Chereads / Aroma Surga / Chapter 32 - Rindu

Chapter 32 - Rindu

Syahid mulai berlari mengejar wanita paruh baya itu.

"Ibu!" teriak lantang Syahid memanggil nama ibu dengan derai air mata yang mengalir begitu deras. Hingga ia jatuh di aspal jalan raya.

Syahid tidak menyangka kalau ibunya meninggalkannya, ketika usianya masih belum remaja. Ia pun hanya bisa menatap nanar bingkai foto kenangan.

Kini wanita itu ada di hadapannya dengan sebuah keluarga barunya. Syahid hanya bisa diam terpaku menatap wanita yang pernah dia sebut sebagai ibu.

Sebuah tangan menepuk pundak kanan Syahid. Hingga Syahid tersentak dari lamunannya.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Syahid hanya tersenyum tipis.

"Ayo kita jalan ke toko buku," kata Anya.

Syahid masih mematung menatap wanita yang mirip dengan ibunya.

"Ayo!"

Syahid pun berpikir, "Apa aku nggak pantas buat bahagia? Kenapa ibu mencampakkanku?"

"Syahid! Buruan!" pekik Anya.

"Ya!"

*

Lara  gagal buat liburan, karena Mita ternyata ada jadwal pemotretan yang membuatnya harus terbang ke Jakarta. Sedangkan, Erlan dia harus segera pergi ke Surabaya.

"Kamu kenapa kok kelihatan murung begitu?" tanya Nina menatap Lara.

Lara pun hanya tersenyum tipis," Aku nggak apa-apa kok. Cuman lagi lelah aja."

"Yakin? Kamu baik-baik aja, Ra?" Nina memincingkan kedua matanya.

"Nin, aku baik-baik saja. Kamu nggak usah cemas."

"Baiklah, Ra. Kalau kamu kenapa-kenapa bisa cerita sama aku," kata Nina.

"Tenanglah, Nin. Aku pasti baik-baik saja. Kamu nggak usah cemas," Lara berusaha meyakinkan Nina kalau dirinya sedang baik-baik saja. Dia berusaha untuk tetap tersenyum walaupun rasanya tidak sanggup.

Ehem.

Kedua barista itu menoleh melihat seorang wanita dengan tatapan mata begitu sengit. Dia menaikan dagunya. Lalu, dia mencopot kacamatanya.

Lara datang menghampiri wanita yang sedang di meja pemesanan.

"Lara Sarasvati, apa kabar?"

"Tan-te Fi-ona," Lara terlihat sangat gugup melihat kemunculan wanita yang pernah mengusirnya dari rumah.

"Apa kabar, sayang?" tanya Fiona dengan menyeringai ketika menatap wajah Lara. Dia akan memberikan sebuah isyarat kalau ada sesuatu yang sangat dia inginkan.

"Mau apa tante Fiona ke sini? Bukankah, apa yang tante mau sudah terpenuhi?!" bentak Lara ketika menatap kedua mata Fiona yang penuh dengan keinginan lain. Dia sangat cerah sekali ketika menghadapi seorang wanita yang sangat licik sekali. Dia sudah lelah jika menghadapi wanita seperti Fiona.

"Etts, sabar Lara. Saya ke sini hanya ingin melihat keadaanmu," kedua manik mata Fiona melotot ke Lara sambil tersenyum begitu sangat kaku sekali dan tidak tulus.

"Mau tante apa?!" tanya Lara dengan nada yang begitu sangat tegas sekali karena dia tidak ingin berurusan kembali dengan Fiona. Dia bahkan rela menyerahkan seluruh hartanya kepada wanita licik dan serakah itu.

"Aku mau kamu segera lenyap dari bumi ini!" bisik Fiona dengan penuh penekanan tiap kata hingga kalimatnya.

"Sebaiknya anda pergi dari sini! Saya nggak sudi melihat wajah anda lagi!" Desis Lara seraya membuang muka. Ia tidak ingin berada dalam kondisi dulu harus mengalami penyiksaan.

Fiona mencengkeram rahang Lara. Di ujung sana Nina tidak bisa berkutik, apalagi melihat body guard di belakang wanita yang sedang mengintimidasi Lara."Kamu berani untuk melawan saya?" dia mulai mengangkat salah satu alisnya." Ingatlah kalau aku bisa saja melenyapkan kamu hanya dengan satu petikan jari saja. Karena kamu hanyalah gadis kelinci kecil yang harus aku lenyapkan dari muka bumi ini. Jika kamu masih ada disini maka aku merasa terganggu sekali! "

Lara merasa sangat sakit sekali ketika Fiona mulai mencengkram rahangnya dengan satu telapak tangan apa saja. Dia meringis sangat kesakitan karena cengkraman itu begitu sangat kuat sekali.

"Singkirkan tangan anda dari dia!"

"Syahid?" batin Lara. Pria itu datang di saat yang tepat.

Fiona langsung mendorong Lara hingga tersungkur di lantai.

"Auw!" ringis Lara yang ternyata menatap ujung meja perutnya.

"Di sini terpasang cctv. Saya akan laporkan anda atas tindak penganiayaan!" Tegas Syahid.

"Kau berani melawan saya anak muda!" Seringai Fiona dengan tertawa masam. "Kamu belum tahu siapa saya?!"

"Saya tidak perlu tahu siapa anda?! Karena saya tidak ingin ada kekerasan!" Tegas Syahid. Lalu, ia menolong Lara untuk bangkit dan membopongnya ke kursi.

"Saya akan tandai kamu sudah berani melawan saya! Kamu akan menyesal berurusan dengan saya!" Fiona menatap lekat-lekat ke Syahid. Bibirnya terlihat mengantup rapat dengan wajah sinisnya. "Lihat saja! Aku akan menghancurkan kalian!" batinnya.

Fiona langsung memalingkan muka. Ia pun pergi dengan hati yang panas diikuti dua bodyguardnya.

"Astaga, Ada Pak Dokter!" Senyuman merekah dari Nina. Lalu, menghampiri Lara yang merasa kesakitan.

"Saya akan membawa Lara ke rumah sakit," ujar Syahid.

"Nggak usah, Hid. Aku nggak apa-apa kok," ujar Lara dengan menahan sakit. Benturan itu terlalu keras.

Syahid mengendong Lara, ia tidak ingin terlambat menolongnya.

"Hid, kamu mau bawa aku ke mana?" Lara mulai bertanya sambil menatap kedua manik mata Syahid. Sebenarnya dia merasa sangat ditekan sekali ketika berada di hadapan Syahid.

"Rumah sakit. Tenang aku nggak akan menculikmu," jawab Syahid.

Lara  tersenyum kaku, ia merasa detak jantungnya mulai berdebar begitu sangat kencang sekali ketika dia harus berdekatan dengan seorang Syahid.

Ehem.

Suara deheman dari Nina membuat mereka berdua tersentak dalam sebuah lamunan.

"Nina?"

"Udah cocok jadi suami istri!" cetus Nina dengan tawa kecilnya.

"Nina!"

Nina langsung membungkam mulutnya sendiri. Ia melihat kedua pipi dari rekan kerjanya terlihat merah merona.

Syahid perlahan-lahan berjalan keluar dari kedai kopi sambil mengendong Lara ala bridal style.

Lara mulai mengendus aroma Syahid yang buat dirinya mabuk kepayang. Ia merasa jantungnya berdegup kencang. "Semoga Syahid tidak mendengar detak jantungku," batinnya.

Syahid membawa Lara ke mobil jeepnya. Ia pun mendudukan Lara di samping bangku kemudinya.

"Astaga, betapa sejuknya bila di dekatnya. Bagaikan ada angin surga yang lewat. Rasa sakit itu mendadak hilang. Setelah melihat wajah teduhnya," helaan napas singkat Lara. "Seandainya saja dia benar jodohku. Maka aku akan bersyukur sekali," batinnya.

Syahid mulai menyalakan mesin mobil.  Lalu, ia mengemudikan mesin dengan sangat cepat.

Lara tidak ada habis-habisnya memuji Syahid yang membuatnya berdecak kagum dalam hati. Ia berharap dia adalah jodoh yang dikirimkan oleh Tuhan.

*

"Sinta! Kamu ke ruangan saya!" perintah Haslan dari sambungan interkom.

Sinta langsung merinding mendengar suara bosnya. Ia pun membaca doa-doa agar terhindar dari amarah dari bosnya.

"Kenapa mau pulang saja, masih dipanggil?" dumel Sinta yang terlihat bibirnya manyun.

"Sin, kamu nggak pulang?" Tanya Bagus.

"Mana mungkin saya pulang Pak Bagus. Ini saja saya dipanggil sama pak bos!" Sinta mengembuskan napas berat sambil menundukkan kepalanya.

"Ok, kalau gitu aku mau balik duluan," pamit Bagus.

"Ok," sahut Sinta dengan lemas.

TOK TOK TOK.

"Masuk!" Perintah Haslan dari dalam ruangan kerjanya.

Sinta mulai masuk dengan perasaan was-was. Ia terlihat sangat gugup sekali. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya saja.

BUG.

Haslan melemparkan map di depan wajah Sinta.

"Ada apa pak?!" Sinta tersentak.

"Kamu kalau kerja itu yang bener! Ini semua proposal banyak yang salah!" Bentak Haslan.

"Maaf, Pak," ujar Sinta.

"Kamu saya pecat!"

"Apa?"

"Keluar kamu! Urus pengunduran diri kamu di HRD."

Sinta hanya diam. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Lalu, dia keluar dari ruang Haslan dengan air mata yang membanjiri pipinya.

"Sinta?"

"Pak Bagus," Sinta memeluk Bagus yang kembali ke kantor. Ia menangis dalam dada bidang Bagus.

"Kamu kenapa, Sinta?"

"Aku dipecat Pak," isak Sinta hingga cairan kental di hidungnya keluar.

*

Di dalam ruangan Haslan terlihat mengepalkan tangannya di atas meja.

"Sialan! Kenapa tender PT Belia Magazine gagal?!"  Gumam Haslan, ia curiga kalau ada orang kepercayaannya yang berkhianat. Ia curiga dengan Sinta.

Semua file dan berkas hingga jadwal meeting. Hanya sekertarisnya yang tahu.

"Sial!" Geram Haslan memporak-porandakan seluruh ruangan. Hingga ia membanting apapun di depannya.

*

"Sinta, biar aku bantu," ujar Bagus.

"Makasih, Pak."

Sinta tidak habis pikir kalau karirnya di Gold Advertising Grup. Ia sudah bekerja selama lima tahun. Ia merasa sangat sedih sekali.

"Sabar, Sin. Nanti aku bantu cariin kamu kerjaan yang baru. Udahlah jangan sedih," Bagus membantu menghapus air mata Sinta dengan sapu tangan yang baru ia keluarkan dari kantong celanannya.

"Makasih, Pak," ucap Sinta yang masih membereskan semua perlengkapan miliknya ke dalam kardus kosong.