita bercucuran. Pria itu mencopot sabuknya, lalu mengarahkan ke Mita. Hingga sebuah cambukan mengenai tangan Mita.

Mita berteriak ampun ke pria itu sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia terisak dalam tangisan.

Pria itu ikut naik di atas ranjang hingga Mita berusaha mundur darinya. Namun, pria itu menarik paksa Mita hingga gaunnya robek. Seketika Mita memiliki sisa kekuatan untuk melawan pria bertubuh kekar yang mulai garang.

Mita mulai menendang bagian organ vital pria iru hingga memekik kesakitan. Sontak Mita berusaha kabur, tapi pria itu telah mengunci kamarnya.

Pria itu menjambak rambut Mita, lalu melempar kembali ke ranjang. Lalu, pria itu membuka resleting pada celananya.

Beberapa detik Mita menjerit dan berteriak kesakitan hingga pingsan. Pria itu menyeringai, lalu meninggalkan Mita tidak berdaya.

Mengingat kejadian itu Mita hanya mampu ditelan mimpi buruknya. Ia merasa sangat hancur. Harga dirinya hilang.

"Seharusnya aku tidak menerima tawaran agensi itu?" ucap Mita dalam hati dengan penuh penyesalan. Air matanya merambat begitu deras hingga ia tidak sanggup untuk menceritakan ke sahabatnya.

Lara langsung bangkit untuk menolong Mita yang sedang menjerit saat itu."Apa yang terjadi kepada kamu Mita? Apa kamu tidak ingin bercerita kepada aku?"

Mita langsung memeluk Lara dengan begitu sangat erat sekali. Dia sangat ketakutan ketika dia merasa kejadian itu berputar berulang kali di dalam isi kepalanya.

Pelukan Lara begitu membuat Mita sangat senang sekali. Dia merasa jika memiliki sahabat adalah tempat yang terbaik. Namun dia masih belum siap untuk menceritakan kejadian itu secara lengkap. Dia memilih untuk tetap bungkam saja.

Lara tidak bisa memaksakan Mita untuk menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Kemudian dia meminta Mita untuk tenang dan tetap memejamkan kedua matanya.

Lara langsung memberikan segelas air mineral untuk menenangkan Mita yang sedang histeris tadinya. Kemudian Mita tertidur kembali.

Keesokan harinya Lara bersiap-siap untuk segera berangkat kerja ke kedai kopi. Sebenarnya dia tidak diizinkan untuk bekerja hari ini. Namun dia tetap bekerja.Bahkan dia berharap jika Mita baik-baik saja ketika dia tinggal.

"Mita, aku ke kedai kopi dulu ya," pamit Lara.

Mita hanya mengangguk.

"Assalamualaikum," salam Lara.

"Walaikumsalam," balas Mita dengan lirih.

Lara mulai pergi keluar kontrakan, ia juga sudah menyiapkan sarapan untuk Mita.

"Semoga Mita baik-baik saja," ucap Lara dalam hati. Lalu melangkah pergi dengan jalan kaki.

Lara tetap memaksakan diri untuk berangkat kerja ke kedai kopi karena dia tidak enak sama sekali dengan atasannya. Walaupun dia masih merasa sakit pada bagian perutnya dan kepalanya. Dia berusaha untuk tetap tersenyum walaupun ada rasa sakit dalam tubuhnya.

Kebetulan jarak kedai kopi dengan rumah kontrakan Lara sangat dekat sekali jadi dia hanya berjalan kaki dalam waktu lima belas menit. Lara tidak ingin menjadi gadis yang manja saat itu.

*