Pov Lara.
Aku mendengar sebuah kabar pernikahan antara Haslan dengan seseorang pilihan dari keluarganya. Aku merasakan rasa kepedihan yang menyayat saat itu. Rasanya tidak habis pikir kalau dia benar-benar menikahi perempuan itu. Sebuah janji yang telah diucapkan itu ternyata tidak akan pernah terjadi sama sekali hingga menggoreskan tinta luka di dalamnya.
Dulu aku pernah percaya dengan seribu kata cinta yang pernah Haslan ucapkan kepadaku yang kenyataanya semuanya itu hanyalah Kepalsuan. Dia meninggalkan aku saat itu ketika aku sudah mulai jatuh cinta kepada dia dan mempercayakan Hatiku hanya untuk dia. Semuanya seperti Awan Kelabu yang seakan menenggelamkan perasaanku. Aku hanya bisa menelan saliva ku sendiri meratapi kisah cintaku yang pada akhirnya tak berpihak kepadaku.
Kabar pernikahan itu berhasil untuk membuat diriku benar-benar mati rasa akan sebuah cinta. Sungguh aku tidak habis pikir dengan Haslan yang menghianati aku.
Kemudian aku pun mulai tersentak dalam sebuah lamunan. Aku mendengar suara dari seorang pria yang sedang memencet bel didepan meja barista.
"Astaga kenapa aku memikirkan pria itu lagi? Seharusnya ingatan itu harus ku format ulang, agar tidak pernah lagi muncul." Aku mulai menggumam dalam hatiku dan berusaha untuk tetap baik-baik saja.
"Kak, Double shoot espresso latte satu cup."
"Cold atau hot?"
"Hot, less sugar ,nona."
"Okay, tuan."
Aku memulai membuat coffee espresso double shoot latte. Dengan mesin coffee maker. Suhu air yang digunakan 90-96 derajat celcius. Suhu air akan mempengaruhi brightness dan taste. Jika, suhu semakin tinggi maka karakternya semakin roasty dan intens. Lalu, aku menantakarkan 21 gram kopi robusta terbaik yang dimiliki kedai kopi tempatku bekerja. Dengan, mengunakan takaran segitu akan memperkuat rasa ekspresso dalam satu cup latte.
Biji kopi yang sudah ditakar, lalu aku masukkan ke dalam burr grinder dengan menggunakan tamper yang memiliki portailter basket dengan diameter 58 milimeter agar menghasilkan ekstraksi yang sangat merata.
Satu cup hot double espresso latte sudah siap aku sajikan ke pengujung kedai kopi tempatku bekerja. Pria itu duduk di ujung dekat jendela cafe sembari menyesap satu putung rokok yang asapnya mengepul ke udara.
"Satu cup hot double espresso latte, Tuan," ucapku sambil mengukir senyuman.
"Thank's."
Aku menatap lelaki itu tidak asing di kedua mataku. Lalu dia mulai menarik tanganku. Lalu dia mencengkeram tanganku dengan sangat kuat sekali.
"Bisakah kau beri aku kesempatan. Sekali saja untuk menjelaskan semuanya." Haslan menatapku. " Lara aku mau mohon beri aku kesempatan untuk berbicara dan menjelaskan semuanya!"
Aku mulai melangkahkan kedua kakiku dan menepiskan tangannya. " Tidak ada sebuah kesempatan untuk sebuah hati yang sudah tersakiti!"
Haslan tetap saja tidak melepaskan cengkramannya. Dia semakin mengeratkan cengkramannya hingga aku meringis kesakitan.
Aku pun terdiam dalam bisunya suasana cafe. Sungguh, aku memang susah membenci dia. Sumpah demi apapun. "Tidak, Kamu harus lupakan dia! Ingat, dia itu...."
Dia berusaha meyakinkanku dengan mengenggam ruas jariku. Aroma mint dari mulutnya masih terasa sama, ketika dia menghela napas begitu lembut.
"Ku mohon lepaskan aku, Haslan."
Satu tangan mencoba menarik jilbabku hingga aku mendongak.
"Dia suamiku! Kau itu cuman mantan yang terlalu mengharapkan suamiku!" suara berat dari seorang wanita yang berpakaian serba minim hingga menunjukkan belahan pada dadanya. Ia pun mengancamku dengan kalimat-kalimat yang dia tekan tiap kata-katanya.
"KARA! Lepasin dia!" Haslan mendekte dengan suara desisan.
"Haslan, kamu itu suamiku, kenapa kamu masih saja temuin wanita miskin ini?!"
"Aku cinta dia, sedangkan pernikahan kita hanya sebatas hubungan bisnis! Jadi, kamu nggak usah urusin urusanku atau pakai ngelarang-ngelarang. Aku bisa saja menceraikan kamu, Kara! Aku nggak pernah cinta sama kamu!" Haslan mengatakan dengan menaikan salah satu alisnya.
Kara melepaskan tangannya dari jilbab yang ku gunakan. Lalu, ia menarik paksa tangan Haslan.
"Kamu suamiku, jadi kamu nggak ada hak temuin mantan kamu yang udik ini. Cuman barista di kedai kopi murahan gini," cibir Kara menatapku dengan jijik.
"Setidaknya aku nggak memanfaatkan harta orang tua. Lihatlah dirimu Kara Wulansari, kamu cuman nempel di orang tuamu yang kolongmerat! Itu cuman keberuntungan kamu!"
Kara hanya menatapku. Wajahnya terlihat seperti nenek lampir.
"Oh, begitu. Nggak usah ceramahin aku, lihatlah dirimu yang cuman wanita miskin dan gembel! " ucap Kara dengan sedikit mengejekku.
"Sebaiknya, kamu pergi saja. Aku nggak tertarik dengan suamimu ini," ucapku dengan sangat kesal. "Aku nggak berminat buat kembali dengan suamimu. Camkan dalam pikiranmu baik-baik nyonya Haslan terhormat," lalu aku tersenyum kecut.
*
Di mobil Kara tidak henti-hentinya memaki Haslan. Dia mulai mencibir tidak henti-hentinya di hadapan Haslan. Bahkan dia tidak segan-segan untuk merendahkan Lara di hadapan Haslan, suaminya.
"Mas, kamu itu suamiku."
"Aku tahu, dan aku nggak budek!"
"Mas, ngapain kamu masih temuin perempuan miskin dan gembel itu!?"
"Bukan, urusan kamu!"
"Mas, aku ini istri sah kamu! Kenapa kamu nggak pernah menyentuhku sama sekali?"
"Aku nggak bernafsu dengan perempuan sepertimu. Satu hal yang harus kamu tahu Kara Wulansari. Kamu hanya istri di atas kertas, jadi aku nggak akan sudi menyentuhmu!" Aslan mulai menegaskan setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya tentang status pernikahannya dengan Kara Wulansari. Dia benar-benar tidak pernah menginginkan pernikahan itu terjadi namun di sisi lain dia tidak mampu menentang keinginan keluarganya.
"Kamu jahat, Mas," Kara meronta-ronta dengan mengoyak-koyak tubuh Haslan.
Haslan sangat kesal sekali dengan yang dilakukan oleh Kara sehingga membuat konsentrasinya menyetir buyar. Kemudian dia menghentikan mobilnya di tepi jalan agar tidak terjadi kecelakaan karena cara yang terus menggoyang-goyangkan tubuhnya dan memukul-mukulnya.
"Kamu itu apa-apaan sih! Kalau kita kecelakaan gimana? Kamu sudah siap mati untuk menanggung beberapa dosamu? " Haslan sedikit emosi melihat tingkah laku dari ke arah. Dia tidak rela kalau perempuan itu benar-benar melukai atau membahayakan nyawa dari perempuan yang sangat dia cintai.
Kara hanya terdiam dengan mengerucutkan bibirnya dengan sangat kesal karena suaminya malah mengejar perempuan lain dibandingkan dengan dia yang kini berstatus sebagai istri sah-nya.
Haslan mendengus dengan sangat kesal sekali melihat tingkah laku dari Kara. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya untuk segera pulang ke hotel.
*
Pov Lara.
Aku hanya terdiam dalam bisu. Kenapa aku harus bertemu dengan pria itu kembali? pikirku menatap mesin espresso dengan tatapan sendu.
Senyumannya Bagaikan Matahari terbit kini menjadi terbenam seketika tanpa adanya cahaya di dalamnya. Aku yang dulu percaya akan cinta kini mulai pudar karena cinta hanya membuat aku menjadi lemah.
"Lara, aku ingin melakukan itu bersamamu."
"Enggak, aku nggak mau Haslan. Itu dosa, apa kata Allah nanti."
"Katanya kamu cinta aku."
"Itu nafsu."
"Okay, jangan salahkan aku kalau aku akan melampiaskan ke wanita lain yang mau melakukan bercinta denganku," ucap Haslan.
"Silahkan, karena mulai sekarang anggap aja kita sudah nggak sejalan."
Di depan kedua mataku, setelah pertengkaran itu. Aku melihat Haslan bercumbu mesra dengan seorang perempuan lain. Lalu, aku pun pergi.
"Apa cinta harus dibuktikan dengan nafsu? Apa cinta yang tulus sudah tidak ada lagi? pikirku.
*