Tiada hal yang lebih indah dari sebuah gerimis menyembunyikan air mata duka.
----
Air mata merembes secara perlahan, beberapa hal duka kini menari dalam sebuah ingatan. Hati mulai terasa seperti tertelan duri ikan di tengorokkan.
"Alasan apa untuk bahagia, bila ujungnya sebuah luka. Bagian dari hati mana yang mulai mati rasa," gumam Lara menahan dukanya hingga ke uluh hati.
Lara menutup kedua matanya perlahan-lahan. Dada terasa sesak kekurangan sebuah oksigen untuk bernapas.
Sebuah lorong waktu berjalan mundur, ia mulai mengingat bagaimana luka itu terbentuk. Butiran hari hingga menuju detik-detik dalam rajutan luka kehidupan.
Terbiasa? pasti.
Helaan napasnya kian tersendat dalam aroma darah yang begitu pekat.
Rambut Lara dijambak hingga ia mendongak ke atas, air matanya mengalir begitu deras. Ia merintih kesakitan. Wajahnya lebam - lebam.
"Tante, Lara mohon lepasin," pinta Lara sembari menahan rasa sakit itu.
Bibir Lara kembali ada sebuah luka pada ujung. Seorang perempuan seumurannya hanya melipat tangan sambil tertawa licik.
"Mama, jangan kasih kendor. Dia memang perempuan jalang!"
Neta memang tidak pernah menyukai Lara, ia menganggap Lara hanya parasit. Karena dia merebut Haslan yang pernah menjadi gebetannya di sekolah.
"Ya Allah kenapa hambamu ini mendapatkan cobaan seperti ini?"
---
"Haslan berhenti!"
Haslan tetap mengemudi dengan kecepatan tinggi, Kara merasa seperti naik roller coster.
Tatapan mata Haslan berpacu pada sebuah jalan, mobil melesat bak halilintar.
"Sialan!" umpat Haslan, ia tidak peduli dengan wanita di sampingnya.
"Aku Haslan, nggak akan pernah nyerah, " gumam Haslan sepanjang jalan.
"Haslan pelan-pelan donk, aku nggak mau kita mati kon-nyol," cicit Kara.
"Kamu itu berisik amat!" bentak Haslan.
Ciitttt
Mobil pun berhenti, tatapan mata Haslan membara. Ia pun menghentikan mobilnya di sebuah tepi jalan yang sepi.
"TURUN!"
Kara hanya mengeleng kepalanya, ia tidak mau turun. Lalu, Haslan pun turun dari mobilnya. Ia membuka pintu mobilnya.
"TURUN!" perintah Haslan, ia pun memaksa Kara turun dari mobilnya. Ia terlalu malas mendengarkan cicitan dari wanita itu.
Kara pun dipaksa turun dari mobilnya, ia terlihat kesal.
"Apa-apaan sich Haslan. Kamu tega nurunin aku di jalanan yang sepi ini. Kamu nggak ada otak!" cicit Kara yang seakan menolak turun, ia pun meraih tangan kekar Haslan, namun malah ditepiskan.
"KITA PUTUS!"
Haslan memutuskan hubungannya dengan Kara.
PLAKKK
Tamparan melesat di pipi kanan Haslan.
Rahang Haslan terasa sangat kaku, pipi terasa panas. Hati mulai meledak-ledak. Lalu, ia mencengkeram kedua pipi Kara dengan tangan kanannya, hingga bibir Kara terlihat mengerucut.
"Kamu itu tidak lebih dari seorang jalang bagiku. Dan, kau adalah wanita yang menjijikan. Lihat dirimu tidak lebih dari seorang wanita malam! kau dan aku beda kelas, meskipun orang tuamu itu kaya!"
Haslan melepaskan Kara, ia tetap meninggalkan wanita itu di sebuah tepi jalang.
"DASAR BRENGSEK!"
Haslan tidak peduli dengan umpatan Kara, lalu dia kembali ke dalam mobil. Ia menutup pintu mobilnya, lalu menyalakan mesin dan melesatkan mobilnya.
"PERSETAN DENGAN SEMUANYA!"
---
Syahid terlihat sedang mengaji dengan merdu sekali. Suaranya begitu syahdu. Hingga mengetarkan hati siapa pun yang mendengarkannya hingga pada ayat-ayat terakhirnya.
"Bismillahirrohmanirrohim, Ya Allah Ya Tuhan. Yang maha baik dan maha segalanya, aku tahu hambamu ini bukanlah hamba yang suci. Lumuran dosa-dosa hamba begitu besar. Hamba hanya ingin setitik kebahagiaan dalam hidup hamba. Ya Allah jagalah di mana pun ibuku berada. Hamba sangat rindu akan beliau."
Air mata Syahid mengalir, ia seolah rindu akan kehadiran ibunya yang kini entah di mana. Ia benar-benar sebatang kara.
"Ibu Ibu Ibu aku rindu akan dirimu, engkau selalu dalam setia napas dan doaku."
Syahid mengingat sebuah masa kecilnya ketika bersama ibunya. Saat itu, usianya masih tujuh tahun. Ia memakai seragam SD.
"Ibu," rengek Syahid meminta sebuah permen kapas yang manis di depan matanya.
Wanita berparas cantik dengan pakaian dress berwarna merah maroon dengan panjang selutut. Dia tersenyum, lalu ia mengandeng Syahid. Ia tahu kalau anaknya menginginkan permen kapas.
"Kamu pasti pengen permen kapas, nak?"
Syahid mengangguk dengan menunjukkan deretan gigi yang bolong-bolong.
"Ibu, aku pengen itu," ucap Syahid dengan nada cadelnya mengemaskan. Rambutnya kriwil menambah kesan mengemaskan untuk anak seusia Syahid.
"Jangan, nak. Kamu masih batuk."
"Nggak mau, bu. Aku mau itu," rengek Syahid.
Wanita itu menghela napas, lalu berjongkok, karena tubuh Syahid masih terbilang kecil.
"Nanti kalau sudah sembuh, ibu pasti akan belikan itu."
"Enggak mau ibu, aku mau permen kapas!" rengek Syahid dengan tangisan manjanya.
"Sayang, jangan nangis, nak. Ibu pasti akan belikan kamu permen kapas, kalau batuk kamu sembuh."
Uhuk uhuk uhuk
Syahid terbatuk-batuk kala itu, Mira pun menghapus air matanya dengan tissue yang dikeluarkan dari tasnya, lalu dia mengendong putranya.
"Ibu, Syahid mau permen kapas," rengeknya dengan nada cadel.
Syahid pun tersadar dari lamunannya, ia merasakan betapa rindunya dia dengan wanita yang pernah mengandung dirinya sembilan bulan dalam rahim.
"Seandainya saja, engkau masih ada di sini, bu. Sungguh aku ingin memelukmu. Aku merindukan kasih sayangmu. Cerita dongeng nabi-nabi hingga sholawat, ketika aku mau tertidur dalam ranjangku."
Air mata Syahid pun jatuh seketika membasahi AL-Qur'an yang telah ia baca. Hatinya begitu merindukan kasih sayang seorang ibu.
Bayangan ibunya sungguh jelas, kenangan bersama ibunya berputar dalam angan-angannya. Sungguh, Syahid merindukan wanita yang ia sebut dengan ibu.
"Semoga di mana pun engkau berada, Allah selalu melindungimu, Bu. Ya Allah jagalah ibuku, sungguh ku menyayangi dia sepenuh hati."
Syahid menghapus air matanya, tatapan mata nanar dan api rindu yang tidak kunjung padam.
Helaan napas dan doa-doanya kini ia kirimkan ke langit. Kata semoga adalah harapan untuk bisa bertemu kembali.
---
Haslan terlihat begitu frustasi, bahkan ia tidak bisa mendapatkan kesempatan tuk bersama dengan perempuan yang dalam hatinya.
Seharian penuh Haslan menghabiskan waktunya untuk kerjaan di kantor. Ia bahkan, mengalihkan untuk bekerja dan bekerja.
"Bos, saya izin pulang."
"Heeem..."
"Jadi, saya boleh pulang dulu donk bos?" tanya Sinta.
"Pulang saja," ucap Haslan sambil mengibaskan kedua jarinya.
Sinta bernapas lega, akhirnya dia bisa pulang pukul 21.00. Ia tidak habis pikir, kalau bosnya menjadi maniak kerja akhir-akhir ini membuatnya lembur tiap hari.
"Fiuh," helaan napas Shinta. "Syukur banget akhirnya bisa balik ke rumah."
Ketika Sinta sedang membereskan perlengkapannya, lalu Haslan pun datang.
"Ini semua berkas yang kamu cek, kamu boleh kerjakan di rumah. Besok pagi harus siap di meja kerja saya. Kalau sampai tidak beres, maka bonus insentif bulanan kamu hangus."
Haslan memberikan tumpukan berkas berupa map-map yang harus dicek oleh Sinta.
"Well, go to hell. Sumpah ini bos terlaknat! pengen aku jitak!" dumel Sinta dalam hati sambil pasang senyum palsu."Iyaa," balas Sinta meringis.
Haslan pun pergi kembali masuk ke dalam ruang kerja. Sinta terlihat pengen gibeng bosnya, karena itu sama aja dia harus lembur kerjaan di rumah, padahal tubuhnya butuh kasur empuk untuk rebahan.
"Dasar bos terlaknat!" umpat Sinta dalam hatinya, ia merasa begitu dongkol hatinya. "Mau pulang aja dapat tugas, masyaampun bos terlaknat!" gumamnya.
---