Siang Senin ini, Niko diajak atasannya, Gamal Hassan, makan siang di sebuah hotel bintang lima di kawasan elit BSD. Niko awalnya ingin menyampaikan statusnya sekarang yang sudah menikah, karena hubungannya dengan Gamal sudah cukup dekat. Dia juga sekaligus ingin masalah tunjangan untuk istrinya dipermudah prosesnya, tanpa harus diketahui banyak orang. Tapi sepertinya niat Niko tertahan karena dia mendengar percakapan antara Pak Gamal dan bos besar yang juga berada di sana, Igor Kashawn, pemilik perusahaan.
"Ceraikan Gema...," mohon Gamal dengan wajah amat gusar. Gema adalah anak Gamal yang menikah dengan Igor.
"Baik. Akan saya urus segera," balas Igor santai.
Sudah menjadi rahasia umum di kantor bahwa Igor dan Gema, adalah pasangan suami istri. Tapi jalan pernikahan mereka sangat tidak disetujui oleh pihak Gamal, karena Igor juga memiliki seorang kekasih.
Niko yang posisi duduknya di belakang Gamal dengan berat hati menyusun kembali dokumen-dokumen Sabine dan memasukkannya ke bagian dalam tasnya. Dia tidak ingin merusak suasana hati Gamal saat itu.
Tak lama kemudian, Igor pergi meninggalkan hotel.
Sementara Gamal membalikkan badannya dan menyuruh Niko duduk di dekatnya.
"Berapa usia kamu?" tanya Gamal yang galau.
"Tiga puluh dua, Pak..."
"Seharusnya kamu yang lebih pantas menikah dengan anak saya."
Niko diam saja. Dia tahu Gamal sedang kalut.
"Dia itu bajingan. Saya benar-benar tidak suka dengannya...," rutuk Gamal kemudian dengan wajah sinisnya.
"Maaf, Pak. Saya sudah menikah...,"
Pak Gamal tentu saja kaget.
"Bukannya kamu duda?"
"Sebelumnya, tapi saya sudah menikah sebulan lebih lalu."
Akhirnya Niko mengatakannya juga. Tapi dia urung mengutarakan niatnya mengenai pengurusan tunjangan pasangan di kantor, karena suasana hati Gamal belum tertata dengan baik.
Gamal masih memasang wajah kaget.
"Oh. Good. Semoga pernikahanmu baik-baik saja. Apa istrimu bekerja juga?"
"Hm. Untuk sementara di sedang mencari celah untuk memulai kuliah...,"
"Oh? Baru mau kuliah? berapa usianya?"
"Sembilan belas, Pak,"
Pak Gamal tersenyum lebar.
"Ternyata tidak jauh beda dengan anak saya. Gema 16 tahun."
Setelah itu raut wajah Gamal kembali murung.
Namun tiba-tiba terdengar bunyi ponsel Pak Gamal yang tergeletak di atas meja restauran.
Sebuah pesan tertera di layar ponselnya.
"Istri kamu anak angkat Akhyar?" tanya Pak Gamal yang tatapannya masih tertuju layar ponselnya.
"Iya, Pak,"
Pak Gamal mengamati Niko sejenak.
"Dia minta saya mengizinkan kamu untuk berangkat ke Melbourne Minggu depan. Dia juga sudah meminta izin Pak Igor."
"Oh. Iya. Saya juga ingin menyampaikan hal itu, Pak."
Pak Gamal mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dia mendengus tertawa.
"Akhyar...," gumamnya. Lalu menggeleng.
"Dia itu dulu sempat melamar istri saya. Tapi keluarga istri saya menolak, karena usia istri saya 17 tahun waktu itu. Kecewa mungkin, dia tidak lagi memiliki hasrat menikah. Tapi menurut saya ada suatu hal yang mendasar kenapa dia tidak mau menikah. Yah..., itu hanya cerita-cerita seputar keluarga besar."
Niko mendengar cerita Pak Gamal dengan seksama. Istri Pak Gamal memang sangat cantik.
"Malah, keponakan saya Saif, menikah dengan adiknya Uzma. Itu artinya kejadian itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan ketidakmauan Akhyar untuk menikah."
Gamal mengetuk-ngetuk jari-jari tangannya di atas meja.
"Saya nggak mengerti karma. Anak saya yang menolak dijodohkan dengan seseorang pria yang bersahaja, malah harus menikah dengan bajingan itu. Astaghfirullah...,"
Gamal menghela napas berat. Isu yang beredar di kantor adalah bahwa anaknya yang bernama Gema, yang masih berusia 16 tahun, kabur dari sebuah pernikahan. Gema dijodohkan dan dipaksa menikah dengan seorang pria alim yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga besar Gamal Hassan. Tidak setuju dengan pernikahannya, gadis itu malah kabur ke kediaman Igor, sang pemilik perusahaan di mana Gamal bekerja.
Entah kenapa, Papa Igor malah memaksa Igor untuk menikahi anak Gamal tersebut. Dan mereka berdua malah menyetujuinya. Yang mengherankan lagi, Igor sendiri tinggal di kediamannya bersama sang kekasih tercinta.
"Pernikahan kamu diam-diam? Tidak ada undangan yang sampai di meja saya?" tiba-tiba Gamal menyadari sesuatu.
Niko tertawa kecil.
"Ya. Karena kami sepakat merayakannya dengan sederhana,"
Gantian Gamal yang tertawa.
"Akhyar itu kaya raya, masa pernikahan anak angkatnya tidak dirayakan besar-besaran?"
"Prosesnya baru dijalankan, Pak. Sebelumnya memang istri saya sudah lama mengenal Pak Akhyar, namun baru kali ini Pak Akhyar ingin meresmikan hubungan bapak anak dengan istri saya,"
Mata Gamal memicing. Sepertinya ada hal yang dia curigai. Tapi dia tidak ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang kehidupan salah satu staff terbaiknya itu. Niko memang tampak tidak begitu nyaman.
"Ok, baik. Satu minggu kamu di sana ya? Jangan lupa oleh-oleh...,"
Niko mengangguk senang.
Lalu karena Pak Gamal terlihat lebih relaks, Niko pun tidak menyia-nyiakan kesempatan mengutarakan niatnya ingin memperbaharui jati dirinya di perusahaan, yaitu sebagai staff yang sudah menikah.
"Sebaiknya kamu tunggu proses peresmian data istrimu sebagai anak angkat Akhyar, sah di mata hukum dan negara. Baru bisa kamu ajukan. Biar nanti ke depan kamu tidak repot-repot memperbaharuinya lagi," usul Gamal.
Niko tersadar. Benar juga.
"Bersenang-senanglah kalian. Urusan itu bisa kita tangani nanti dengan baik,"
Gamal menepuk-nepuk pundak Niko. Dia sangat menyukai hasil kerja keras Niko selama ini.
_________
Sore, baru saja Niko membereskan meja kerjanya, ponselnya berdering. Niko pun duduk kembali di hadapan meja kerjanya.
"Ya, Ma?"
Ternyata mamanya yang menghubunginya.
"Kamu lupa sebentar lagi Natal. Biasanya kamu rajin hubungi Mama,"
"Oh..., sibuk, Ma,"
"Ah. Klise..., Kakakmu, Nechemya, juga jauh di Magelang, masih selalu ingat hubungi Mama,"
"Mama kangen aku?"
"Kamu nggak?"
"Kangen, Ma,"
"Jangan sampe kamu nggak pulang Natal tahun ini,"
"Iya, Ma. Kan masih tiga minggu lagi...,"
"Mama sekalian mau ngenalin kamu sama Hanifah, anaknya Om Abdul,"
"Ah, Mama. Aku bisa nggak mau pulang kalo Mama masih jodoh-jodohin aku,"
"Mama sudah usahain cari calon buat kamu. Yang seiman sama kamu. Yang terbaik..., siapa yang jaga kamu di sana. Kan Mama khawatir,"
Niko menghela napas berat.
"Nggak usah khawatirkan aku, Ma,"
"Atau jangan-jangan kamu masih berhubungan dengan gadis itu?"
Niko terdiam.
"Iya, Ma," jawab Niko hati-hati.
Terdengar helaan berat dari ujung sana.
"Maaf, Mama. Aku sangat mencintainya,"
Dan telepon pun ditutup.
Sepertinya mama Niko masih belum bisa menerima bahwa Niko masih berhubungan dengan Sabine. Mungkin karena status dan keluarga Sabine yang tidak jelas di matanya, juga Sabine yang hanya tamatan SMA. Setiap orang tua pastilah mengharapkan yang terbaik buat anaknya. Apalagi ini menyangkut hidup yang berkelanjutan terus menerus. Mama Niko juga tidak ingin rumah tangga Niko gagal untuk kesekian kalinya.
______
Meski mendapatkan panggilan yang cukup membuatnya galau, Niko tetap pulang dengan semangat. Apalagi barusan dia mendapatkan pesan jika Sabine masak masakan spesial malam ini, yakni Laksa udang. Sabine sejak menikah, memang sangat gemar mencoba resep-resep masakan. Dan Niko selalu menyukai masakannya.
"Kok nggak sambut Om di depan? Biasanya lari-lari ke garasi," tegur Niko ke Sabine yang sedang berada di dapur, berdiri di depan kompor.
"Masih icip-icip, Om," balas Sabine berseru.
"Bukain baju, Om, Sayang. Om tunggu di kamar...," seru Niko. Dia mulai manja. Tampak langkahnya gontai menuju kamar.
"Iya, aku nyusul!"
"Cepeeet!"
Sabine mengerlingkan matanya. Mulai kumat suaminya sepertinya.
Setelah menutup panci berisi sup laksa, Sabine cepat-cepat meninggalkan dapur.
_______
"Mata Om merah. Capek banget kayaknya,"
Sabine perlahan melepas kacamata dari wajah Niko. Niko yang duduk di tepi tempat tidur memandang wajah istrinya dengan senyum lelah.
"Iya. Makanya, manjain Om dong. Biar cepat hilang capeknya,"
Niko melepaskan kemeja dan dasinya, sementara Sabine yang tertunduk sibuk melepas sepatu serta kaos kaki dan celana panjang Niko.
"Hei. Mau ke mana?" cegah Niko ke Sabine yang sudah meraup pakaian-pakaian dari tubuhnya.
Sabine yang sudah menjauh dari Niko beberapa langkah, menoleh bingung ke arah suaminya.
"Ruang laundry, Om,"
"Ck..., nanti aja. Peluk dulu...,"
Sabine tersenyum menggeleng. Diletakkannya seluruh yang dia pegang tadi di atas lantai begitu saja. Lalu memburu ke tubuh suaminya yang hanya berbalut celana dalam.
"Kenapa, Om? Ada yang dipikirin?" tanya Sabine yang sudah berada di atas tubuh Niko yang terbaring di atas tempat tidur. Niko memeluknya mesra.
Niko mengangguk. "Kamu...," ucapnya. Wajah Sabine tentu saja memerah. Apalagi jari-jari Niko mulai meraba-raba bibirnya.
"Om emang nggak lapar? Tadi pas bales pesan katanya udah nggak sabar pengen makan...,"
Niko mengecup bibir Sabine.
"Mandi yuk?"
Sabine mengerlingkan mata malas.
"Lagi males?"
Ah Niko tahu.
"Om ntar tambah capek lo,"
Gantian Sabine yang meraba-raba bibir Niko.
"Biar sekalian capeknya. Yuk ah...,"
Sabine tersenyum. Dia menyerah karena Niko sudah melepas sisa pakaian terakhir yang menempel di tubuhnya. Sabine pun mengikuti jejaknya, melepas kaos tipisnya, dan celana dalam seksinya.
"Di sini aja?" usul Niko. Wajahnya sayu menatap buah dada Sabine yang menantang.
"Emang masih sanggup di kamar mandi? Om capek begini...,"
Niko tersenyum memandang wajah Sabine yang mulai sayu saat tangannya mulai nakal memainkan puting payudara Sabine.
"Om..., laksanya dingin,"
"Duh..., hangatin aja lagi...,"
"Beda rasanya nanti...,"
"Sabine. Udah begini..., emang mau di pause?"
Sabine tertawa kecil. Namun, arah matanya sudah mulai kurang fokus karena jari-jari tangan Niko mulai berpindah ke arah bawah tubuhnya.
Niko lalu meraih pinggang Sabine sambil melumat penuh bibirnya. Lalu, direbahkannya tubuh istrinya perlahan di atas tempat tidur sambil mengarahkan kejantanannya ke tubuh Sabine yang sudah mengangkang lebar.
Kemudian sambil menggenggam dua tangan Sabine dan mengarahkan ke atas, Niko mulai menikmati posisinya sekarang.
"Lagi seneng mandang kamu, Sabine...," desah Niko yang sudah 'bergerak'.
Sabine hanya membalas dengan senyuman. Dia pun mulai bergerak menantang gerakan Niko.
Meski sudah sering melakukannya, entah kenapa Sabine selalu merasa detak jantungnya berdegup sangat kencang di setiap saat tubuhnya menyatu dengan tubuh Niko. Apalagi saat melihat wajah Niko yang tersenyum ke arahnya ketika 'melakukan'nya. Sungguh dia sangat terbuai dengan tatapan suaminya, perasaannya seakan entah berada di mana saat merasakan sentuhan suaminya.
Keduanya terdiam, hanyut dalam perasaan cinta juga napsu. Hanya terdengar hentakan dua tubuh saja di kamar itu.
Namun saat Sabine hendak berteriak karena puas hampir menderanya dan mulai meracau, Niko tiba-tiba mencabut miliknya.
"OM!!" teriak Sabine kesal. "Mulai deh," rutuknya. Sepertinya Sabine sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kamu di atas...," perintah Niko. Wajahnya tampak usil. Dia merebahkan tubuhnya di sisi Sabine.
"Come on...," decaknya sambil memberi kode dengan gerakan kepalanya.
Sabine mendengus kesal.
Dengan wajah cemberut, dia memindahkan tubuhnya ke atas tubuh Niko.
"Kenapa sih Om suka banget aku di atas?" tanya Sabine yang sudah mengatur posisi menyatukan tubuhnya dengan tubuh Niko. Dia mulai bergerilya.
"Kamu cantik kalo di atas. Om suka...," puji Niko seraya mencengkram bokong Sabine dan menggerak-gerakkannya agar Sabine lebih mudah mencapai puncak.
Kepala Sabine mendongak karena gerakan Niko semakin kencang. Tak tahan, dia pun berteriak sangat keras. Niko pun senang melihat Sabine yang mulai kewalahan. Apalagi dilihatnya Sabine meraba-raba wajah dan lehernya sendiri, hingga terkadang menggigit jari-jari tangannya, pertanda dia sangat menikmati hujaman Niko.
Gerakan Niko semakin cepat. Sabine sudah tidak mampu bertahan.
"Om..., sudah," keluh Sabine dengan suara serak. Gerakannya pun melemah.
Senyum Niko lebar merasa berhasil membuat istrinya kelelahan malam itu.
Lalu tiba gilirannya, Niko masih tetap bergerak. Dan Sabine yang masih berada di atasnya mengedipkan matanya sambil tersenyum memandang Niko.
Sabine pun senang ketika didengarnya lenguh Niko.
"Sabine...," desah Niko yang sudah puas seraya memeluk tubuh polos Sabine erat dan mengusap-ngusap punggung Sabine.
"Om lapar, Sayang...," ucapnya kemudian.
Sabine meletakkan kepalanya di dada Niko. "Iya, Om. Aku lapar juga... Tapi laksanya udah dingin. Minya kayaknya udah ngembang tuh...,"
"Nggap papa. Pasti tetap enak...," hibur Niko.
______