""Apa tidak cukup kau buat diriku dalam sebuah luka membara? Kenapa kamu harus datang kembali? kamu adalah bagian luka kehidupanku!"
Lara menyeka air matanya berulang kali sambil menatap langit dari jendela kamarnya. Sebuah kisah lama terbuka kembali, ia merasakan rasa sesak hingga ke dalam dadanya menusuk perih. Ketika bertemu dengan sosok lelaki dalam masa lalunya.
"Aku hanya ingin bahagia, aku tak ingin dia kembali dalam hidupku, karena hatiku sudah terasa begitu sesak mendarah daging," Lara menggumam dalam hati kecilnya tanah. Dia merasa kehidupan tidak akan pernah adil untuk dia. Dia seorang perempuan yang sebatang kara. Apalagi dia masih terluka. Dia belum juga menemukan penawaran rasa sakit untuk luka yang telah dia rasakan saat ini.
Kebahagiaan sudah punah bagi Lara, apalagi ia harus terlempar dari rumahnya sendiri. Tatapan nanar terhadap rembulan di malam hari. Sinar bintang sebagai pendamping.
"Kenapa hanya aku yang sebatang kara? Kenapa ayah, ibu dan kakak meninggalkanku? Kenapa tidak mengajakku saja di tempat yang tinggi? Ibu, ayah, kakak! Aku sendirian, sungguh aku lelah di dunia ini!" Protes Lara dengan meneteskan air matanya kembali membasahi kedua pipinya.
Lara mulai menghela nafas berat sekali, lalu dia pun mulai berkata dengan sangat Lirih, " aku masih pantas bahagia?"
*
Pov Syahid.
Sebuah kenyataan mulai menamparku. Ketika aku mengetahui bahwa wanita yang selalu aku sebut dengan nama ibu ternyata dia adalah bukanlah Ibuku sebenarnya. Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Rasanya aku kecewa. Bahkan aku merasa kalau ibuku benar-benar tidak pernah menyayangiku.
Air mataku mulai mengering, tapi aku tidak akan menyerah dalam mimpiku. Dia memang bukan ibu yang mengandungku, tapi dia adalah ibu yang melahirkanku dengan sebuah kasih sayang. Aku sangat menyayangi dia sampai kapanpun.
"Ehemm,"
Lamunanku seakan buyar ketika aku mendengar suara deheman dari seorang perempuan. Kedua mataku pun mulai menatap ke sebuah titik dimana perempuan itu sedang menatapku.
"Anya?!"
Dia adalah hanya sahabatku semenjak duduk dibangku perkuliahan. Aku dengannya mulai dekat sekali. Walaupun kadang orang mengira kalau dia adalah kekasihku tapi dia hanyalah sebatas sahabat. Tidak akan pernah melebihi itu.
"Jam segini Kenapa kamu belum tidur?" Kedua pandangan seakan menatapku seakan dia ingin tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini. Lalu aku pun hanya tersenyum kepada dia.
"Apakah masalahnya masih tentang ibumu?" Anya mulai mengangkat salah satu alisnya seakan dia tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
"Ya." aku hanya mengangguk mengiyakan karena dia benar menebaknya. Sungguh aku merindukan ibuku yang selama ini selalu ada untukku. Bahkan kenangan itu masih melekat dalam pikiranku.
Langit begitu indah malam ini, tapi tetap saja aku masih merasakan radang kegelisahan. Hatiku mulai bertanya-tanya tentang siapa ibuku? kini aku ingin mencari jawaban.
"Aku tahu kenyataan memang terlalu berat untukmu tapi aku yakin kalau kamu adalah sosok lelaki yang paling kuat untuk menjalani sebuah kehidupan ini. Percayalah semuanya akan baik-baik saja. " Anya mulai tersenyum menatapku seakan dia tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Malam begitu hening dan sepi. Aku menikmati malam itu dengan perasaan yang begitu berat sekali. Rasanya aku tidak akan pernah bisa merasakan cinta itu bagaimana. Semuanya benar-benar dalam keheningan bahkan tak berbintang sama sekali.
Anya mengembangkan senyuman, dia memang teman terbaikku. Dia selalu ada dikala aku merasakan kepedihan.
"Syahid, kamu bisa cerita kepadaku,"ucap Anya sambil menatapku. "Aku akan menjadi pendengar terbaik bagimu."
Suasana malam ini begitu sunyi, seperti kesunyian malam ini. Rasanya hati berkecamuk dalam sebuah waktu. Kecewa dalam sebuah takdir.
"Ini sudah malam, Hid. Kenapa kamu nggak masuk aja?" Anya merasa tubuhnya kedinginan.
"Kamu aja yang masuk duluan, besok kamu kan ada shift pagi, An."
Anya hanya tersenyum kepadaku.
"Eh, thank's udah kamu ingatin."
"Sama-sama."
Kita memang satu tempat kos-kosan. Aku, Anya dan Dimas. Kita memang sahabat sejak dulu.
"Kalau gitu Anya masuk dulu,"pamit Anya kepadaku. Setelah itu dia masuk ke dalam kos-kosan, sedangkan aku hanya duduk di teras depan kos-kosan sambil menyesap sebatang rokok untuk menenangkan pikiranku.
*
Pov Anya.
Aku tahu apa yang telah dipikirkan oleh Syahid. Pria itu mampu memendam perasaannya sendiri. Sudah lama aku mengenal dia semenjak awal semester.
Aku melihat dia hanya diam dan penuh sebuah kata tanya. Dia tidak pernah menceritakan secara detil tentang dirinya.
Syahid memang pria yang sangat aku kagumi, tapi aku tidak mampu mencuri hatinya. Sungguh aku hanyalah sebatas teman, namun harapanku tidak sesuai dengan ekspetasiku.
Kata mungkin, hanyalah kata yang pantas untukku. Sedikitpun dia tidak merasakan perasaanku yang sudah terlanjur meradang. Sial, aku hanya mencintai sepihak saja.
"Ehem."
Suara Dimas mulai menyentak lamunanku sejenak tentang Syahid, sahabatku. Kedua kakiku pun mulai berhenti di depan pintu kamar kost yang aku tempati.
"Belum tidur kamu?"
Dimas mulai menatap diriku.
"Iya, aku belum tidur dan ini mau tidur. Kenapa? "Kedua mataku pun menatap Dimas yang selalu saja ingin tahu tentang semua yang aku lakukan.
" Astaga! Aku cuma nanya doang loh. Kenapa pakai ngegas? " ujar Dimas menatapku. "Kamu sedang mengalami PMS?"
"Tahu!" aku menjawabnya dengan sangat Ketus sekali lalu aku segera masuk ke dalam kamarku. Aku tidak ingin menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari Dimas yang terlihat ingin tahu sekali.
Sebenarnya aku sangat takut sekali ketika Dimas tahu tentang perasaanku kepada Syahid. Aku berusaha menyembunyikan perasaan ini agar tidak akan pernah terbaca. Aku hanya mampu mencintaimu dalam diam karena aku takut sekali ketika cinta ini mulai terucap, mungkin hal yang aku takutin adalah hubungan diantara aku dengan dia akan ada sebuah jarak. Aku tidak ingin mencampuradukkan tentang perasaanku ini dengan makna persahabatan.
Aku mulai menutup pintu kamarku lalu aku sandarkan tubuhku di balik pintu itu. "Seandainya saja kamu tahu, Aku sedang menyimpan perasaan untukmu. Apakah mungkin kamu juga bisa merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini?" aku mulai menggumam dalam hati kecilku. Mencintai dia secara diam-diam bahkan aku berharap cinta itu akan terbalaskan. Karena aku sungguh mencintai dia lebih dari itu.
Aku mulai mengunci pintu ku rapat-rapat lalu aku berjalan menuju ke ranjang kamarku. Lalu aku pun merebahkan tubuhku di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar dan membayangkan tentang dia. "Apa kamu jatuh cinta adalah perasaan yang terlalu manis? Tapi kenapa aku harus jatuh cinta kepada sahabatku sendiri? " sebuah pertanyaan itu pun terlintas dalam benak pikiranku selama ini.
Aku mulai perlahan-lahan menutup kedua kelopak mataku. Hingga aku terbayangkan senyuman dari lelaki yang mampu membuatku jatuh hati.
*