Ada sedikit perdebatan antara Niko dan Sabine mengenai rencana pernikahan mereka. Niko yang ingin mengundang banyak orang dan Sabine yang ingin menikah di KUA saja tanpa ada resepsi. Sabine tidak ingin mengundang siapapun. Kalaupun ada, hanya Bang Ridwan saja. Sabine juga tidak berniat mengundang Bella dan Katie, dua sahabatnya.
Bahkan Sabine tidak ingin dirinya diperkenalkan ke keluarga Niko. Sabine sangat khawatir, status dirinya yang selalu sendiri akan mengundang banyak pertanyaan. Tentu dia tidak akan merasa nyaman.
Malam ini, Niko menghubungi Sabine.
"Kalo Om mau ngenalin aku ke keluarga Om, setelah menikah aja. Kalo sekarang aku nggak mau. Lebih baik nggak usah menikah. Daripada aku nanti sakit hati," mulai Sabine. Sebelumnya mereka berdua berkomunikasi mengenai pernikahan lewat aplikasi pesan.
"Maksud kamu sakit hati gimana?,"
"Emang keluarga Om bakal nerima aku? begitu tau aku cuma pedagang ikan di pasar? Daripada aku nanti ditolak, trus Om kepikiran, akhirnya? Kita nggak jadi menikah dan aku bakalan sakit hati,"
Terdengar Niko menghela napasnya.
"Sabine. Keluarga Om hanya keluarga biasa. Mereka cukup fair. Mama Om guru sekolah, pasti memahami keadaan kamu. Papa Om mantri di kampung, bergaul sama siapapun. Mereka pasti ngerti kamu,"
"Siapa yang jamin? Bude Pakde aku juga begitu. Bahkan keadaan mereka jauh di bawah keluarga Om yang biasa-biasa itu..., dan mereka tidak mau menerima aku, karena aku berbuat salah. Apalagi keluarga Om?,"
"Apa hubungannya?,"
"Om pahami sendiri. Om pikirkan sendiri. Aku nggak mau tau. Aku hanya nggak mau menyesal nanti. Terserah!,"
Sabine menyudahi panggilannya.
***
Rumah sederhana berpagar besi putih itu ramai dikunjungi orang-orang sekitar. Maklum, kepala keluarga rumah tersebut adalah seorang mantri yang cukup disegani masyarakat sekitar. Dia adalah Darius Otte Loudin, Papa Niko, yang selalu dengan senang hati melayani orang-orang yang membutuhkan bantuan, dari kesehatan, pelayanan keagamaan, dan masalah kemasyarakatan lainnya.
Keluarga Darius adalah penganut Katolik yang sangat taat. Hanya Niko yang beragama Islam. Niko memutuskan menjadi Muslim sejak dia merantau ke Jakarta, ikut pamannya. Karena jatuh cinta dengan seorang siswi berjilbab bernama Mia, dia kemudian bersyahadat. Meski hubungannnya tidak berjalan lama karena Mia harus pindah ke Kediri, Niko tetap menjadi muslim. Hingga kini.
Awalnya tentu saja keluarga besar sulit menerima kenyataan. Bahkan orang tua Niko tidak ingin membiayai sekolah Niko lagi. Karenanya, Niko berusaha keras bekerja mengumpulkan uang untuk kuliahnya. Jadi wajar saja, kuliah Niko sempat mengalami hambatan beberapa semester.
Namun, sejak dia berniat menikah dan mendapat pekerjaan yang sangat baik, hubungan Niko dengan keluarganya kembali pulih. Apalagi saat mengetahui bahwa Evi, yang masih menjadi calon istri Niko saat itu adalah seorang salah satu wakil direktur di sebuah perusahaan asuransi yang cukup terkenal. Tentu saja keadaan berubah. Terlepas itu semua, keluarga Niko tetap menerima Niko.
Seperti sekarang, meski Niko bercerai, dia tetap diterima baik di rumahnya. Padahal tidak ada kata cerai di kamus agama keluarganya.
"Jadi kamu ingin menikah lagi?," tanya Yuna, Mama Niko. Wanita paruh baya itu melihat foto di layar ponsel Niko. Foto Sabine.
Niko mengangguk.
"Berapa usianya tadi kamu bilang? Sembilan belas?,"
Niko mengangguk lagi.
Yuna menghela napas seraya meletakkan ponsel Niko di atas meja depan sofa yang mereka berdua duduki.
"Apa nggak terlalu muda? Bobot bibit bebetnya nggak jelas. Kamu bilang dia hanya penjual ikan di pasar. Kamu yakin?,"
Tiba-tiba Niko teringat kata-kata Sabine.
"Dia anak diplomat, Ma. Almarhum Papanya terakhir sempat bertugas di Melbourne. Meninggal karena kecelakaan pesawat,"
Mama Niko menarik bibirnya.
"Mamanya?,"
"Ada. Dia di Melbourne...,"
"Kenapa kamu bilang dia jualan? Sementara mamanya di Melbourne? Itu yang bikin Mama ragu. Maaf, Mama kurang setuju. Kamu harusnya telusuri lebih jelas dia anak siapa,"
"Ada akte lahir. Nama papamamanya juga jelas,"
Mama Niko menggeleng lagi.
"Kenapa dia tidak meneruskan sekolah? Kuliah misalnya? Kenapa dia sendirian di sini? Apa karena pernah buat salah terhadap keluarga? Sehingga dia hm..., dikucilkan?,"
Niko menunduk. Dia sedikit membenarkan kata-kata Sabine sekarang. Jalan hidup Sabine sangat sulit diterima banyak orang.
"Setahu Aku nggak, Ma. Aku cukup lama mengenalnya. Dia pernah aku asuh dulu,"
"Oh..., begitu,"
Setelah itu, Mama Niko hanya dingin menanggapi niat Niko yang akan menikah lagi.
Niko memang tidak terlalu rinci menjelaskan alasan dia bercerai dari Evi dulu. Dia hanya mengatakan bahwa Evi berkhianat. Itu saja. Mengenai keadaan dirinya yang sebenarnya tidak dia ceritakan. Khawatir, keluarganya belum siap menerima keadaannya.
Sebenarnya cukup banyak perempuan yang ingin dekat dengan Niko. Terutama staff-staff perempuan singgel di kantornya yang baru. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi pasangan seorang bankir sukses seperti Niko, tampan, senyumnya sungguh manis, juga memiliki kepribadian yang sangat baik. Namun, lagi-lagi Niko kurang percaya diri karena menyadari kekurangannya. Menurutnya, hanya Sabine yang memahaminya sekarang.
Wajar saja keluarganya menuntut lebih. Dua adik lelakinya, Nathan, istrinya adalah seorang dosen di sebuah Universitas negeri terkenal di Yogya. Lalu Noah, istrinya PNS di departemen Kesehatan di Sleman, memiliki jabatan tinggi, meski usia muda. Kakaknya, Nechemya pun begitu. Istrinya adalah pengusaha bahan bangunan di Magelang. Sabine? Tidak terbayang jika mama Niko menyaksikan gadis itu sedang mengayunkan pisau sebesar kapak ke ikan-ikan besar, lalu berteriak-teriak di pasar memanggil para pelanggan. Belum lagi melihat penampilannya saat berjualan, baju yang penuh kotoran ikan sudah biasa melekat di tubuh Sabine sehari-hari. Apalagi jika dia melihat gadis itu merokok di sela-sela istirahat kerja. Sabine jauh dari kata sempurna.
_____
Malamnya,
"Kamu pikirkan baik-baik niat menikah. Jangan sampai gagal lagi. Cinta bukan satu-satunya jaminan. Banyak yang harus kamu pertimbangkan. Don't be selfish, number one. Pikirkan yang lain. Mamamu, Papamu, adik-adikmu, kakakmu. Keluarga besar. Jaga nama baik mereka."
Niko hanya sanggup mengangguk mendengar nasihat papanya malam setelah makan malam. Sedikit kecewa setelah menyaksikan tanggapan papamamanya mengenai jati diri Sabine, calon istrinya.
_____
Selama menyetir dari Yogya menuju Jakarta, pikiran Niko tertuju ke diri Sabine. Sabine benar. Tidak mudah memahami dan menerima hidupnya. Sangat sulit. Mungkin jika dirinya berada di posisi keduaorangtuanya, akan bersikap sama. Dulu, saat memperkenalkan Evi menjelang pernikahan pertamanya, semua berjalan sangat lancar hingga resepsi. Meski dia berbeda keyakinan dengan keluarganya, Niko masih ingat ekspresi bahagia mamapapanya yang sangat bangga memperkenalkan Evi ke keluarga besar. Setelahnya, hampir di setiap saat natal tiba, mamanya selalu mengingatkannya untuk pulang ke kampung halamannya bersama istri. Dan Evi sangat dimanja mamanya di rumah.
Kini, Niko mengingat kembali sikap keduaorangtuanya yang jauh dari harapan saat ingin memperkenalkan Sabine. Awalnya dia mengira, paling tidak, ada kata-kata "Ya..., bawa saja ke mari, Nak. Mama juga ingin mengenal lebih jauh," atau "Cantik..., kasihan ya..., kamu bantu dia,". Tapi ternyata hanya sikap dingin yang dia terima.
Apa Niko ragu?
"I love you, Sabine...," desah Niko sambil memasukkan gigi lima mobilnya.
***