"Dia ingin bicara dengan kamu."
Niko meletakkan ponselnya di atas meja.
"Ada pesan, Om," ujar Sabine yang melihat sebuah notif di layar ponsel Niko. Sekilas dia lihat nama Akhyar tertera di sana.
Niko meraih ponselnya.
Saya mohon. Saya ingin bertemu Sabine. Temui saya di rumah Uzma Sirojuddin, adik saya, di Cinere.
Niko lalu menunjukkan sebuah pesan dari Akhyar ke hadapan Sabine.
"Terserah, Om," ucap Sabine sambil mengambil piring-piring kotor yang ada di meja makan. Lalu beranjak menuju sink dapur.
Bunyi derit kursi makan terdengar beberapa saat kemudian disertai derap langkah menjauh ke luar dari dapur.
Sabine memejamkan matanya. Dia bimbang dengan keadaannya sekarang. Sebenarnya adalah keinginan bertemu dengan Daddy Akhyar. Ingin dia tumpahkan perasaannya saat harus melepaskan diri dari dekapan pria tua tampan itu. Tapi apa boleh buat, keadaannya kini sudah berbeda. Dia tidak sebebas dulu lagi. Dia sudah memiliki ikatan dengan Niko. Dia tidak bisa lagi memutuskan keinginannya sendiri.
Sabine membersihkan piring-piring kotor sebelum dia masukkan ke mesin cuci piring. Kemudian, setelah membersihkan dapur dan meja makan, dia tinggalkan dapur, menuju kamar.
Sabine semakin merasa bersalah karena dirinya terkesan memaksa Niko menikahinya saat dilihatnya Niko yang sudah duduk selonjoran di atas tempat tidur. Niko tampak serius dengan laptop di pangkuannya.
Niko sempat melihatnya sekilas dengan senyuman, tanpa kata-kata.
Sabine tidak langsung melangkah ke tempat tidur. Dia malah melangkah menuju kamar mandi, membersihkan wajah dan kakinya.
Di depan cermin kamar mandi, Sabine melihat dirinya. "Apa memang aku harus hidup dalam kebimbangan terus menerus? Apa aku ditakdirkan hidup dalam perasaan sedih? Apa memang aku ditakdirkan menyusahkan perasaan orang-orang di sekelilingku? Orang-orang yang aku sayang?
Kenapa menyayangi orang harus menderita? Kenapa disayang juga menderita?
Sabine menghela napas cukup panjang setelah pertanyaa-pertanyaan yang tidak dapat dia jawab menghujam benaknya.
Sambil mengatur perasaannya yang sangat kacau, Sabine ke luar dari kamar mandi, melangkah menuju tempat tidur.
Lalu Sabine mengambil posisi siap-siap tidur di sisi Niko yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Sabine yang tidak ingin Niko mengetahui perasaan bimbangnya, merebahkan tubuhnya menghadap Niko. Diletakkannya tangan kirinya di atas perut Niko. Lalu memejamkan matanya.
"Temuilah...," ujar Niko pelan sambil membelai kepala Sabine.
"Nggak perlu, Om," balas Sabine. Matanya masih terpejam.
"Urusan kamu sama Akhyar belum selesai,"
Sabine menarik napasnya cukup dalam. Dibukanya matanya, dipandangnya wajah datar Niko.
"Om temani. Semua harus tuntas. Biar ke depan kita bisa jalani dengan perasaan tenang,"
Sabine menggigit bibirnya.
"Om serius?," tanyanya perlahan.
Niko melepas kacamatanya dan meletakkannya di nakas sisi tempat tidur, juga laptopnya. Lalu berbaring menghadap Sabine. Dipegangnya pinggang Sabine.
"Om nggak papa?,"
"Iya. Nggak papa. Justru Om lebih merasa tenang kalau kamu temui Akhyar secepatnya. Lebih cepat lebih baik. Tanpa harus menunggu jawaban lebih lama,"
Niko membelai-belai pipi Sabine sambil memandang wajah Sabine penuh rasa sayang. Senyum Sabine mulai mengembang.
"Bawa tenang. Om dulu begitu. Ketika tahu Tante Evi mengkhianati Om, Om tidak langsung marah atau ingin melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Om terus menguasai diri. Agar tidak gegabah mengambil keputusan. Om berusaha berpikir bagaimana caranya indah saat kita berpisah. Meski sakit dan harus mempertaruhkan nama Om. Om tidak ingin nama Tante Evi rusak karena perbuatannya. Rasanya lebih terhormat jika Om mengakui kekurangan Om. Orang-orang pasti akan cepat memaklumi. Daripada harus merusak nama Evi dan anak yang dikandungnya. Terkadang kita memang harus mengalah dalam situasi tertentu,"
Niko menelan ludahnya.
"Om suruh dia gugat Om, karena Om tidak bisa membahagiakannya... Kehamilannya kita tutup rapat-rapat. Biar Om cepat bercerai, nama Tante Evi juga tetap aman,"
Sabine mendekatkan tubuhnya ke tubuh Niko.
"Memang kasus kita beda, Sabine. Tapi yang Om maksud adalah bahwa kita harus menyelesaikan hal-hal yang masih menjadi pertanyaan. Seperti Akhyar, dia pasti bertanya kenapa kamu meninggalkannya begitu saja. Dia pasti akan terus mencari jawaban. Begitu ada kesempatan, kenapa tidak kita biarkan saja dia menemukan jawabannya, dan kamu pasti sudah bisa menjawabnya. Biar dia lega. Kamu juga...,"
Niko memeluk Sabine erat.
"Seperti Om..., walau Om hampir lupa sama kamu. Begitu mengingat kamu, pertanyaan kenapa kamu menghilang begitu saja terus mengikuti pikiran ke mana Om pergi. Begitu ada kesempatan..., melalui Bella, Om cari kamu sampai dapat. Dan Om sangat lega saat mendapatkan jawaban langsung dari kamu,"
Sabine mengangguk. Dia paham sekarang.
"Setelah urusan selesai sama Tante Evi, apa Om masih menghubunginya atau dia yang menghubungi Om?" tanya Sabine.
"Iya. Kadang Om balas kalo dia kirim pesan. Kadang Om biarkan kalo omongan atau pesannya sudah ngawur, dan Om selalu tidak ingin memulai,"
Sabine tergelak. "Kayak apa, Om?" tanyanya dengan senyum manisnya.
Niko tergelak. "Ya..., misalnya dia bilang kangen sama Om. Kangen tidur bareng. Ngajak kencan..., ya Om diamin. Dia bukan istri Om lagi. Kalau sudah begitu, Om nggak balas-balas kontak dia. Ganggu,"
"Nggak Om blokir aja?"
Niko tergelak lagi. Dijawilnya hidung Sabine.
"Nggak papa. Siapa tau suatu saat dia memang sangat butuh Om, atau Om butuh dia. Kita nggak tau ke depannya. Kita nggak boleh terlalu mendendam. Justru kalo terlalu mendendam akan mengundang rasa ingin tau atau penasaran. Mending Om biarkan saja. Tapi tetap Om tanggap dengan cara Om,"
Niko menundukkan kepalanya. Perasaan gundah kembali dia rasakan. Mengingat saat-saat berat berpisah dari Evi, wanita yang sangat dia cintai dulu.
"Apa Om masih ada urusan yang belum Om selesaikan dengan Tante Evi?" tanya Sabine yang menyadari ekspresi Niko yang tampak resah.
"Semua tuntas, Sayang. Dari masalah administrasi. Harta gono gini, juga masalah perasaan. Awalnya Om sangat berat, kamu tau Om sangat cinta Tante Evi. Tapi Om terus berusaha menata hati Om, mengingatkan diri Om bahwa tidak baik jika hubungan Om dengannya diteruskan. Dan ternyata Om sanggup, dan Om emang lebih lega."
"Terus, pas aku paksa nikah? Gimana perasaan Om? Apa memang Om sudah siap? Apa...,"
"Om nggak mau pisah dari kamu, Sayang. Om hanya ingin selalu dekat kamu. Selama-lamanya," tegas Niko.
Sabine terdiam. Ucapan Niko barusan berhasil membungkam pikiran-pikiran aneh tentang Niko dan Evi. Dia tahu Niko memang sangat menyayanginya. Niko sudah menunjukkan kasih sayangnya sejak dia kecil. Kenapa mesti ragu?
"Besok. Om akan pulang cepat. Nggak kemalaman kayak tadi. Nanti Om minta izin sama atasan Om biar Om bisa pulang lebih awal. Kamu siap-siap. Kita ke Cinere, temui Daddy Akhyar,"
Niko memandang Sabine yang menundukkan pandangannya.
"Kenapa, Sayang. Terlalu cepat? Atau lusa?"
Sabine perlahan memandang Niko.
"Nggak, Om. Besok aja. Lebih cepat lebih baik. Biar lega. Biar aku bisa lebih fokus cari info kuliah. Biar lebih tenang sama Om di sini,"
"Siap kan ketemu Daddy?"
Niko mulai bercanda.
Sabine mengangguk tersenyum.
"Daddy Akhyar itu nggak pernah menganggap main-main urusan sekecil apapun. Terutama masalah perasaan. Dia sangat peka. Makanya kenyamanan bekerja di kantornya adalah urusan nomor satu. Hingga dia harus melepas Om. Karena khawatir masalah Om dan Bira akan mengganggu pekerjaan di perusahaannya,"
"Om dekat?"
"Ya. Sangat. Rahasia perusahaannya Om pegang. Dia sangat percaya Om. Tapi masalah hati...," Niko menunjukkan dada Sabine, "Om sama sekali tidak mengenalnya. Meski sudah menjadi rahasia umum bahwa dia memiliki banyak gadis, tetap saja dia sosok yang misterius."
Sabine membenarkan apa yang dituturkan suaminya tentang sosok Akhyar. Akhyar memang misterius. Tidak bisa dipahami kenapa dia memiliki banyak gadis-gadis muda. Menyayangi mereka tanpa menyentuh.
Niko mengecup kening Sabine.
"Om cinta kamu, Sabine...," suara Niko mulai serak. "Dengan segenap jiwa raga Om...," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Om Nikooo...,"
Sabine tak kuasa menahan tangisnya. Dipeluknya suaminya erat-erat. Rasanya penantian selama sepuluh tahun terbayar sudah, meski memang harus dilalui masalah-masalah yang cukup pelik. Tak mengapa, dia sudah sangat bahagia sekarang.
***