Pov Haslan.
Rayuan senja dikala sejingga cahayanya. Kepiluan dalam sebuah nestapa yang mewarnai dalam sinarnya. Rasanya hatiku begitu pilu dan sangat bodoh sekali.
Pernikahan dalam ambang kenestapaan. Rindu dalam sebuah kisah yang dirundung kepiluan. Cinta bagaikan candu dalam secangkir espresso yang aromanya membuat teringat akan dia. Bodohnya diriku, runtukku berulang kali dalam hati.
Sepasang tangan memelukku dari belakang, dia mulai menyadarkan tubuhnya ke punggung belakangku. Dia perempuan yang ku nikahi tanpa cinta. Hubungan sebatas bisnis, bukan karena cinta. Perasaanku masih milik dia.
"Aku sayang kamu Haslan," ucapnya dengan mengeratkan pelukan, tapi aku nggak berminat sama sekali atau bergairah bila bersamanya, lebih baik aku bersama wanita jalang liar yang di club malam.
"Kenapa kau abaikan aku sayang?" bisiknya, perempuan itu memang cantik, tapi tidak pernah membuatku bergairah di atas ranjang sekalipun. Meskipun, dia bertelanjang bulat sekalipun tidak akan membuatku bernafsu dengan bercinta di malam itu.
"Kara, lepasin kedua tanganmu," desisku, karena aku sungguh merasa risih sekali.
Dia makin mengeratkan pelukannya, tapi aku merasa sangat risih. Pernikahan bukan impian bagiku. Aku hanya mencintai Lara Sarasvati. Aku yakin suatu hari nanti datanglah kesempatan yang kedua kali. Mungkin, menunggu membosankan, tapi cinta tidak akan ada kata tunggu sekalipun itu.
*
Pov Lara.
"Erlan, ini kopi anti patah hati," ujarku menatap sahabatku dengan tersenyum lebar.
"Thank's ya."
Kopi anti patah hati dengan ramuan penuh cinta dan kasih sayang. Double shoot espresso dari biji kopi Sumatera. Dicampur dengan susu sesuai dengan takaran. Aroma secangkir kopi penuh ketenangan.
Erlan mulai menyesap secangkir yang telah aku buat, ia mulai memejamkan kedua matanya dan merasakan sensasi rasanya yang begitu pas di lidah. Dia merasakan kenikmatan dari setiap rasa dari kopi tersebut.
"Gimana rasanya?" Tanya aku menatap Erlan yang sedang menikmati secangkir kopi buatan ku karena ini untuk yang pertama kalinya aku meraciknya.
Erlan pun memberikan kode dengan ok pada jari tangannya. Ia pun tersenyum, ketika memberi penilaian tentang rasa kopi yang telah aku buat.
"Aku nggak nyangka kalau kopi buatan kamu sesuai dengan ekspetasi yang ku rasakan," ucapnya, ia melebarkan senyumannya.
"Ya, syukurlah." Aku bahagia sekali ketika Erlan mengatakan kalau kopi buatan Ku memang memiliki ciri khas dari rasa yang luar biasa.
"Lain kali kamu buatkan aku secangkir kopi lagi yang seperti ini. Ngomong-ngomong ini kopinya gratis, kan? "
"Kalau sekarang masih gratis tapi lain kali kamu harus membayar. "
"Oh gitu sama teman sendiri perhitungan? "
" Bukannya perhitungan, tapi ini kedai kopi bukan milik aku! "
"Iya deh aku tahu kalau kamu cuman pegawai biasa. Ngomong-ngomong, gimana kabar Om sama Tante kamu? Apa dia tahu kalau kamu sekarang tinggal di Semarang?"
"Aku nggak peduli dengan om dan tante aku. Percuma saja mereka hanya butuh harta warisan dari keluargaku saja. Tapi aku merasa bahagia sekali saat terbebas dari mereka semua. "
Erlan bisa merasakan perasaanku yang sebenarnya. Dia tahu betapa kejamnya om dan tante aku ketika aku masih tinggal bersama mereka.
*
Pov Syahid.
Kenapa dia bukan ibuku? Terus siapa ibuku? decak frustasiku menatap bingkai foto wanita yang ku sangka adalah ibu kandungku, tapi kenyataannya dia hanya ibu angkatku.
Menikmati senja bersama luka yang tersayat-sayat atas sebuah kenyataan perih. Ibu sungguh aku tidak menyangka, kalau kau bukan wanita yang mengandungku.
Ku tahan air mataku, lalu ku ku nyalakan putung rokok dengan pematik, lalu ku sesap dan asapnya ku hembuskan ke atas.
Asap mengepul di luar jendela kamarku. Menatap senja dalam menikmati tiap kenangan bersama ibu.
"Bro, kamu nggak ke Rumah Sakit?"
"Aku lagi off."
"Oh, kirain kamu masuk."
"Enggaklah, ini jadwal off ku."
"Okay, kalau begitu aku berangkat dulu."
"Okay."
Dimas salah satu sahabat terbaikku di kota Semarang. Kebetulan aku, Dimas dan Anya satu tim. Kami ditugaskan di Semarang bersama menjalani masa koas.
Mereka bagian dari hidupku, sungguh aku tidak menyangka Allah mengirimkan mereka di kehidupanku yang serba gersang bagai di Padang pasir.
Lucu? awal pertama ketemu mereka hingga menjadi sahabat terbaik yang aku miliki selama ini.
Ku helakan napas panjang bila mengingat kenangan bersama mereka.
*
Suasana Bar di Jakarta cukup ramai, banyak wanita yang memakai pakaian serba minim. Aroma alkohol begitu pekat. Asap rokok berterbangan di mana-mana.
Seorang wanita bertubuh seksi mendekat ke Haslan sambil bergaya erotis di hadapannya, bergelayutan di tubuh Haslan yang sedang menikmati satu sloki red wine.
"Gila malam ini kamu bikin aku panas," bisik wanita itu tepat di belakang telinga sambil meraba-raba dada bidang Haslan. Dia memengang area intim pria itu hingga tercipta suatu gairah. Libido pria itu terlihat naik hingga sentuhan jemari tangan wanita itu membuatnya merasakan sensasi candu dalam hubungan intim.
"Aku bisa memberikan kamu servis. Bikin aku menari bebas di atasmu, Sayang," ucap wanita itu sedikit mendesah.
"Baiklah, kita akan lanjutkan di Hotel," ucap haslan sedikit berbisik ke telinga kanan wanita itu. Kemudian wanita itu pun mengangguk mengiyakan dan mengikuti apapun yang Haslan inginkan.
Haslan mulai mencoba memberikan arahan kepada perempuan itu untuk memenuhi hasrat nya yang mulai menggelora. Dia merasakan tubuhnya mulai terbakar karena efek alkohol yang terlalu banyak dia minum.
Kemudian Haslan pergi bersama wanita itu ke sebuah hotel dekat klub malam menggunakan sebuah taksi online. Terlihat wajah Haslan yang ingin sekali menekan wanita itu Karena dia sudah dalam sebuah fase gairah yang begitu membara.
Taksi online itu pun segera melaju dengan sangat kencang sekali menyapu jalanan Kota Jakarta. Hasan pun mulai terlihat mabuk berat sekali bahkan tidak henti-hentinya mereka bercumbu di bangku belakang taksi online.
Terdengar suara desahan yang saling bersahutan ketika mereka saling melumat bibir mereka satu sama lain dalam beberapa detik.
*
Di rumah Kara terlihat sangat gelisah sekali. Dia mulai mengendus kalau suaminya mulai macam-macam diluar sana. Dia takut kalau rencananya akan gagal. Dia hanya ingin menghancurkan keluarga Wijaya.
Kara mondar-mandir, ia terus menatap jam di dinding. Ia merasa gelisah, karena suaminya belum juga pulang.
"Haslan, kamu di mana? Apa kamu sedang bersenang-senang dengan wanita-wanita jalang itu!"
Kara pun tidak bisa diam, karena ia tidak ingin suaminya bercinta dengan wanita di club malam itu.
*
Taksi pun telah sampai di depan lobby sebuah hotel bintang lima. Wanita itu berusaha untuk memapah Haslan yang sudah mabuk berat. Kemudian wanita itu memesan satu kamar VVIP.
Wanita itu meminta seorang pelayan hotel untuk membantunya membawa Haslan ke sebuah kamar. Karena lelaki itu sudah berjalan sempoyongan.
Wanita itu pun berjalan bersama Haslan yang dibantu pelayan hotel itu menuju ke kamar 1718. Di lantai 17. Kemudian lift pun mulai terbuka lalu mereka masuk ke dalamnya. Setelah itu lift tertutup kembali dengan memencet tombol lantai 17. Dalam waktu beberapa menit pun terbuka di sebuah lantai 17.
Kemudian mereka pun keluar dari lift. Haslan yang masih di bantu berjalan oleh pelayan Hotel menuju ke kamar 1718. Dalam beberapa langkah Mereka pun sampai di depan kamar 1718. Kemudian wanita itu mulai membuka kamar tersebut dengan sebuah kartu yang ditempelkan di depan pintu kamarnya. Setelah itu pintu pun terbuka. Pelayan itu membantunya untuk membawa Haslan kedalam yang sedang dalam pengaruh alkohol.
Setelah pelayan itu pergi, wanita itu mulai menutup kembali pintu kamarnya. Dia mulai mengambil pakaiannya di tas. Dia berniat untuk menggoda Haslan.
Wanita itu mulai mengganti pakaiannya dengan lingerie yang super tipis dan seksi. Hingga menampakkan bagian tubuhnya yang begitu menggemaskan.
Haslan mulai terlihat bergairah ketika melihat wanita itu yang sedang menari menggunakan lingerie yang cukup seksi sekali.
Satu persatu kancing kemeja Haslan berhasil untuk di buka hingga terlihat dada bidangnya yang bikin panas dingin. Wanita itu, memulai aksi liarnya dengan bergoyang-goyang.
Wanita itu mulai menuntun Haslan untuk dipuaskan malam ini hingga lemas.
Haslan tidak menolak, ia langsung saja mencicipi tubuh indah wanita itu.
"Berapapun yang kamu minta, aku akan membayarnya, asal kamu bisa buat aku bergairah di atas ranjang ini," bisik Haslan dengan perlahan menegelamkan tubuhnya di atas selimut.
*