Masih banyak bintang di langit, namun hati Syahid masih saja kosong. Seperti daun-daun yang udah mengering hingga berjatuhan.
Kematian ibunya menyemburatkan sebuah luka hingga kenyataan pahit kalau dia hanyalah anak pungut, bukan anak kandung. Wanita yang ia sebut dengan ibu hanyalah seseorang yang baik.
"Siapa ibuku?" tanya Syahid sambil menatap sepucuk surat yang telah diberikan, setelah kematian wanita paruh baya itu.
Aroma kematian itu awal dari sebuah kotak hitam yang menyerua ke udara. Ia memang tidak mengenal baik siapa ibu kandungnya. Ia hanya berharap kalau bisa menemui ibunya segera.
"Ya Allah dosa apa atas diriku? kenapa cobaan terlalu bertubi-tubi untukku?"
Syahid menatap ke arah langit, ia menatap cahaya rembulan yang menyinari malam ini. Ia hanya duduk sambil menatap dari luar jendela.
Sebuah kenangan seperti sebuah kotak pemutar waktu. Ia merasakan melihat kenangan-kenangan kebersamaannya dengan ibunya.
"Ibu, kau mau ke mana?" Syahid mencoba mencegah ibunya yang sedang membawa tas besar, lalu menepiskannya.
"Nak, kamu akan baik-baik saja tanpa ibumu yang hanya sebagai aibmu! ibu nggak pantes, jadi ibumu!" ucap ibunya.
Syahid masih semester awal dia masuk ke Fakultas kedokteran umum dengan jalur prestasi, ia memang terbilang anak yang cerdas sejak lahir di dunia, namun sayangnya kehidupan nampak tidak sempurna untuknya.
"Bu, Syahid menyayangimu. Tiada wanita sehebat dan sehangat ibu. Aku nggak peduli, meskipun ibu membenciku, tapi aku tetap menyayangimu, Bu."
Syahid berusaha mencegah ibunya kala itu, namun sayangnya sikap keras wanita paruh baya itu tidak akan pernah berubah sama sekali.
Jelita Arumi memang wanita yang berhati kaku, bahkan ia tetap dalam pendiriannya. Sekali memutuskan dia tidak akan merubahnya. Meskipun bumi akan gonjang-ganjing sekalipun.
Sebuah sedan mewah Jelita Arumi masuki, Syahid berusaha menghentikan langkahnya. Namun, ia malah mendorong Syahid hingga tersungkur di sebuah jalanan aspal rumahnya.
"Buu!"
Suara Syahid pun tidak akan mengetarkan wanita itu untuk berhenti, lalu berbalik.
Syahid pun kembali tersadar dari lamunannya, ia tidak menyangka kalau wanita itu bukan ibu kandungnya.
Termenung dan terdiam dalam heningnya sebuah malam. Napasnya seakan berhembus secara tidak beraturan. Surat yang ia baca barusan menjelaskan tentang siapa dirinya. Dia hanya mampu untuk meratapi nasibnya.
"Aku bukan anak ibu!" runtuk Syahid dalam hati kecilnya, ia merasakan kalau dia memang bukan anak dari wanita yang begitu ia rindukan kasih sayangnya.
Air mata itu mengalir, ia merasakan radang dalam hatinya. Ia tidak mampu mengungkapkan sebuah kata rindu. Bahkan, ia menepis kenyataan itu. Ia tidak peduli bila pun dia bukan anak yang terlahir dari wanita itu.
"Bu, siapapun dirimu. Aku tetap menganggapmu ibuku."
---
Siapa yang menyangka pulang ke rumah, tapi dalam suasana yang tidak pernah dirindukan.
"Sayang!"
Kara datang langsung menyosor seperti bebek. Ia memeluk Haslan yang baru saja datang dari kantor.
"Gimana kamu suka dengan dekor pilihanku dan nyokap?!"
"Terserah, aku cape. Lepasin pelukkan kamu!"
"Yaelah, sayang. Aku rindu banget sama kamu. Apa kamu nggak mau dengerin ceritaku?"
"Nggak, aku cape Kara. Aku udah pusing ama kerjaan! kalau kamu mau ngobrol tuch ditemani sama mama kalau enggak sama Yasmin."
"Aduh, sayang. Apa kamu nggak pernah ada waktu buat aku?"
"Aku cape, Kara. Kamu ngertiin aku donk! kalau kamu tetep kayak gini. Aku nggak segan-segan batalin pertunangan kita!" omel Haslan dengan nada penuh penekanan hingga naik dua oktaf.
"Haslan!"
"Apa, Ma?"
"Kamu kok kasar gitu sama perempuan! kasihan Kara seharian kerja keras buat dekor rumah ini!"
"Siapa yang suruh? Dia yang mau sendirikan?" balas Haslan dengan nada jutek.
"Kamu itu dibilangin ngejawab mulu! apa kamu masih mau bertahan dengan perempuan miskin dan udik itu!"
Haslan pun kesal mendengar penghinaan atas Lara,"Dia punya nama mama. Dia Lara Sarasvati!"
"Terserah nama dia siapa! kalau kamu mau perempuan itu selamat dari mama, maka kamu harus nurut! kalau enggak mama bisa buat hidup dia makin hancur!"
Haslan tahu kalau mamanya tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Ia tidak ingin, kalau Lara makin terpuruk dalam kehidupan, karena dia.
"Okay! mama menang kali ini!"
"Kamu temanin Kara ngobrol."
"Iya, tapi Haslan harus mandi dulu."
"Mulai malam ini dia akan tinggal satu rumah dengan keluarga kita."
"What?!"
"Kamu nggak usah terkejut, semua itu agar Kara terbiasa menjadi istri kamu yang baik," ucap Lira dengan tersenyum.
"Sialan, kenapa nona ratu drama pakai tinggal juga serumah. Bikin duniaku makin huru hara aja!" batin Haslan.
"Kamu harus bisa membiasakan diri ya Kara. Anggap aja kamu sudah sah menjadi istri dari Haslan Santoso Wijaya,"ucap Lira.
"Iya, mama."
"Udah manggil mama juga, kenapa makin ke sini nyokap seakan-seakan memaksa banget buat aku bersama dengan dia," batin Haslan menatap sinis Kara, ia ngerasa tidak nyaman harus bertemu perempuan menyebalkan itu.
"Setuju nggak setuju, kamu harus setuju. Kara itu cocok sama kamu. Jadi, kamu jangan banyak protes!" ujar Lira sambil tersenyum.
"Terserah mama! emang mama itu kan keras kepala! mana mau mama dengerin permintaan Haslan,"ucap Haslan, lalu pergi naik ke atas menuju ke kamarnya.
Lira pun memeluk Kara, ia seakan membuat calon menantunya, agar tenang.
"Mama yakin, kalau kamu bisa taklukin hati Haslan putraku."
Kara pun tersenyum, karena ia sebenarnya punya rencana lain.
---
Di kamar Kara sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang, lalu ia menatap langit-langit kamarnya.
"Haslan Wijaya, kamu akan menjadi milikku. Dan, kamu akan tahu siapa aku setelah kita menikah! Dan, tante Lira kamu memang sangat bodoh!"
Senyuman licik terlukis di raut wajah Kara, ia pun bahagia satu langkah rencananya sudah bisa berjalan, meskipun ia harus bisa bermain dengan cantik.
"Kita akan hancurkan mereka!"
Kara mulai mengerjap-kerjapkan kedua matanya, ia merasa semua sudah hampir dalam genggamannya.
"Kamu memang licik tante, tapi aku akan membuat kelicikanmu sebagai senjataku menghancurkan semuanya. Dan, aku akan menjalankan semua impianku!" lirih Kara.
Terdengar ketukan dari sebuah jendela kamar Kara.
Kara langsung menghampiri sumbernya, ia melihat seorang pria yang sengaja menemuinya.
"Bagaimana rencanamu berhasil?"
Kara mengangguk jelas.
"Bagus, kau harus tetap menjalankan semua ini. Karena, aku sudah muak dengan sikap pria itu."
"Percayalah, rencana kita 90% sudah berhasil. Kita tinggal tunggu tanggal mainnya, sayang!"
"Awas, kalau kau punya perasaan! atau hamil dengan dia!"
Kara terkekeh,"Aku memang mulai suka dengan Haslan, tapi aku akan melenyapkanmu dulu!" batin Kara.
"Kamu nggak usah berpikiran menyingkirkan aku, kalau kamu melakukannya, maka kau akan tanggung sendiri akibatnya, kalau kamu nggak akan bisa melihat putra kita lagi."
"Sialan dia tahu rencanaku," batin Kara.
"Jangan coba-coba kamu berencana menyingkirkanku!"
"Nggak akan sayang. Ini semua demi membalaskan dendam adikku!"
"Dasar adik kamu aja yang stress, Haslan terlalu tampan!"batin Kara dengan senyuman liciknya.
----